halaman7.com – Banda Aceh: Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Aceh (Himpala) mensinyalir banyak proyek fiktif di Aceh. Hal ini menyusul dengan ditemukannya proyek fiktif di BRA Aceh.
Terhadap proyek fiktif di BRA ini, Ketua Umum Himpala, Syahril Ramadhan memberi kecaman keras kepada Pemerintah Aceh. Karena dinilai telah abai terhadap kondisi tata kelola keuangan Pemerintah Aceh.
Kecaman Syahril ini terlontar saat menjadi narasumber pada Podcast peHTem, Kamis 9 Mei 2024.
Syahril atau yang biasa disapa dengan Ariel Peusangan, dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu 11 Mei 2024 mengungkap, kasus demi kasus yang lahir kepermukaan hukum di Aceh dalam bentuk bantuan hibah pemberdayaan ekonomi masyarakat Aceh, korban konflik, mantan kombatan dan Tapol Napol tidak terlepas dari pembiaraan Kepala Daerah, unsur TAPA dan Bappeda Aceh.
Hal ini dapat terlihat dari hampir setiap tahun ada saja temuan lembaga auditor baik itu Inspektorat Provinsi Aceh maupun Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi (BPKP) Aceh. Ambil contoh, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Aceh telah 3 tahun berturut-turut mulai 2022 sampai saat ini menghentikan (moratorium) kegiatan pengadaan benih ikan dengan menolak semua usulan pokok pikiran (Pokir) anggota DPRA dalam bentuk nomenklatur pengadaan benih ikan dalam bentuk nomenklatur pengadaan benih ikan di dinas tersebut. Karena ada rekomendasi BPKP Aceh dari temuan audit.
Syahril juga menduga banyak unsur kesalahan yang dimulai dari hulu kehilir dalam mengusul program tersebut. Salah satunya adalah tidak terverifikasinya kelompok yang diusulkan. Bahkan diduga seperti telah menjadi rahasia umum adanya penumpang gelap pada saat pembahasan anggaran maupun pada saat revisi atau rasionalisasi anggaran yang telah diperiksa Mendagri.
Modus bancakan anggaran ini memang bukan hal baru dalam tata kelola keuangan Aceh. Menurutnta, kejahatan amprah cash melalui dokumen formal setiap SKPA dalam bentuk bantuan hibah pengadaan barang menjadi salah satu kegiataan rutin SKPA yang menampung kapling anggaran Pokir DPRA.
Menurut Ariel, Pemerintah Aceh harus mengedepankan kepentingan daerah. Dengan membangun tata kelola keuangan yang baik, sehingga memenuhi prinsip-prinsip good governance yang diharapkan.
Karena menurutnya ini adalah program pemberdayaan ekonomi, maka selain tata kelola keuangan Pemerintah yang baik, juga harus diikuti dengan membangun integrasi tata niaga produksi masyarakat, sehingga bak gayung bersambut. Semua bentuk bantuan tersebut menjadi daya dukung pengembangan masyarakat penerima bantuan.
“Bagaimana pola pemberdayaan ekonomi masyarakat tanpa suatu integrasi tata niaga produksi, dimana pada setiap produktivitas barang harus terbentukya supplai chain,” ujarnya.
Semua bentuk bantuan hibah barang atau komoditi untuk pemberdayaan Pemerintah akan menjadi sia-sia tatkala tidak terbentuknya tata niaga produktivitas barang dan jasa. Namun tanpa membenahi tata kelola keuangan dan membangun tata niaga ekonomi di Aceh, jangan berharap segala bentuk bantuan hibah barang atau komoditi untuk pemberdayaan ekonomi di Aceh akan menjadi daya dukung produktivitas ekonomi daerah Aceh.
Malah sebaliknya, kegiatan anggaran yang dilakukan dengan prinsip ketidaklayakan dan ketidakpatutan serta tidak berdasarkan kebutuhan dari daya dukung infrastruktur, serta suprastruktur akan menjadikan program tersebut tidak berbekas.
Seharusnya Pemerintah Aceh benar-benar bekerja dengan hatinya (kecerdasan emosional/IQ), melihat kondisi Aceh yang selalu bertengger di posisi terbawah dalam statistika kemiskinan di Sumatera.
Pemerintah Aceh diharapkan bekerja dengan otaknya (kecerdasan intelektual/IQ) dalam menciptakan terobosan program-program inovatif pro rakyat. Untuk menjadi solusi jangka panjang mengejar ketertinggalan Aceh dari daerah lainnya.[ril | red 01]