halaman7.com – Banten: Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM dan RI yang kini sudah berjalan 15 tahun, merupakan tindakan yang sangat berani dilakukan Gearakan Aceh Merdrka (GAM).
“Salah satu konsekuensi MoU itu. Dilakukannya pemotongan senjata milik GAM,” ujar Tarmizi Age yang lebih dikenal dengan panggilan Almukarram, Sabtu 15 Agustus 2020, di Jakarta.
Dikatakan, ada catatan yang menarik yang tidak terkuak ke publik menyangkut MoU ini. Sebenarnya ada pertemuan penting para petingi-petinggi GAM di sebuah gedung di Fjerritslev, Region Aalborg, negara Denmark, selama beberapa hari.
Pertemuan itu dilakukan, sebelum mereka bertolak ke Helsinki, Finlandia, untuk penandatanganan kesepakatan damai GAM-RI yang dimotori mantan Presiden Finland Martti Ahtisaari.
Pertemuan Denmark
Sebelum penandatanganan MoU antara RI dan GAM terjadi di Helsinki, lanjut Tarmizi, sesungguhnya ada pertemuan awal yang digelar di Negara Denmark. Pertemuan itu dihadiri para petinggi GAM baik dari Aceh maupun dari luar Aceh.
Mereka diantaranya Teungku Malek Mahmud Al-Haytar, Teungku Bakhtiar Abdullah, Teungku Irwandi Yusuf, Teungku Nurdin Abdurrahman, Teungku Nur Juli, Teungku Doly Pase, Teungku Taleb dan sejumlah nama lain.
Alumni Denmark tersebut mengatakan, 15 tahun perjanjian damai Aceh, nampaknya ada beban berat yang harus dipikul para pejuang GAM. Beban itu termasuk sejumlah isi nota kesepahaman antara RI dan GAM.
“Dimana masih tidak dijalankan pemerintahan di Aceh,” tegas Tarmizi Age, mantan Ketua Komite Monitoring Perdamaian dan Demokrasi Perwakilan Eropa itu.
Biasalah, orang kampung terkadang bertanya-tanya pada mantan TNA (GAM), kapan bendera aceh berkibar (pajan bendera aceh di eik)? Kapan hasil 70-30 kita rasakan (pajan hasee 70-30 tanyoe rasakan)? Kapan anak-anak para pejuang dapat uang biaya hidup tiap bulan (pajan aneuk pejuang meureumpeuk peng biaya hudeep tieb bulen)?
“Pertanya ini dan banyak pertanyaan lainnya, menjadi beban yang harus di pikul awak GAM. Sayang sekali mantan kombantan GAM yang hidup di kampung-kampung,” sebut putra Bireuen ini.
Sudah hidupnya terkadang susah dan bahkan mungkin ada yang menderita. Ditambah dengan persoalan Aceh yang di pertanyakan pada mereka.
“Maka dengan itu, kepada pihak yang bertanggung jawab, tolonglah tuntaskan pelaksanaan MoU Helsinki,” pinta Tarmizi Age.
Beban itu, lanjut Tarimzi, tidak hanya urusan MoU yang belum semuanya tuntas. Ekonomi para mantan GAM yang masih tergolong sulit juga beban. Jika hal ini dikolaborasi. Maka akan menjadi lampu merah bagi keberlangsungan pembangunan Aceh.
Eks Kombatan
Kepada Pemerintah Aceh (PA), Tarmizi mengingatkan, jangan lupakan para eks kombatan. Pemerintah juga harus segera menyelesaikan implementasi butir-butir MoU Helsinki. Sudah saatnya menyusun dan mengakokodir budgeting setiap anggota mantan GAM.
“Minimal untuk mencukupi anggaran bahan makanan pokok mereka,” tegas Tarmizi Age,
Berbicara MoU Helsinki, Pemerintah Aceh diingatkan, jangan lupa kontribusi warga Aceh di Eropa, terutama di Denmark.
Kini seakan tidak ada arti sama sekali di mata Pemerintah Aceh. Plt Gubernur Aceh, para bupati/walikota di Aceh dan seluruh anggota parlement di seluruh Aceh serta para stakeholder lainnya, harus mengakui perdamaian ini tidak hadir tanpa usaha, serta kebesaran hati warga Aceh di Denmark saat itu.
“Maka siapapun Pemerintah Aceh harus memahami ini,” tegas Tarmizi Age.
Pemerintah Aceh dan para petinggi GAM jangan pernah lupa para pejuang. Baik itu yang di Aceh maupun yang di luar Aceh. Agar hasil perdamaian ini dirasakan semua pihak. Jangan biarkan mantan kombatan GAM hidup susah.
“Para pejuang perlu diupayakan pekerjaan. Minimalnya bisa ada pemasukan untuk bisa menghidupkan keluarga mereka,” tutup anak Aceh yang pernah menemui penengah perdamaian aceh Martti Ahtisaari (presiden Finlandia pada saatnya), di Eropa menyangkut urusan Aceh ini.[andinova | red 01]

















