Catatan: Iranda Novandi
BANDUNG. Siapa yang tak mengenal Bandung. Masyarakat Bandung tentu sangat familiar dengan kota satu ini. Meski belum sempat bertandang ke sana, namun nama kota yang dijuluki Paris Van Java itu pasti atau atau setidaknya pernah terdengar.
Kota berhawa sejuk ini, menyimpan banyak potensi, terutama wisata. Mulai dari wisata alam, kuliner, heritage, sejarah, religi, termasuk wisata esek-esek. Bisa dikatakan komplit lah jika kita bermain atau liburan ke Bandung.
Kota asal klub sepakbola Persib di Liga 1 Indonesia ini, menjadi magnet tersendiri bagi siapa saja yang berkunjung ke sana. Salah satu magnet kuat tersebut, yakni bernama Saritem. Satu lokalisasi yang tak pernah padam, meski di tengah gempuran bisnis seks online yang menjamur dewasa ini.
Saritem bukan cerita baru. Konon, katanya, lokalisasi Saritem kabarnya telah ada pada zaman kolonial Belanda sejak 1838. Sejak saat itu, kawasan Saritem menjadi lokalisasi yang melegenda di Bandung, hingga akhirnya ditutup pada 2007 silam.
Penutupan lokalisasi yang dilakukan Pemko Bandung ini seiring beridiri Pondok Pesantren (Ponpes) Daarut Taubah di kawasan itu. Meskipun ditutup sejak 2007, namun lokalisasi ini tak pernah mati. Para pemainnya masih menjalankan praktek prostitusi secara terselubung.
Sejarah Saritem
Mengutip dari buku berjudul “Saritem Uncensored” karya Wakhudin, atau yang akrab disapa Alex. Di buku tersebut diceritakan jika Saritem lahir dari sebuah fenomena bernama gundik di tangsi militer yang ada di kawasan Gardu Jati yang saat ini dikenal sebagai kawasan Saritem, di Kecamatan Andir, Kota Bandung.
Gundik sendiri saat itu adalah perempuan yang tinggal bersama dengan personel militer yang merupakan pria asal Belanda. Sosok perempuan yang menjadi gundik itu disebut sebagai Nyai. Nyai inilah yang konon bernama Saritem, seorang wanita asal Indramayu.
Lambat laun, Nyai yang tinggal di tangsi militer itu, diminta untuk mencari wanita lain, guna temani para tentara Belanda tersebut. Hingga akhirnya, warga sekitar juga mengikuti jejak itu, menyediakan perempuan untuk para tentara Belanda itu. Terus berkembang pesat hingga saat sekarang ini.
***
Ditemani tiga orang plus sopir rental, kami pun meluncur dari kawasan Braga menuju Saritem. Lokasinya terlihat sepi, tidak ada tanda-tanda, daerah itu merupakan tempat lokalisasi yang sangat termashur di Kota Bandung.
Aji, seorang supir rental mengaku, ia sering membawa laki-laki, yang ingin menikmati ranum dan legitnya ‘barang’ di Saritem. Mereka berasal hampir dari seluruh daerah di Indonesia. Ramainya, saat waktu liburan. Karena banyak orang yang berlibur ke Bandung dan salah satunya ingin ke Saritem.
Sekilas tampak sepinya suasana di jalan Saritem itu, ternyata itu semua kamuflase. Saat memasuki lorong menuju memasuki perkampungan Saritem ini, aroma wanita-wanita penghibur mulai tercium. Di setiap rumah atau ruangan yang berdindingkan kaca, terlihat etalase wanita-wanita muda berpakaian seksi dengan berbagai aktivitasnya.
Ada yang sedang bercanda sesama mereka, ada juga yang sibuk dengan handphone, ada yang lagi makan dan ada juga sedang mengepul asal dari sebatang rokok putih mungil yang terselip di sela jari-jari lentik mereka.
“Tarif mereka bervariasi, sesuai yang mereka bandrol sendiri,” ujar Rully, seorang mucikari yang memandu room to room tour di kawasan itu.
Tarif mereka pun sangat variatif, dari harga Rp250 ribu untuk short time, satu jam hingga bertarif termahal Rp700 ribu per short time. Sekali short time, para pengguna jasa esek-esek ini biasanya dilayani untuk dua ronde alias dua kali cr@t.
Para Pekerja Seks Komersil (PSK) di sini, tidak bisa di booking untuk dibawa keluar areal lokalisasi. Melainkan harus di eksekusi di lokasi, dengan menyewa kamar yang tersedia. Untuk sekali pakai, sewa kamar Rp80 ribu.
Dalam sebulan, para PSK ini bekerja selama 20 hari. Sepuluh hari yang lain diliburkan, karena haid. Biasanya, saat haid inilah para PSK bisa bekerja di luar lokalisasi atau menerima bookingan di luar.
“Kami bisa puaskan pria, meskipun lagi haid. Kami tau caranya untuk memuaskan laki-laki,” ujar seorang PSK yang mengaku bernama Tika, di lokasi Saritem tersebut.
Satu hal yang menarik di lokalisasi ini, meskipun telah ditutup pemerintah setempat. Namun, pemerintah setempat seakan masih memelihar tempat ini, sebagai salah satu daya tarik Kota Bandung.
Begitu juga di tengah gempuran bisnis seks online saat ini, magis Saritem masih belum terkalahkan. Lokalisasi yang di apit Pesantren dan Polsek ini tetap jadi incaran pria mengumbar syahwat.
“Tidak ada gesekan atau konflik, meski lokasi Saritem ini bersebelahan dengan pesantren dan perumahan penduduk. Semua hidup normal berdampingan,” ujar Rully.
Ingin Hidup Normal
Lalu, apakah para PSK di Saritem ini mengantungkan sepenuhnya di dua kelam prostitusi ini. Bagi sebagain PSK yang berstatus janda, menjadikan Saritem bagian dari pelarian atas kerasnya kehidupan ini.
Mereka ingin hidup normal, layaknya wanita lain di luar sana. Namun, kemampuan skill mereka tak tertampung untuk satu pekerjaan yang halal. Hingga Saritem menjadi jalan pintas untuk menyambung hidup.
“Kami disini rata-rata janda, kami juga ingin hidup normal seperti wanita lainnya,” ujar Icha (33 tahun) salah seorang PSK.
Ibu satu anak ini yang lancer berbahasa Mandarin dan Inggris ini mengaku, hidupnya hancur setelah suaminya selingkuh dengan sahabatnya sendiri, hingga sahabatnya itu hamil hasil hubungan gelap sama mantan suaminya.
Kisah ini berawal saat Icha – bukan nama sebenarnya – saat ia bekerja sebagai TKW di Singapura. Setiap bulannya, hasil peras keringat, bantin tulang di negeri orang, dikirimkan ke kampung halaman, untuk kebutuhan hidup suami dan anak semata wayangnya.
Tapi apa yang terjadi, suaminya selingkuh dengan sahabatnya di kampung. Hingga suatu hari ia dapat kabar kalau sahabatnya itu telah hamil akibat hubugan gelap dengan suaminya. Mendapat kabar itu, Icha putuskan untuk pulang ke kampung halaman.
Dengan berat hati dan terpaksa, akhir Icha menggugat cerai suaminya. Sebagai penyambung hidup, ia pun mencari pekerjaan di Kota Bandung. Kerena kecakapannya berbahasa Mandarin secara pasih dan bahasa Inggris, ia diterima di salah satu proyek perusahaan Kereta Api Indonesia, sebagai penterjemah.
Hanya saja, perkerjaan itu tak lama dia lakoni, karena waktu kerjanya yang sangat berat dan nyarus taka da waktu untuk istirahat. Karena harus bekerja siang dan malam. Akhirnya dia pun memutuskan berhenti bekerja.
Pada 2022 lalu, ia pun akhirnya terjerembab dalam kehidupan di lokalisasi. Menjajakan tubuh bagi para laki-laki yang mengejar surga duniawi. Keluarganya di kampung, tak tahu kalau ia telah beralih profesi saat ini.
“Anak dan keluarga saya di kampung, tak tau saya kerja disini. Kalau tau pasti di gorok saya,” ujar Icha sambil memperagakan tangan kanannya yang seakan menggorok lehernya.
Bahkan, namanya pun harus di ganti, tidak menggunakan nama sebenarnya. “Nama saya yang sebenarnya Lo….” ujar Icha.
Hasil kerja yang dilakoninnya sudah setahun lebih ini, ditambah dengan tabungan saat bekerja di luar negeri, Ia kini memiliki toko pakaian di kampung, yang dikelola adik kandung dan anak gadisnya yang masih duduk di salah satu SMK di salah satu kabupaten di Jawa Barat.
Icha mengaku, setiap harinya Ia bisa melayani laki-laki pencari kepuasan seks lebih dari tiga kali, dengan tariff Rp400 ribu sekali main. Hasil Rp400 ribu itu dibagi tiga, 40 persen untuk dirinya, 40 persen untuk tuan (bapak/mucikari) tempat mereka bernaug dan 20 persen untuk agen.
Di Saritem sendiri ada lebih tuan atau mucikari. Setiap mucikari memliki anak (PSK) rata-rata 10-15 orang. Mereka setiap hari bekerja, sekitar 12 jam per hari, kecuali saat haid. Mereka bisa terbebas dari mucikari dan bisa mencari orderan lain di luar lokalisasi.
Wanita yang memiliki tato mawar merah di bahu, pundak bagian kanan ini, mengaku terkadang kala malam, suka menangis sendiri, memikirkan pekerjaannya yang dia lakoni saat ini. Bahkan, ia berpikir, jika memang ada pelanggannya yang serius ingin menikahinya, ia bersedia pensiun dari kehidupan kelam ini.
“Tapi siapa yang mau, untuk menikah dengan wanita seperti kami ini,” ujar Icha sambil tertawa terbahak, namun menyimpan getir di raut wajahnya.

Bagi Icha, tato di punggung kanannya itu memiliki makna, tentang dirinya. Menurutnya mawar itu cantik, sama seperti dirinya yang cantik. Mawar itu berduri, artinya, siapa saja yang menyakitinya, maka durinya juga akan siap menyakiti siapa saja.
“Ini tato satu-satunya di tubuh saya, tak ada tato lain,” ujarnya.
Dalam melakukan pekerjaannya, Ia pernah ‘main’ bersama bule baik Eropa maupun dari etnis Tionghoa. Kalau warga Indonesia, dari hampir semua daerah pernah dia layani dengan servis yang memuaskan.
Selama menjalani profesinya, Icha juga pernah mengalami perlakuan kasar dari pelanggannya. Dimana, ia pernah ditampar diwajahnya saat sedang on top. Namun, semua itu harus diterimanya, karena ini bagian dari konseksuensi perkerjaan yang dijalaninya.
Meskipun mengaku kuat dan perkasa melayani dan menservis para pelanggan, Icha mengaku pernah ‘lempar handuk’ alias menyerah di tengah jalan, saat bermain dengan bule yang durasi mainnya sangat panjang.
“Meskipun yang kami lakukan ini hina dimata sebagian orang, namun kami juga ingin diperlakukan secara manusiawi,” ujar Icha lirih.
Pakai ngak Pakai Bayar
Tanpa terasa obloran santai yang penuh tawa sudah hampir berjalan satu jam. Icha pun pamit ingin kembali ke home base nya. Menariknya, meskipun hanya sekedar ngobrol bayarannya tetap full. Karena ini sudah SOP dari lokalisasi ini.
Pakai ngak pakai, tetap bayar. Karena, jika sudah satu jam, tuan nya menganggap mereka telah menjalankan tugasnya dengan baik, untuk memuaskan laki-laki.
“Gawat juga ya disini, pake gak pake tetap bayar,” ujar teman dalam bahasa daerah sambil tertawa terbahak-bahak, yang ikut bersama dalam dialog berbalut wawancara tersebut.
Icha pun akhirnya pamit meninggalkan ruang lobi salah satu eksekusi di lokalisasi tersebut. Icha dan kawan-kawannya kembali ke ruang kaca menunggu panggilan atau pilihan dari para lelaki pemangsa wanita.
Kota Bandung pun mulai beranjak malam, kamipun meninggalkan lokasi itu. Hiruk pikuk di Saritem terus berdenyut hingga pukul 00.00 wib. Mungkinkah mereka bisa terbebas dari kungkungan jeruji lokalisasi? Hanya waktu bisa menjawabnya.
Ada yang benci dirinya
Ada yang butuh dirinya
Ada yang berlutut mencintainya
Ada pula yang kejam menyiksa dirinyaIni hidup wanita si Kupu-Kupu Malam
Bekerja, bertaruh seluruh jiwa raga
Bibir senyum, kata halus merayu, memanja
Kepada setiap mereka yang datang (penggalan lirik lagu kupu-kupu malam).[]