Masih Percayakah Rakyat Aceh pada Parlok

di Pemilu/Pilkada 2024?

Catatan: Usman Lamreueng

SERANGKAIAN peristiwa sejarah Aceh patut terus diingat adalah tsunami pada akhir 2004 dan kesepakatan damai antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka, 15 Agustus 2005 di Helsinki.

Usman Lamreung

Dua peristiwa besar tersebut, tsunami yang dahsyat yang menghancur-leburkan sebagian wilayah Aceh pada Desember 2004 dan hasil negosiasi pemerintah dan GAM yang dimulai sejak 2004 dan berakhir Agustus 2005. Kedua peristiwa sejarah ini merupakan titik balik bagi Aceh, secara politis maupun ekonomi.

Di balik kesepakatan damai dan program rekonstruksi besar-besaran pasca tsunami, pembangunan bergerak sangat cepat. Dua lembaga penting dibentuk yaitu pertama, Aceh Monitoring Mission (AMM) untuk mengawal perdamaian dan berkoordinasi dengan pakar-pakar dari Uni Eropa dan ASEAN. Kedua, dibentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias, dengan tugas rehabilitasi, rekonstruksi, menfasilitasi, mengkoordinasikan, dan mengawasi proyek-proyek rekonstruksi yang dibangun oleh lembaga, badan serta donoatur internasional yang memberikan bantuan.

BRR menyelesaikan tugasnya tepat sebelum Pemilu pada April 2009, menyelesaikan tugasnya dengan sangat sukses. BRR mencapai seluruh target rekonstruksi fisik seperti membangun rumah, sekolah, rumah sakit, kantor, gedung, jalan dan lainnya. Tetapi yang lebih penting adalah bahwa Aceh tetap mempertahankan strukturnya sendiri dengan struktur kekuatan akar rumput dan struktur administratif Indonesia, dari gubernur hingga ke gampong-gampong.

Kondisi politik Aceh pasca konflik berubah dratis, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan traspormasi politik perjuangannya melalui jalur politik, yaitu lahirnya partai politik lokal. Partai Lokal di Aceh wadah rakyat Aceh dalam melanjutkan perjuangan politik. Pada 2007 lahirlah berbagai partai lokal di Aceh diantaranya yaitu partai Aceh, Partai Rakyat Aceh, Partai Daulad Aceh, Partai SIRA, Partai Gabthat dan sebagainya.

Partai politik lokal adalah wadah bagi eks GAM dan rakyat Aceh mentrasformasikan gerakan mereka dari perlawanan senjata, ke jalur politik. Hadirnya partai lokal di Aceh proses awal demokrasi untuk menentukan keberlanjutan pembangunan Aceh.

Dinamika politik terjadi, yaitu saat eks GAM mendeklarasikan partai lokal (Partai Aceh) dengan pemerintah pusat. Polemik tersebut di picu awalnya adalah nama partai, lambang, dan bendera partai eks GAM menyurupai lambang, dan bendera GAM.

Akibatnya pemerintah pusat protes secara tegas agar lambang dan bendera tersebut dihilangkan karena melanggar aturan hukum negara dan eks GAM harus merubah ke lambang lain, yang penting tidak menyurupai bendera dan lambang Gerakan Aceh Merdeka. Dinamika politik tersebut akhir di sepakati sehingga eks GAM mengantikan nama, lambang dan bendera partai lokal berubah menjadi partai Aceh.

Baca Juga  Kembali Terjadi, Satu Warga Aceh Tamiang Meninggal Akibat Covid

Partai Aceh awalnya menjadi harapan baru rakyat Aceh,hal ini bisa dilihat saat Pilkada 2006. Hampir semua wilayah Aceh, dari gubernur, bupati dan walikota dikuasai mantan kombatan GAM. Biarpun saat Pilkada tersebut, eks GAM belum ada partai politik, namun dengan jalur indenpenden, hampir 65 persen pemerintahan kabupaten/kota berhasil direbut dan dikuasai eks GAM.

Begitu juga saat mantan kombatan GAM memiliki partai lokal, rakyat Aceh sangat mendukungnya, hal ini terbukti saat pemilu tahun 2009. Partai Aceh mendapatkan suara terbanyak dan pemenang pemilu di Aceh.

Mereka mendapatkan kursi terbanyak di DPRA, dengan 33 kursi dari 69 kursi yang diperbutkan. Begitu juga di daerah, beberapa kabupaten/kota Partai Aceh menguasai kursi terbanyak di DPRK, seperti Kota Lhokseumawe, Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Langsa, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar dan lainnya.

Tidak Sebanding

Namun akibat macetnya berbagai kebijakan dan implementasi janji politik tidak berbanding lurus dengan harapan rakyat Aceh. Seperti pengetasan kemiskinan, lapangan kerja, pelayanan publik dan lainnya, menyebabkan pada pemilu tahun 2014 turun perolehan suara partai Aceh menjadi 28 kursi dari 81 kursi yang diperebutkan di DPRA, biarpun masih sebagai pemenang pemilu. Kehilangan suara dan kursi tidak hanya di DPRA, tetapi juga di daerah-daerah basis, seperti Aceh Besar, Aceh Selatan, Aceh Barat dan lainnya.

Begitu juga pada Pemilu 2019, Partai Aceh kembali kehilangan suara dan kursi DPRA sangat sinifikan, dengan 18 kursi dari 81 kursi. Artinya banyak kursi partai Aceh direbut oleh partai nasional, seperti partai Gerindra, PAN, Golkar dan PKB. Semakin rendah rakyat Aceh simpati pada Partai Aceh, artinya rakyat sangat kecewa dengan kinerja para kader Partai Aceh di parlemen. Kader-kader partai Aceh tidak mampu mengakomodir aspirasi rakyat Aceh yang sudah memilih mereka dan mereka tidak mampu memenuhi janji politik saat kampanye.

Program-program yang sudah dilaksanakan sebagai upaya peningkatan dan mengurangi angka kemiskinan di Aceh, yaitu program JKA, program penguatan ekonomi, beasiswa, bidang infrastruktur pembangunan adalah rumah dhuafa, renovasi Masjid Raya Baiturrahman, infrastruktur lainnnya, dan Syariat Islam, sudah jalankan dibawah kepemimpinan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar dan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf berasal dari garis perjuangan yang sama yaitu GAM dan kader Partai Aceh, sebagai kekuatan partai lokal Aceh, berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Baca Juga  Kesiapan Antisipasi Huru Hara Pemilu 2024

Namun kebijakan dan program-program tersebut tidak berjalan optimal disebabkan dengan berbagai benturan politik seperti konflik legislatif dan eksekuitif dan konflik internal eks GAM.

Rakyat Aceh melihat sepertinya tidak berfungsi partai lokal untuk menyuarakan kepentingan rakyat dan pembangunan Aceh. Eksitensi partai lokal saat Pemilu/Pilkada tidak begitu terlihat karena tujuan serta program partai lokal tidak begitu jelas.

Isu-isu yang di usung masih isu lama, tentang lambang dan bendera Aceh, kemiskinan, dan realisasi MoU Helsinki yang dianggap belum direalisasi oleh pemerintah pusat. Isu tersebut menurut masyarakat Aceh tidak begitu popular. Karena rakyat Aceh sudah bisa menilai selama dua periode kepemimpinan yang di pegang partai lokal, tingkat kesejahteraan masyarakat, pengetasan kemiskinan belum mampu diselesaikan, biarpun anggaran melimpah, ini diakibatkan karena kualitas sumberdaya manusia di Partai Lokal sangat rendah. Menyebabkan para pemilih meninggalkan parlok, khususnya partai Aceh dengan memilih partai politik nasional.

Partai Aceh dan partai lokal lainnya harus mampu mempertahankan eksitensi partainya masa kini dan pada masa depan untuk menghadapi Pemilu/Pilkada 2024. Harus benar-benar mereformasi internal, dan melakukan rekrutmen politik dengan meperkuat pengkaderan ideologi politik partai dengan baik, agar kader siap dan konsisten mampu merealisasikan berbagai turunan kebijakan ke khususan Aceh yang sudah diberikan pemerintah pusat.

Partai Lokal harus kuatkan peran dan eksistensinya lebih khusus Partai Aceh (PA) sebagai partai perjuangan dalam mewujudkan masyarakat Aceh yang bermartabat melalui kewenangan dan kekhususan Aceh. Seluruh rakyat Aceh bersama-sama mempertahankan marwah, harkat dan martabat rakyat Aceh, salah satu bentuk marwah dan martabat rakyat Aceh yaitu lambang dan bendera daerah Aceh dan Undang-Undang 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Penjabaran MoU Helsinki merupakan pelaksanaan Pemerintahan Aceh yang efektif dan efisien, mewujudkan kesejahteraan masyarakat Aceh melalui pembangunan ekonomi, pendidikan berkualitas dan mempertahankan budaya, agama dan adat istiadat sesuai kearifan lokal yang ada.

Baca Juga  Kapolres Sabang: Ciptakan Pemilu Bebas Hoaks

Partai lokal dan Partai Aceh (PA) harus mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan memperjuangkan kembali Aceh dengan meningkatkan sumber daya manusia yang cerdas dan terampil. Mewujudkan kesejahteraan Aceh melalui pembangunan ekonomi berasaskan pada potensi unggulan lokal dan berdaya saing, keistimewaan tersendiri dengan adanya qanun (Peraturan Daerah) tentang kesejahteraan sosial.

Lalu, memperjuangkan agar tidak terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), memperkuat struktur ekonomi dan kualitas sumber daya manusia. Meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat Aceh dan mewujudkan kemandirian pangan, mendorong pemberdayaan perekonomian masyarakat desa agar lebih berdaya, mandiri, memiliki kemampuan penguasaan teknologi dan inovasi tepat guna, kemudahan mendapatkan akses permodalan dan akses pemasaran yang lancar.

Ini adalah peluang besar sebagai kekuatan partai politik lokal Aceh. Apa yang di cita-citakan dalam penjabaran Undang-undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2006, tentang pemerintahan Aceh, di implementasikan dengan benar berdampak pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Apa yang tersebut di atas belum mampu dijalankan dua periode kepemimpinan para eks kombatan GAM, belum mampu membawa Aceh bersaing dengan daerah-daerah lain. Malah ironisnya data masyarakat miskin bukan berkurang, malah bertambah. Ironisnya lagi banyak program yang di rencanakan malah banyak di periotaskan para kombatan, berakibat kecewanya para simpatisan dianggap tidak merata.

Maka kedepan parlok harus bersatu, bersinergi membangun Aceh sesuai dengan cita-cita rakyat Aceh, adil, makmur dan sejahtera. Parlok harus menjadi wadah perjuangan bangsa Aceh, bukan bersaing, bertengkar, sibuk merebut kuasa, namun lupa tugas utama membangun Aceh yang mandiri, bersaing dan keluar dari keterpurukan. Manfaatkan sisa anggaran Otsus dengan baik, realisasikan program sesuai kebutuhan untuk kepentingan pembangunan Aceh masa depan. Waallahualam.[]

Penulis, Akademisi Universitas Abulyatama (Unaya), Aceh Besar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *