halaman7.com – Banda Aceh: Judul di atas merupakan penegasan yang disampaikan Ketua Umum (Ketum) PWI Pusat Atal S Depari saat berbincang sambil berdiskusi ringan dengan wartawan usai menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) sekaligus HUT ke 74 PWI yang disenggarakan PWI Lhokseumawe – Aceh Utara pada 9 Maret 2020 lalu di Hotel Lido, Lhokseumawe.
Menurut Atal, kebebasan pers yang terbuka lebar ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik dalam menghasilkan karya jurnalistik secara profesional dan proporsional.
Kebebasan pers bukan berarti, seorang wartawan bisa berbuat sesukanya dengan melanggar etika jurnalistik dan norna-norma yang berlaku. Namun harus tetap berpegang teguh pada kode etik jurnalistik (KEJ) serta UU No 40/1999.
Jika seseorang wartawan sudah bekerja dengan landasan KEJ dan UU No 40, namun masih tersandung dengan delik pers, maka perlu dikaji dan jika berkaitan dengan hukum, maka aparat penegak hukum harus berpedoman pada MoU Polri dengan Dewan Pers.
“Ini artinya, bila delik pers tersebut berkaitan dengan pemberitaan, maka harus mengacu pada MoU, dimana penyelesaiannya ditangani Dewan Pers,” tegas Atal.
Orang atau narasumber yang merasa dirugikan dengan pemberitaan, bisa menempuh melalui hak jawab atau somasi dan media juga harus menghormati hak jawab tersebut dengan memuat (publis) secara utuh.
“Bukan menempuh dengan cara-cara anarkis atau kekerasan,” tegas Atal.
Atal berharap dengan berprisif dan berpegang teguh pada KEJ dan UU No 40, sebagai landasan bekerja bagi seorang wartawan, maka tindak kekerasan terhadap pekerja media bisa di menimalisir.[red 01]