Catatan: Iranda Novandi
UNTUNG tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hidup harus tetap berjalan, meski terasa pahit dan sangat mengetirkan. Bagitulah suasana hati para korban banjir raya di Aceh Tamiang saat ini.
Sedikitnya 350 jiwa warga Kampung Banjir, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, saat ini harus dengan rela dan ikhlas mendekam di kamp pengungsian. Hidup seadanya di bawah tenda oranye dan biru menjalani hidup yang telah berjalan lebih dari 30 hari.
Hari itu, Rabu 26 Nopember 2025, hujan deras yang melanda kawasan tersebut sejak sehari sebelumnya, menjadi awal petaka yang memilukan. Hantaman banjir bandang dengan membawa kayu gelondongan memporak porandakan kampong tersebut.
Akibatnya, mau tak mau mereka harus meninggalkan kampung halaman mereka yang telah lama didiami. Untuk wakga Kampung Banjir, bencana ini sudah untuk ketiga kalinya mereka rasakan.
Aida (53 tahun) salah seorang ibu korban banjir mengakui banjir kali ini yang terbesar dialaminya. Karena selain menghilangkan seluruh harta bendanya, kampungnya juga ikut lenyap.

“Sejak 20 silam saya putuskan ikut dengan suami dan menetap di Aceh Tamiang, saya akan selalu bersamanya (suami) meski dalam duka dan suka,” ujar Aida sembari mengatakan, ia tak tahu kabar sanak keluarga yang di Dairi, karena kabarnya Sumut juga banjir bandang.
Dalam Curhatannya, Aida mengaku sangat membutuhkan alas tidur, berupa hambal atau tikar saja, sebab selama di pengungsian, ia harus tidur langsung di atas tanah dalam tenda pengungsian.
Kalau bantuan lain, menurut Aida, ia punya, seperti beras meski tak banyak, selain itu ada juga mie instan. Hanya saja, Aida tak tahu dimana harus dimasak makanan itu, karena gak ada alat masak.
Begitu juga, Furqan mengakui, kalau banjir yang melanda kampung, pemukiman tempat tinggalnya bersama ratusan pengungsi lainnya sudah tak ada harapan untuk bisa ditempati lagi.
“Ini banjir ke 3 kalinya melanda kampong kami, dua banjir sebelumnya kami mampu bertahan. Kali ini sudah tak berdaya lagi,” ujar Furqan seorang bapak paruh baya saat berbincang dengan halaman7.com, Sabtu, 27 Desember 2025 di Posko pengungsian di Desa Bundar, Kuala Simpang, saat hadir bersama PWI Aceh dan PT WU.
Menurutnya, dua bencana serupa sebelumnya, pada 1996 mereka masih bisa bertahan dan kembali menetap di daerah tersebut. Banjir kedua yang lebih besar kembali datang pada 2006 banjir kembali merusak perkampungan tersebut.
Kali yang ketiga, pada 26 Nopember 2025 banjir yang maha dahsyad menyapu bersih kampong tersebut, sehingga tak meninggalkan bekas sama sekali. Semuanya luluh lantak disapu sang banjir.
“Angka 6 seperti angka sial bagi kampong itu, pertama 1996, lalu 2006 dan kali ini 26 Noepember,” ujar Furqan mentamsilkan triple 666 yang perlu di cerna dengan logika sehat dan akal cerdas.
Dalam mitos masyarakat dunia, triple 666 merupakan angka setan atau bisa juga disebutkan, angka 6 melambangkan ketidaksempurnaan manusia. Sehingga 666 adalah penekanan pada ketidaksempurnaan dan kegagalan manusia yang ekstrem di mata Tuhan.
Bagi masyarakat Muslim, tentu mitos dan kepercayaan tersebut tidak bisa dipercaya, karena segala sesuatu itu, sudah menjadi ketetapan Allah SWT atau bisa disebut takdir. Karena tidak ada satu kaum yang bisa merubah nasibnya, kecuali kaum itu sendiri. (Surat Ar-Ra’d ayat 11)
Dalam Al-Qur’an, yang menekankan bahwa perubahan nasib atau keadaan suatu kaum (atau individu) bergantung pada usaha, perubahan sikap mental, dan ikhtiar mereka sendiri, bukan sekadar pasrah pada takdir, karena Allah tidak akan mengubah kondisi mereka kecuali mereka sendiri yang berupaya mengubahnya.
Ayat ini menjadi motivasi kuat untuk berjuang, bekerja keras, dan bertawakal, menyadari peran manusia sangat aktif dalam menentukan masa depan.
PWI Aceh Hadir

“Kami mengandeng Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh untuk mendistribusikan nasi dengan menu ‘kuah beulangong’ kepada pengungsi korban bencana, ” katanya menjelaskan.
Kuah Beulangong merupakan masakan istimewa yang kerap dihidangkan dalam acar kenduri, seperti pesta perkawinan dan hajatan sunat rasul serta kegiatan-kegiatan kebesaran lainnya.
Sanusi atau akrab disapa Yahlem, menjelaskan rasa empati kepada korban bencana hidrometeoroligi menggugah hati menginggat banjir dan longsor yang menimpa sebagian wilayah Aceh telah memporak-porandakan tidak hanya tempat tinggal, tapi juga mata pencaharian masyarakat.[].. bersambung “Mushaf Alquran yang Dirindukan”

















