halaman7.com – Banda Aceh: Masalah Majelis Adat Aceh (MAA) belum ada tanda-tanda untuk diselesaikan Gubernur Aceh Nova Iriansyah. Sepertinya Gubernur Aceh Nova Iriansyah engan mengembalikan Badruzzaman Ismail sebagai ketua dan para pengurus terpilih Majelis Adat Aceh (MAA) hasil Mubes 2018, sesuai keputusan banding Makamah Agung.
Akademisi Unaya, Usman Lamreueng menilai, ini menandakan, Gubernur Aceh Nova Iriansyah tidak patuh putusan hukum. Sebagai pemimpin seharusnya taat hukum, dan memberikan contoh terbaik pada rakyat Aceh.
“Seorang Gubernur seharusnya bersikap elegan, bijaksana dan menghormati keputusan hukum dengan mengsegerakan menindak lanjuti melantik ketua MAA beserta pengurus hasil Mubes 2018,” ujar Usman, Senin 13 Desember 2021.
Dalam berbagai pemberitaan di media menyebutkan, awal kisruh MAA sejak Gubenur Nova Iriansyah (saat itu masih Pelaksana Tugas) menolak hasil Mubes 2018 yang dianggap cacat hukum, tidak sesuai dengan Qanun Aceh No.3 Tahun 2004.
Pada Mubes tersebut terpilih sebagai Ketua MAA adalah Badruzzaman Ismail. Akibat ditolaknya hasil Mubes, ketua terpilih hasil Mubes MAA pada Oktober 2018 Ketua terpilih Badruzzaman Ismail mengajukan gugatan terhadap Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah ke PTUN Banda Aceh sampai kasasi ke Makamah Agung.
Akhirnya Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Banda Aceh, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan (banding), hingga Mahkamah Agung (kasasi) semuanya telah dimenangkan gugatan Badruzzaman berserta pengurus hasil Mubes 2018.
MAA salah satu keistimewaan Aceh, dan tidak dimiliki di daerah provinsi lain di Indonesia, sudah sepatutnya MAA jangan di politisasi dengan arogansi kekuasaan. Bisa menyebabkan MAA mati suri, tidak bisa apa-apa untuk menjaga adat, budaya dan reusam bangsa Aceh.
“Jangan gara-gara akibat arogansi, oligarkhi kekuasaan, MAA jadi babak belur, tak berdaya. Pada akhirnya tinggal nama dan sejarah, akibat dipolitisasi MAA sang penguasa,” ujar Usman.
Maka sudah sepatutnya Gubernur Aceh taat hukum dan seharusnya segera menetapkan Ketua MAA terpilih beserta pengurusnya hasil Mubes Oktober 2018. Karena proses hukum sudah selesai, Gubernur harus mengembalikan posisi ketua MAA berseta pengurus hasil Mubes.
“Kami berharap Gubernur Aceh Nova Iriansyah selesaikan masalah kisruh MAA sebelum berakhir jabatannya sebagai gubernur. Sudahilah, agar konflik ini tidak lagi panjang. Para pengurus bisa fokus melaksanakan berbagai agenda program MAA, yang saat ini sangat dibutuhkan rakyat Aceh,” ujar Usman.
Peran Wali Nanggroe
Dikatakan, peran PYM Wali Nanggroe sangat penting, untuk segera menyelesaikan kisruh ini. Apalagi sekarang MAA di bawah Lembaga Wali Nanggroe, dan pun pengukuhan kepengurusan baru adalah Wali Nanggroe.
Sudah seharusnya PYM Wali Nanggroe mengginisiasi agar ini bisa diselesaikan dengan secara Adat Aceh. Mempertemukan Gubernur Aceh Nova Iriansyah dan Ketua terpilih Badruzzaman Ismai beserta pengurus, yang selanjutnya dilakukan peusijuk sesuai adat istiadat Aceh sebagai tanda berdamai saling memaafkan.
“Kalau ini saja tidak mampu dilaksanakan. Bagaimana kita jaga budaya, adat istiadat Aceh, yang sejuk, ramah, Islami dan saling menghargai. Semoga Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe atas nama marwah adat istiadat mendamaikan kisruh MAA,” ujarnya.
PYM Wali Nanggroe mempunyai peran sebagai pemersatu masyarakat Aceh. Maka sudah sepatutnya mengambil langkah-langkah konkrit dan bijaksana demi kokohnya rasa soliditas serta solidaritas dalam jajaran Lembaga Keistimewaan Aceh.
Disinilah Wali Nanggroe perlu mengedepankan dan mempertaruhkan kewibawaan sebagai pimpinan tertinggi di jajaran lembaga keistimewaan Aceh. Konon lagi sudah terang benderang posisi Wali Nanggroe sebagaimana ditegaskan dalam Qanun Aceh No. 8 Tahun 2019, membawahi MAA dan Pimpinan MAA bertanggung jawab kepada Wali Nanggroe.
Karena itu, lanjut Usman, apabila sebelumnya ada kekeliruan dalam mengambil sikap antara lain pengurus MAA yang telah dikukuhkan ternyata bertentangan dengan hukum karena bukan merupakan hasil Mubes, maka harus segera dievaluasi kembali.
Kalau hal tersebut terus di biarkan, percayalah ke depan akan timbul permasalahan hukum baru dan Wali Nanggroe akan terseret di dalam pusaran itu serta pasti akan merusak kewibawaan dan marwah Wali Nanggroe sebagai pimpinan tertinggi dalam khazanah lembaga keistimewaan Aceh yang sangat berperan dalam mempersatukan masyarakat.
“Untuk ini kami mengharapkan agar tokoh-tokoh yang berada di sekitar lembaga Wali Nanggroe yaitu para pimpinan/pengurus Majelis Tinggi, seperti Tuha Peut, Tuha Lapan dan Majelis Fatwa wajib mengambil peran,” usul Usman.
Peran itu dengan memberikan masukan-masukan yang benar dan bertanggung jawab kepada Wali Nanggroe. Sehingga Keputusan yang diambil dan ditetapkan Wali Nanggroe, benar-benar sesuai dengan Hukum yang berlaku.
“Jangan justru masukan yang diberikan, dapat menjerumuskan Wali Nanggroe ke jurang kehancuran dan merusak kewibawaannya,” tegas Usman.
Faktanya sebagaimana tindakan Wali Nanggroe yang telah mengukuhkan Pengurus MAA yang lalu tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tetapi telah disusupi dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik segelintir orang-orang tertentu.[ril | red 01]

















