Oleh: Aji Setiawan
HEADLINE media masa hari-hari belakangan ini diwarnai tuntutan agar Presiden RI mencabut Perpres No 10 tahun 2021 tentang investasi miras. Setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, NU, Muhammadiyah, MUI dan banyak tokoh bangsa, Presiden Joko Widodo pada Selasa, 2 Maret 2021 resmi mencabut Perpres No 10 tentang Miras yang banyak ditentang kalangan ummat Islam.

Lepas dari kontroversi investasi Miras. Di Indonesia sendiri penyalahgunaan alkohol juga menjadi masalah kesehatan yang cukup serius. Sering munculnya pemberitaan tentang tata niaga minuman beralkohol setidaknya merupakan indikasi bahwa minuman beralkohol banyak dikonsumsi masyarakat di negara dengan mayoritas penduduk muslim ini.
Sudah sering terungkap, minuman beralkohol hanya akan memberikan efek negatif (mabuk) bagi peminumnya. Bahkan pada beberapa kasus justru berakibat pada kematian. Namun setiap tahun jumlah pecandu minuman beralkohol bukan berkurang, justru semakin meningkat. Bagi beberapa kalangan, mabuk minuman beralkohol, dianggap sebagai sarana untuk unjuk kegagahan atau kejantanan.
Penyalahgunaan alkohol yang terjadi di Indonesia menurut WHO, (WHO SEARO, 2002) dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pada 1986 tercatat 2,6% pria pengkonsumsi alkohol yang berusia rata-rata 20 tahun ke atas. Sementara untuk wanita tercatat sekitar 0,8%.
Berdasarkan hasil riset, di Indonesia pengguna miras jumlahnya melonjak hingga angka 23 persen dari total jumlah remaja saat ini sekitar 63 juta jiwa atau sekitar 14,4 juta orang.
Minuman keras dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, sepertinya sudah tidak asing lagi. Saat ini, minuman beralkohol dikonsumsi remaja, orang dewasa, hingga orangtua yang sudah berumur. Kesadaran masyarakat kita tentang bahaya minuman beralkohol masih sangat minim. Seperti halnya masyarakat yang hidup di Jalur Pantura, mereka terbiasa merayakan pesta sehabis panen dengan minuman beralkohol.
Kehidupan nelayan di laut pun, tidak jauh dari pengaruh minuman beralkohol. Malah dikonsumsi pada saat mereka melaut. Dengan alasan untuk menghangatkan badan dari terpaan angin laut.
Dari segi kehidupan sosial, minuman beralkohol sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial. Biasanya, seseorang mengonsumsi minuman keras, cenderung didorong keadaan ekonomi minim, kondisi keluarga yang tidak harmonis, masalah yang dihadapi dan lain sebagainya.
Konstitusi Indonesia Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menyebulkan negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya kehidupan masyarakat di dalamnya terbentuk dalam bingkai ajaran agama. Secara ideal sebagai negara beragama, akan lebih mudah mengatur perkembangan minuman beralkohol atau yang sering juga disebut minuman keras (miras) yang setiap saat dapat mengancam jiwa manusia.
UU Minol
Perlu disadari bahwa adanya tuntutan masyarakat untuk membuat peraturan hukum/undang-undang tentang larangan minuman beralkohol (UU Minol). Jangan disalah-artikan bahwa itu adalah keinginan/kepentingan sebagian umat Islam dalam rangka menerapkan syariat Islam. Tuntutan dibentuknya UU tentang Larangan Minuman Beralkohol lebih dikarenakan bahaya minuman keras itu sendiri dalam kehidupan manusia.
Sebagai contoh di Amerika Serikat. Meskipun Pemerintah AS tidak merujuk pada agama Islam. Presiden Reagan (1986) telah melakukan kampanye larangan minuman beralkohol (say no to alcoho). Memberlakukan UU Larangan Minuman Beralkohol pada intinya berupa pelarangan dengan pengecualian.
Memang sungguh dilematis di negeri kita ini. Dalam konstitusi menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun dalam menyikapi perkembangan tentang minuman berlakohol pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa.
Perkembangan minuman beralkohol tidak hanya menjadi ancaman bagi umat Islam. Secara tegas mengharamkan di dalam kitab sucinya. Namun minuman beralkohol juga merupakan ancaman bagi hidup dan kehidupan manusia di muka bumi ini, khususnya di Indonesia.
Dampak Negatif
Adapun dampak negatif minuman beralkohol antara lain sebagai berikut; GMO (Gangguan Mental Organik), merusak daya ingat, odema otak, sirosis hati, dapat menyebabkan gangguan jantung, gastrinitis serta paranoid.
Untuk mengatasi dampak negatif terhadap penggunaan minuman beralkohol seperti tersebut di atas. Seyogyanya Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur tentang minuman beralkohol. Namun, sangat disayangkan, hingga saat ini belum ada langkah-langkah kongkrit berupa regulasi untuk melarangnya.
Bahkan Pemerintah melalui Mendagri telah mengeluarkan instruksi untuk mencabut beberapa Peraturan Daerah yang mengatur tentang minuman beralkohol. Dengan alasan bertentangan dengan peraturan per-undang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, terkesan Pemerintah membiarkan atau mengambangkan persoalan minuman beralkohol ini.
Dengan disahkannya undang-undang DPR RI tentang minuman beralkohol ini adalah demi terciptanya rasa keadilan masyarakat. Landasan sosiologis merupakan kebutuhan masyarakat akan rasa keamanan, ketertiban, dan kenyamanan, dan landasan yuridis dijamin oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia. Dimana setiap warganegara berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan sehat.
Berdasarkan fakta inilah, kemudian Komisi Fatwa MUI menetapkan batas maksimal kandungan alkohol (sebagai senyawa tunggal, ethanol), yang digunakan sebagai pelarut dalam produk pangan, yaitu satu persen. Bagi konsumen muslim, minuman yang merupakan hasil permentasi yang menghasilkan minuman beralkohol, adalah haram untuk dikonsumsi.
Untuk mengeksplisitkan pengaturannya, khususnya pengendalian sejak produksi, distribusi dan konsumsi. Maka persoalan minuman beralkohol perlu diatur lebih lanjut secara komprehensif dalam bentuk undang-undang.
Di satu sisi secara medis, zat yang terkandung dalam minuman keras adalah zat adiktif dan termasuk bahan berbahaya bagi kesehatan manusia. Namun di sisi lain adalah salah satu komoditi ekonomi yang menyerap tenaga kerja, disamping sebagai tambahan pemasukan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Karena itu, untuk mengatur kedua komoditi yang bersifat positif dan negatif ini, dipergunakan asas keseimbangan kesehatan dan nilai-nilai ekonomis. Pengendalian minuman beralkohol dilaksanakan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan kesehatan pribadi maupun umum.
Di samping itu pengendalian minuman beralkohol juga diarahkan untuk tidak merugikan kepentingan tenaga kerja, baik di pertanian/perkebunan, maupun di industri minuman. Sebab itu, di dalam rancangan undang-undang ini, salah satunya memperhatikan dengan sungguh-sungguh asas kemanfaatan untuk publik (umum) secara komprehensif.
Pemerintah dapat menarik pajak untuk kepentingan pembangunan kesehatan, dan hak asasi manusia yang diatur, dan diakui, serta dilindungi dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 23/1992, Peraturan Pemerintah No. 19/2003 dan berbagai Peraturan Daerah di berbagai wilayah Indonesia.
Dengan melihat kajian di atas, minuman beralkohol pada dasarnya merupakan suatu bentuk gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat. Karena itu, secara filosofis, pembentukan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, merupakan bagian dari pemenuhan tujuan bernegara Republik Indonesia. Yaitu melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Perlu Diatur
Karenanya peredaran minumn keras perlu diatur. Mengingat aspek pertimbangan sosiologis berkaitan dengan permasalahan empiris, dan kebutuhan yang dialami masyarakat, yang menyangkut tentang pengaturan dan pengendalian minuman beralkohol.
Karena itu, secara sosiologis, UU tentang Larangan Minuman Beralkohol haruslah memberikan jawaban atau solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan penanganan bahaya yang diakibatkan oleh minuman beralkohol.
Sementara itu, jika kebiasaan dari sebagian masyarakat, atau di daerah-daerah tertentu mengonsumsi minuman beralkohol karena dianggap merupakan warisan tradisional (arak, tuak, Sopi, Lapen, dll). Jika dikaitkan dengan sisi agama, dimana mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, dan minuman beralkohol hukumnya haram, maka hal ini akan sangat bertolakbelakang.
Aspek sosiologis lainnya, adalah bagaimana me-“manage” dampak negatif dari minuman keras dengan cara pencegahan (preventive), pengurangan resiko (preparedness), daya tanggap (response), serta upaya pemulihan (recovery), akibat minum minuman beralkohol.
Berdasar uraian di atas. Maka perlu adalanya pengendalian minuman beralkohol. Karena menyangkut hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat, dan untuk berkreasi dan berekspresi, hak dan kewajiban warga negara, keuangan negara, dan untuk mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia tersebut. Maka pengendalian minuman beralkohol, merupakan salah satu ikhtiar untuk mengurangi dampak dari peredaran miras.
Lepas dicabutnya Perpres No 10 Tahun 2021, DPR RI perlu segera didorong untuk mengesahkan RUU tentang Minol. Sudah 13 tahun RUU Minol ini dibahas DPR RI. Kiranya RUU Minol segera menjadi prioritas pembahasan agar ada kejelasan aturan dan UU yang membahas khusus tentang Miras.[]
Penulis, Mantan wartawan majalah Islam alKisah, PT AnekaYesss!.