Aceh, Opini  

Setelah 28 Tahun..

SORE jam sudah menunjukan pukul 16.00 wib lewat. Selesai ‘ngamen’ dalam memberikan pembekalan jurnalistik bagi para staf SKPK Kabupaten Bener Meriah, aku bergegas menuju satu lokasi yang telah disepakati.

Helmi Srimuda, ketua kelas ‘abadi’ saat kami sekolah di SMAN Pegasing, sejak kelas 2.A1 mengirim peta lokasi pertemuan lewat whatshap (WA). Satu lokasi yang memang sudah ku kenal. Gegarang Café di kawasan Blang Gele, Aceh Tengah.

Dibalik kemudi, Pak Zurkani, salah satu Kabid di Dinas Kominfo Bener Meriah, dengan sikap meliuk-liuk melintasi jalan Bener Meriah-Aceh Tengah. Sangat wajar ku pikir, begitu mahir. Sebab, selama ini saban hari ia melintasi rute tersebut untuk kerja dari Takengon ke Sp Tiga Redelong di Bener Meriah.

Aku minta tolong Pak Zurkani untuk mengantar ke lokasi yang telah disepakati tersebut. Dalam perjalanan, video call via WA masuk. Ternyata dari Jumala dan Rahmad, yang kini menetap di Jakarta dan sekitarnya.

Ternyata, Jumala dan Rahmad juga sedang ngumpul. Mungkin mereka berharap bisa ikut reunian kecil yang kami rancang. Meski hanya lewat bertegur sapa lewat aplikasi dunia maya yang memang sekarang ini, sejak pandemi jadi ngetren dilakukan.

Di lokasi, Helmi sudah menunggu sendiri. Ku lihat dia asik dengan smartphone di tangannya. Mungkin ia menghubungi teman-teman lain yang belum datang. Kami pun bersalaman dengan saling menggenggam erat tangan secara erat.

Cerita kecil mengalir dari bibir kami berdua. Tentang cerita masa SMA dulu dan apa kegiatan yang digeluti selama ini. Kini Helmi menjadi seorang konsultan, mungkin inilah cita-citanya, sejak SMA, karena selepas pakai seragam putih abu-abu ia kuliah di Teknik Sipil di salah satu universitas di Banda Aceh.

Baca Juga  Mahasiswi Abdya Tewas Gantung Diri di Darussalam

“Nong tulu nge kekanani ni, rawan bewene,” ujar Helmi.

“Des keta kite, aku tulu kekanakni, cume banan bewene,” ujar ku menimpali.

Nampaknya kami teman-teman seangkatan di SMA Pegasing dulu memiliki banyak kesamaan, terutama dalam jumlah anak-anak. Rata-rata dua atau tiga buah hati. Sebelum bertemu Helmi, di Bener Meriah, aku sempat ngopi sama Walidaini, dan ia juga memiliki anak-anak dan juga perempuan semua. Hanya saja, Daini lebih hebat, kini anaknya yang sulung sudah bekerja dan yang nomor dua saat ini sedang menyelesaikan skripsi.

“Aku tamat SMA langsung menikah,” ujar Daini memberi alasan mengapa anak-anaknya jauh lebih duluan sukses, dibandingkan kami-kami yang masih jenjang sekolah.

Asam Jing

Sekian lama bercerita bersama Helmi, Idawati bersama Julia Novita pun datang dan kamipun kini telah berempat. Sambil menunggu pesanan asam jing dan tumis pucuk jepang. Kami kembali video call sama Jumala. Sayangnya, saat itu Rahmad sudah tak bersama Jumala, karena harus pulang ke Bogor.

Cerita masa SMA kembali mengalir dengan hangat, mengalahkan hawa sejuk yang menyelimuti dataran tinggi Gayo tersebut. Cerita punya cerita, ternyata memori Idawati saat-saat SMA dan SMP masih sangat membekas.

Mendengar cerita Ida, yang kini menjadi istri seorang pejabat di Bener Meriah, rasanya baru setahun saja kami berpisah. Padahal, kalau dihitung sudah 28 tahun, sejak tamat SMA pada 1993.

Sedangkan aku lebih banyak amnesia rasanya. Begitu juga Helmi dan Julia. Kami lebih banyak mendengar cerita Ida tetang memori masa lalu. Sampai-sampai ia kembali membuka cerita tentang kumpulan puisi yang ku buat untuk seseorang kala itu. Namun, kali ini tebakan Ida salah.. hehehehe

Baca Juga  Satlantas Pidie Urai Jalan Terendam Banjir

Baca Juga:

Pustaka Berjalan

Sambil menikmari asam jing yang begitu lahap ku makan, – harap maklum, sudah lama tak ku makan makanan khas tradisional Gayo ini. Apalagi dalam asam jing tersebut komplit dengan terpuk dan empan – Ida terus bercerita hingga terkadang aku, Helmi dan Julia saling pangdang, untuk mencari pembenaran akan memori kuat dari Ida.

“Ida ni, bisa jadi pustaka berjalan tentang SMA kita,” ujar ku.

Umumnya, kami tak jauh berubah, seperti masa-masa SMA dulu. Hanya Julia Novita yang terlihat begitu jauh berubah. Ia telah menjadi seorang muslimah sejati, telah hijrah total. Kini ia kerap berpakaian syar’i, dengan mengenakan cadar.

“Aku tak tahan pakai masker, makanya pakai cadar aja sekalian,” ujar Julia menjawab pertanyaan ku, sudah berapa lama ia hijrah seperti sekarang ini.

Walaupun alasannya sederhana untuk sebuah pembenaran. Namun, ku yakin, ia telah hijrah total. Pasalnya, dari banyak cerita ia kini menjadi admin dari 70 grup WA tentang ke islamian dan selalu senantiasa menyebarkan pesan islami dalam setiap postingannya di grup WA.

Meski, Julia terlihat bercadar, namun aura kecantikannya belum pudar. Masih seperti saat SMA dulu. Maklum, Julia dan beberapa teman cewek lainnya, adalah salah satu ‘kembang’ alias idola masa seragam abu-abu pitih dulu.

Meskipun hanya berempat plus Rahmad dan Jumala via video call rasanya cerita SMA sudah tersaji dengan indah. Sayangnya, Farida Isnaini, Muspirah, Mulia Aradi dan beberapa teman lain tak bisa bertemu. Meski merek saat ini menetap di Takengon atau di seputaran Aceh Tengah.

Di akhir reuni kecil, Helmi memberi kami oleh-oleh nenas Pegasing yang memang terkenal manis dan kelezatannya yang tiada tara. Satu saat nanti, mungkin kita bisa kumpul lebih ramai lagi dan makan nenas di kebun ketua.

Baca Juga  Mellani Cek Kebutuhan Meugang di Pasar

Moga lain kali kita bisa bersua kembali dalam jumlah yang lebih besar. Mungkin sudah saatnya kita back to school. Untuk memberi ‘sedikit’ rasa pengabdian kita sebagai alumni. Kiranya, nanti kita bisa buat reuni kelas 3.A1 yang lebih besar dengan mengundang guru-guru kita yang dulu.[Iranda Novandi]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *