Catatan: Iranda Novandi
KEBERADAAN Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh memang penuh drama dan intrik menarik. Bahkan terkadang tak termakan akal kita.
Jauh sebelum munculnya gonjang ganjing dan pro kontra kehadiran kembali ke Aceh dan kegaduhan revisi Qanun LKS saat ini. Sekitar lima tahun silam keberadaan Bank Syariah di Aceh sempat ‘terbunuh’ karena birahi duniawi.
Pembunuhan Bank Syariah itu terungkap saat FGD yang diselenggarakan Forum Pemred beberapa hari lalu di salah satu hotel berbintang di pusat Kota Banda Aceh.
Ada fakta menarik dan diyakini tak diketahui banyak orang. Hanya orang tertentu saja yang mengetahui sekelumit cerita miris di negeri berlebel syariah ini.
Kisah miris ini diungkapkan Prof Syahrizal Abbas, pengawas bank syariah di Aceh.
Satu hari, ujar Prof Syarizal, saat itu Aceh masih dipimpin dr Zaini Abdullah. Prof Syarizal saat itu menjabat Kadis Syariat Islam.
Abu Doto, sapaan akrab dr Zaini Abdullah, mengumpulkan para bupati/walikota se Aceh di pendopo tentang rencana pemberlakuan Qanun LKS. Hingga peralihan Bank Aceh menjadi Bank Syariah.
Abu Doto saat itu mengharapkan dan meminta para bupati/walikota se Aceh mendukung Qanun LKS dan peralihan Bank Aceh ke Bank Syariah ini. Harapan gubernur ini mendapat respon positif dari semua pemenang saham Bank Aceh saat itu.
Di tengah perbincangan menarik itu, kisah Prof Syahrizal, muncul wacana untuk mendirikan Bank Syariah tersendiri di Aceh. Usulan itu disampaikan Bupati Aceh Selatan kala itu, T Sama Indra.
Usulan ini disambut positif para kepala daerah di Aceh kala itu. Jadi Aceh nantinya memiliki dua bank. Satu konvensional yakni Bank Aceh dan satu lagi Bank Aceh Syariah.
Gagasan menarik ini akhirnya disepakati bersama. Bahkan, saat itu Bupati Aceh Barat, HT Alaidinsyah atau yang akrab disapa H Tito, jiwa pebisnisnya bangkit dan menyatakan siap menyertai modal di bank baru tersebut.
Keputusan tersebut membuat Abu Doto bergerak cepat. Meminta Prof Syahrizal bersama tim untuk membentuk Qanun. Agar segara bisa segera di implementasikan, Aceh memiliki dua bank, yakni konvensional dan syariah.
Setelah Qanun selesai dan Pemerintah Aceh mengajukan ke DPRA. Bak gayung bersambut, DPRA pun dengan cepat bersidang dan mengambil putusan melahirkan qanun tersebut.
Satu syarat yang harus dipenuhi Pemerintah Aceh yakni menyertakan modal sebesar Rp500 juta. Tentu modal awal sebesar setengah miliar ini sangat memberatkan. Hingga Abu Doto pun memutar kepala untuk bisa mencari modal besar itu. Agar Bank Aceh Syariah bisa berdiri di Aceh.
Setelah melalui pemikiran panjang. Akhirnya Abu Doto selaku gubernur mengambil langkah spekulasi. Dimana modal itu diambil dari dana Pokir anggota DPRA. Langkah spekulasi itu ternyata mengundang reaksi dari anggota dewan saat itu.
“Mereka tak mau dana pokir dewan dijadikan modal untuk mendirikan Bank Aceh Syariah,” ujar guru besar UIN Ar Raniry Banda Aceh.
Abu Doto terlihat mengangguk-angguk mendengar pernyataan Prof Syarizal serta peserta lain yang hadir dalam FGD itu hanya bisa geleng kepala sambil tersenyum kejut. Entah apa maka geleng kepala dan tersenyum kecut tersebut.
Setelah melewati diskusi panjang dan lobi tingkat tinggi, lanjut Prof Syahrizal, akhirnya qanun bank syariah itu tak jadi diberlakukan dan diterapkak di Aceh.
Karena anggota DPRA saat itu rela dana Pokir mereka diambil untuk dijadikan modal awal berdirinya Bank Syariah di Aceh. Meskipun Qanun nya sudah di sahkan namun gagal diberlakukan.
Ironis memang. Qanun yang telah lahir langsung dibunuh agar tak bisa tumbuh tumbuh di bumi Aceh yang konon katanya Darussalam itu.
Kini meski dulu qanuh bank syariah telah terbunuh sejak lahir. Kini apakah nasibnya akan sama dengan Qanuh LKS yang sedang diusahakan untuk dikebiri.
Entah lah, tapi inilah Aceh ku. Negeri penuh misteri yang gemar berseteru sesama anak negeri.[halaman7.com]