Oleh: Aji Setiawan
DARI awal 2022 sampai saat ini harga-harga kebutuhan pokok sudah naik. Kelangkaan serta dibaregi lonjakan harga tidak mungkin bisa turun, tanpa ada operasi pasar. Pas terjadi lonjakan harga, masyarakat juga sedang tidak baik daya belinya. Karena terlalu lama kena wabah Pandemi Corona.

Awal meroketnya harga minyak sawit, dikarenakan terjadi banjir bandang di Kedah , Malaysia pada akhir 2021. Padahal, minyak sawit Malaysia itu memasok 30% kebutuhan minyak goreng dunia.
Tentu menjadi berkah bagi produsen minyak sawit. Seperti Indonesia yang tadinya ekspor minyak CPO masih satu digit di bawah Malaysia. Segera mengisi permintaan pangsa pasar dunia. Apalagi Indonesia sejak lima tahun terakhir melakukan peremajaan besar-besaran di sektor tanaman sawit. Serta dibarengi juga perbaikan mutu serta kualitas olahan dari minyak sawit.
Permintaan yang tinggi di pasar Eropa dan Timur Tengah dibarengi kenaikan harga minyak sawit yang menyentuh 10-35 U$ per liter. Membuat pemasok minyak goreng dari Indonesia mensuplay ekspor ke luar negeri sangat tinggi. Ada 8 konglomerasi pengusaha Indonesia yang bermain di minyak goreng dunia dengan total omzet mencapai Rp400 triliun.
Keuntungan pengusaha minyak CPO ternyata tidak terdistribusi efek dominonya di sektor buruh pabrik serta petani sawit. Karena pekerja di sektor ini pun kurang mendapat perhatian.
Sebab, status pekerja dan buruh di persawitan kebanyakan adalah tenaga kerja kontrak. Belum lagi muka bopeng alam hutan gambut yang rusak akibat pelebaran lahan dan pendirian pabrik. Perlu recovery kembali dalam jangka waktu yang lama.
Memulihkan sistem ekonomi yang akut ini tentu harus dengan niat yang luhur. Menyelamatkan dan memulihkan moda ekonomi dalam jangka panjang.
Sistem kartel dan pengusaan moda industri oleh sebagian kecil pelaku ekonomi yang saat ini menggurita di sektor-sektor produksi, energi, konsumsi apakah bisa dilawan. Bisa, asal ada Good will (kebijakan dan kemauan) dari pemerintah sering dilakukan Jokowi. Seperti kasus batu bara, dengan menyetop ekspor batu bara.
Minyak goreng, tentu tidak bisa distop ekspor total. Tapi memastikan pasokan minimal untuk konsumsi dalam negeri itu (min 20% dari total produksi untuk konsumsi dalam negeri) yang merupakan kebutuhan primer hajat hidup orang banyak harus mendapat perlindungan. Butuh kawalan, regulasi dan implementasi yang konkrit dari pelaku kebijakan.
Untuk menyuplai 20% kebutuhan dalam negeri dari total ekspor minyak goreng. Tentu Pemerintah bisa menekan 8 pelaku industri minyak goreng (total omzet Rp400 triliun). Agar memberi ruang 20% untuk pasokan dalam negeri. Sembari pemerintah kembali menata tata niaga ekspor minyak CPO di Pulau Batam sebelum masuk pintu ekspor via Singapura.
Minyak sawit olahan, selain CPO sebenarnya ada banyak sekali aneka olahan dan industri turunan dari produk ini. Seperti margarine, aneka lipstik, sabun dan lain-lain. Olahan industri turunan dari minyak sawit ini bisa dikendalikan di Batam.
Dahulu ada projek Bintan. Dimana industri turunan dari CPO akan diolah dahulu sebelum masuk Singapura. Kini bagaimana kabarnya? Pembangunan kawasan berikat (industri) berdasar klaster yang tersebar diberbagai di daerah bisa menjembatani rantai pasukan produk tertentu.
Sehingga mempermudah untuk menstabilkan harga tidak saja bahan baku. Bahan setengah jadi sampai industri hilir bahkan manajemen inventori (gudang) dengan sistem just in time (penyediaan barang tepat waktu).
Pemerintah perlu menyeimbangkan kebutuhan dalam negeri dan luar negeri. Pasokan minyak goreng di pasar dalam negeri semakin lama semakin berkurang. Sehingga pemerintah perlu melakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas dari produksi minyak goreng.
Kelangkaan tersebut harus menjadi perhatian bersama. Sebelumnya minyak goreng di dalam negeri sempat mengalami over-supply. Sehingga pemerintah menerapkan kebijakan terkait Program Biodiesel 30 Persen (B30). Namun baru-baru ini, pasokan minyak goreng di pasar dalam negeri justru mengalami penurunan.
Setidaknya ada tiga hal yang harus diupayakan pemerintah guna mengatasi kelangkaan minyak goreng tersebut. Tiga hal yang dimaksud, salah satunya adalah menaikkan pajak ekspor minyak goreng. Harga minyak goreng dunia mengalami kenaikan dari yang awalnya seharga 1.100 dolar AS menjadi 1.340 dolar AS. Untuk itu, pemerintah perlu menyeimbangkan kebutuhan dalam negeri dan luar negeri.
Harga minyak luar negeri saat ini memang cukup menjanjikan. Namun apabila dirasa kurang efektif dalam mendorong kebutuhan pasar dalam negeri. Pemerintah dapat menerapkan pajak ekspor minyak goreng menjadi lebih tinggi. Dengan begitu pemerintah dapat memastikan pasokan minyak goreng dalam negeri tercukupi.
Kebijakan perdagangan juga bisa dilakukan pemerintah dengan menaik-turunkan kebijakan ekspor. Apabila kebutuhan dalam negeri masih kurang, maka pemerintah bisa menaikkan pajak ekspor. Sehingga mengurangi motivasi produsen domestik untuk mengekspor minyak ke luar negeri karena pajak tinggi.
Sebaliknya, jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi. Pemerintah bisa menurunkan pajak ekspor. Hal tersebut akan mendorong produsen melakukan ekspor ke luar negeri sehingga tidak ada yang menumpuk di gudang. Semua CPO (Crude Palm Oil) yang diproduksi juga bisa terjual, baik di dalam atau luar negeri.
Langkah selanjutnya adalah pemerintah dapat melakukan relaksasi atau pengenduran kewajiban produsen. Untuk memenuhi kebutuhan biodiesel 30 persen. Persentase biodiesel bisa dikurangi menjadi 20 persen selama masa gejolak kelangkaan minyak goreng terjadi.
Efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut, lebih terasa jika intervensi di sektor hulu lebih diutamakan daripada di sektor hilir. Operasi pasar terbuka yang dilakukan pemerintah di sektor hilir dengan menjual minyak goreng dengan harga murah. Justru dinilai kurang efektif.
Selama pasokan minyak goreng di pasar dalam negeri masih kurang. Hal itu akan terjadi kelangkaan dan harganya akan naik. Seperti itulah hukum pasar berlaku.[halaman7.com]
Penulis, alumnus Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.


















