halaman7.com – Banda Aceh: Dalam dua bulan terakhir, di Provinsi Aceh terjadi peningkatan penyebaran Covid-19 yang signifikan. Angka penambahan terpapar dan kematian akibat Covid-19 terus bertambah. Update per 7 September 2020, kasus positif Covid-19 Aceh telah mencapai 2.041 orang.
Akademisi Unaya, Usman Lamreueng menilai dengan jumlah yang terus bertambah, sudah semestinya Pemerintah Aceh harus memiliki strategi penangulangan korban. Edukasi kesadaran masyarakat patuh pada protokol kesehatan sebagai bagian dari memutus rantai penyebaran Covid-19 juga perlu ditingkatkan.
Kegiatan Gebrak Masker (Gema) di seluruh Aceh yang dilaksanakan Pemda Aceh beberapa hari lalu serentak di seluruh Aceh dinilai langkah bagus. Yaitu dengan menyampaikan pesan agar memakai masker melalui khutbah Jumat.
“Kegiatan ini kami harapkan tidak hanya berhenti pada acara serimonial saja. Namun terus diberikan edukasi dengan melibatkan berbagai organisasi masyarakat dan ulama,” ujar Usman Lamreueng, Selasa 8 September 2020.
Strategi Jitu
Usman menyarankan, Pemerintah Aceh untuk terus membangun koordiansi dan komunikasi dengan pemerintah kabupaten/kota. Agar program edukasi Covid-19 berjalan dan masyarakat patuh protokol kesehatan.
Dikatakan, Pemerintah Aceh harus punya strategi jitu. Apa yang menjadi kendala di sektor kesehatan akibat meningkatnya kasus Covid-19. Tentu tenaga kesehatan tentu perlu nutrisi dan fasilitas istirahat yang baik, agar pelayanan kesehatanpun berjalan baik.
“Misalnya Pemda Aceh menyediakan fasilitas penginapan untuk dokter, perawat dan tenaga medis lainnya yang berdekatan dengan rumah sakit. Ini bertujuan agar terjaga kesehatan mereka,” ujar Usman memberi saran.
Usman juga menyorot terkait dengan pengadaan alat RT-PCR. Dalam hal ini Usman memberikan beberapa solusi. Seperti alat PCR itu disediakan secara regional di Aceh. Misal, Aceh membeli 5 Unit alat PCR, estimasi harga Rp1,5 miliar unit.
Lalu bangun bangunan laboratorium di Rumah Sakit, baik melakukan penambahan bangunan atau bangun baru. Estimasi Rp500 juta/bangunan. Jika dikalkulasikan alat PCR Rp1,5 miliar x 5 = Rp7,5 miliar. Bangunan Laboratorium Rp500 juta x 5 = Rp2,5 milyar.
Lalu ditambah Rp1 miliar anggaran untuk pelatihan tenaga laboratorium. Dalam hal ini bisa bekerjasama dengan Balitbangkes Aceh. Maka, hanya menghabiskan total anggaran Rp15 miliar.
“Hemat kami, Rp15 miliar, tidaklah terlalu besar dari Rp2,3 triliun dana refocusing Aceh,” ujar Usman.
Pengangan Kewilayahan
Disamping itu, Usman juga memberi saran agar dalam penangan penanggulangan Covid-19 ini juga dilakukan secara kewilayahan. Tidak terfokus hanya di Banda Aceh saja. Hal itu bisa dilakukan dengan menempatkan alat PCR di berbagai wilayah di Aceh.
Di bagian Timur Aceh, misalnya di Langsa (untuk daerah Aceh Tamiang, Idi, Aceh Timur). Bagian Aceh Utara (Lhokseumawe, Bireuen, Aceh Utara, Pidie, Pijay). Daerah Aceh Tengah (Takengon, Bener Meriah, Aceh Tenggara).
Di daerah Selatan (Tapaktuan, Abdya, Singkil, Subulusalam), di Meulaboh (Nagan, Aceh Jaya, Simeulue). Sedangkan di Banda Aceh sudah ada Litbangkes dan Unsyiah untuk Banda Aceh dan Aceh Besar, Sabang.
Jadi, lanjut alumni UGM Yogyakarta ini, tidak harus semua sampel spesimen swab harus dibawa ke Banda Aceh. Hal ini untuk mempercepat pemeriksaan dan efektivitas waktu. Jika pemerintah Aceh fokus penanganan Covid-19, langkah ini lah yang seharusnya diambil.
Ini PR Pemerintah Aceh. Dengan anggaran refocusing Rp2,3 triliun, menurut Usman yang selama ini konsen akan kualitas layanan publik di Aceh ini, Pemerintah Aceh mampu menyelesaikan berbagai kendala dan masalah dalam penaganan Covid-19 di Aceh.
“Syarat melibatkan semua lembaga dan organisasi masyarakat, tidak jalan sendiri,” tegas Usman.
“Sudah cukup acara serimonial. Sudah seharusnya pemerintah Aceh berpikir strategis dan sistematis dalam upaya penanganan korban dan memutus rantai penyebaran Covid-19,” pungkasnya.[andinova | red 01]
Respon (1)