SOSOK Tarmizi Age atau yang akrab disapa Al-Mukarram, yang merupakan putra Aceh, kelahiran Alue Sijuek, Peudada, Bireuen, kini menetap di Tangerang, Banten, setelah gagal mendapat pekerjaan di Aceh.
Sebelum hijrah ke Banten, Tarmizi Age yang aktif berkempanye untuk Aceh, baik di Aceh maupun di luar negeri, sudah pernah tinggal di Malaysia dan Denmark, serta pernah menjelajahi beberapa negara lain di dunia.
Di luar negeri, Tarmizi Age antaranya pernah menghadiri pertemuan menyangkut penyelesaian konflik Aceh, di Copenhagen, yang difasilitasi pemerintah Denmark, yang juga ikut dihadiri Mediator Konflik Aceh Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia.
“Pada acara yang lain, saya sempat bertemu Tengku Hasan Muhammad Di Tiro, sang proklamator Aceh Merdeka di Swedia,” ujarnya.
Sebelum menetap di Denmark, Tarmzi Age harus melewati berbagai rintangan yang harus dilalui. Ia pernah ditangkap saat masuk ke Thailand bersama aktivis Kautsar Muhammad Yus, hingga hidup di penjara Taiping, Malaysia selama 7 bulan 15 hari.
“Ingat, perjuangan hidup tidak ada yang namanya senang, namun kita harus bahagia, karena hidup adalah kebahagian dan kemulian, jadi tidak pernah harus mengeluh, namun berusahalah melewatinya dengan penuh kesabaran,” pesan Tarmizi Age
Kembali ke Aceh
Pada penghujung 2013, mantan aktivis GAM ini, pulang ke Aceh setelah bertahun-tahun hidup di Eropa, dengan harapan proses perdamaian akan berjalan langgeng, dan bisa mengembangkan berbagai usaha dan kegiatan ekonomi yang berpihak kepada rakyat, tapi ternyata dalam pelaksanaannya tidak semudah itu.
Pada 2019, Tarmizi Age memilih menjadi kader dari salah satu partai politik di Indonesia, usai pemilu ayah tiga anak ini, mulai kerepotan, karena anaknya yang sulung Cut Tania Safira, mendapat kesempatan kuliah di Universitas Bakri, di Jakarta.
September 2019, Tania mulai di panggil masuk kuliah, Tarmizi Age dituntut dengan sejumlah kebutuhan sebagai anak yang mau masuk kuliah. Akhirnya mantan Ketua Lembaga Kemite Monitoring Perdamaian dan Demokrasi Perwakilan Eropa ini, berusaha mendapat pekerjaan di Aceh.
Tarmizi Age pilih ibu kota Banda Aceh sebagai tujuan lokasi mencari nafkah. “Terkadang saya harus tidur di mobil yang saya parkir di halaman salah satu kantor partai politik berwarna biru, tempat saya bernaung,” kisahnya.
“Terkadang mendapat kesempatan tidur di dalam, dengan falitas seadanya, beralas spanduk bekas, tanpa bantal, itu sangat di maklum, perjuangan memang mengharuskan kita susah, tidak ada yang senang,” timpal lelaki brewokan tersebut,
Pernah juga menyampaikan harapan, keluh dan kesah, pada sejumlah petinggi partai yang kini sedang memimpin Aceh, bahkan pernah meminta untuk mendapat pekerjaan apa saja, untuk membiayai anak-anaknya, ada pula yang menasihatinya untuk meminta jadi staf khusus Plt Gubernur Aceh, untuk di tempatkan di berbagai dinas di Pemerintah Aceh.
Lantas berbagai saran dan masukan dari teman-teman dan kolega itu, niatnya tersebut disampaikan pada orang-orang kuat partai, namun tetap tidak berdaya dan peluang tertutup untuk dirinya.
Tinggalkan Aceh
Akhir kata, penghujung Agustus 2019, atas keinginan dan rasa kasih sayangnya terhadap buah hati yang melanjutkan kuliah ke Jakarta, Tarmizi age dengan menggunakan sebuah pesawat terbang, berangkat ke Bandara Soekarno Hatta via Bandara Kualanamu, Medan.
Perjalan itupun terlaksana bermodalkan tiket pesawat, yang dibeli seorang pengusaha baik hati di Banda Aceh, yang tidak patut disebut namanya disini. Tibalah Tarmizi di Tangerang, Banten, sampai hari ini.
“Semoga Allah buka pintu rezeki untuk bisa menghidupi anak-anaknya,” harap Tarmizi Age.
Sedihnya, Cut Tania Safira yang sebelumnya kuliah di Bakri Universitas, hanya bisa bertahan 6 hulan (satu smester), selepas itu harus bungkus baju dan balek Aceh, karena posisi ekonomi ayahnya yang terombang ambing.
“Sekali lagi kita berdoa kepada Allah semoga dibuka jalan yang gemilang untuk masa depan anak-anak kami di Aceh,” harap mantan Jubir Pasukan Strategi Andalan Prabowo Sandi Aceh (PASA) ini.[red 01]
Respon (1)