Potret Kinerja Ekonomi Pemerintah Aceh

Usman Lamreung

Oleh: Usman Lamreung

EKONOMI Aceh tak kunjung membaik. Di semua indikator makro, pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat kemiskinan, dan angka pengangguran, semua angkanya negatif, bahkan yang paling sensitif angka kemiskinan, selalu menjadi objek sinisme publik.

Setiap kali dirilis BPS maka akan menjadi “musim” kritikan dan hujatan bagi Pemerintah Aceh. Semua pihak seolah berlomba menyorot problem kemiskinan ini yang tampaknya memang semakin identik dengan Aceh.

Mengapa tren buruk ini terus terjadi dan membuat ekonomi Aceh deadlock? Mari kita ulas secara runut dan runtut ironi potensi dan peluang, kondisi eksisting, serta orientasi dan budaya kerja di dinas-dinas tim ekonomi Pemerintah Aceh.

Untuk membuka tabir tren kesia-siaan dan kegagalan pembangunan ekonomi Aceh selama ini. Tentu dengan harapan catatan ini dapat diindahkan dengan langkah-langkah pembenahan dan perbaikan.

 Potensi dan Peluang

Ada enam sektor yang perlu kita kritisi yaitu sektor pariwisata, agro (pertanian, perkebunan, dan peternakan), perikanan, usaha kecil-menengah (UKM), perdagangan dan perindustrian, plus investasi. Keenam sektor ini adalah unggulan untuk mengungkit dan melejitkan perekonomian Aceh.

Dari sisi potensi dan peluang, untuk sektor kepariiwisataan, Aceh memiliki ragam objek dan  destinasi yang sangat lengkap dan tak kalah mengundang dibanding daerah-daerah lain di Indonesia.

Selaras dengan potensi ini kita mendengar informasi bahwa Presiden Jokowi melalui para menteri pariwisatanya bahkan juga telah membuka kran yang sangat luas terhadap upaya pengembangan sektor kepariwisataan di Aceh baik melalui investasi luar negeri dan pengembangan KEK Pariwisata.

Aceh memiliki potensi sumber daya alam yang juga melimpah di sektor agro, peternakan, dan perikanan. Mendukung sektor agro ini Aceh beruntung karena diberkahi dengan ketersediaan air baku yang melimpah sebagai sumber kehidupan untuk menyuburkan lahan-lahan pertanian dan perkebunannya.

Baca Juga  Aceh, Anggaran Besar Namun Masih Terpuruk?

Sementara di sektor perikanan, laut Aceh juga menyimpan potensi yang sangat kaya, bahkan perairan Barat-Selatan Aceh disebut-sebut adalah jalur migrasi ikan tuna sirip kuning yang kita tahu pasar ekspornya sangat besar.

Kemudian di sektor UKM, Aceh memiliki cukup banyak UKM yang bergerak di berbagai setkor produktif. Produk-produk mereka pun cukup berkualitas dan mampu bersaing dengan produk-produk UKM luar.

 Kondisi Eksisting

Nyatanya sektor-sektor ekonomi dengan segala potensi besarnya ini belum mampu menyejahterakan rakyat Aceh. Kita ulas satu-satu. Sektor kepariwisataan, Aceh masih jauh tertinggal dibanding daerah lain.

Dengan segala potensi dan peluang, pariwisata Aceh tidak masuk dalam proyeksi “10 Bali Baru”, proyek strategis nasional sektor kepariwisataan. Peluang mendapatkan status KEK Pariwisata pun hingga kini tak jelas nasibnya.

Karena belum menjadi destinasi favorit, even-even budaya dan pariwisata yang terus rutin diselenggarakan tiap tahun pun akhirnya sepi pengunjung sehinga nyaris tak ada imbal balik, tak memberi dampak apapun terhadap ekonomi Aceh. Tak sepadan antara dukungan anggaran pemerintah dengan efek rupiah yang dinikmati rakyat.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh sejauh ini hanya mampu menciptakan keramaian sesaat dengan atensi dan tingkat kunjungan yang terbatas. Nyaris tak punya nilai jual.

Jangankan turis asing, domestik. Bahkan setingkat rata-rata warga kota Banda Aceh dan Aceh Besar saja atensinya tak cukup signifikan.

Kemudian ragam komoditas pertanian dan perkebunan, serta peternakan yang banyak diantaranya berkualitas unggul, serta komoditas perikanan yang juga tak kalah besar.

Nyatanya belum berdampak apa-apa terhadap perekenomian Aceh. Tak ada nilai tambah atas ragam komoditas tersebut karena tidak ada industri yang tumbuh.

Padahal jika ada industri akan banyak menyerap tenaga kerja, Aceh menjadi lebih produktif dan mandiri, bisa mencegah puluhan trilyun uangnya lari ke luar. Bahkan bisa menambah pundi-pundi pendapatan asli daeah (PAD) Aceh terutama dari pajak produktif.

Baca Juga  Simpang 7 Ulee Kareng Terlupakan Bak Anak Tiri

Lucunya dalam posisi pengentas masalah, ketidakhadiran industri ini malah diakui dan dikonfirmasi oleh kepala dinas perindustrian dan perdagangan Aceh.

Pada tingkat lainnya, Aceh juga masih harus menghadapi persoalan lain karena belum punya pelabuhan ekspor-impor yang representatif untuk menjual langsung ragam komoditasnya ke pasar global.

Semakin lengkap Aceh juga lemah dalam penguasaan pasar akibat tata niaga yang tak berpihak pada komoditas, petani/nelayan/produsen lokal.

Untuk pelaku UKM lain lagi masalah. Dukungan Pemerintah Aceh sangat parsial dan banyak bersifat bantuan sementara keluhan pelaku UKM akan kebutuhan kemasan produk tak pernah direspon secara konkrit.

Selama ini mereka harus membeli dari provinsi tetangga sehingga menambah biaya produksi dan membuat produk mereka gagal bersaing.

Lalu realisasi investasi juga setali tiga uang. Meski sering diklam mengalami peningkatan oleh kepala dinas DPMPTSP Aceh, mereka “selalu lupa” untuk mengungkap data nasional perbandingan realisasi investasi dengan daerah lain.

Mengapa? Karena jika itu mereka lakukan sama saja bunuh diri karena Aceh selalu berada di kelompok peringkat terbawah dalam daftar.

Orientasi dan Budaya Kerja

Apa yang dapat kita simpulkan adalah kinerja tim ekonomi pemerintah Aceh selama ini sangat buruk dan lemah. Mereka bekerja seperti tanpa visi dan inovasi. Tak punya proyeksi outcome dan impact mereka berjalan sendiri-sendiri, tidak terkoneksi dan terintegrasi satu sama lain.

Perspektif program yang bertitik-berat pada aspek keterlibatan, kemanfaatan, kesinambungan, dan keberlanjutan, tak pernah menjadi patron. Buat program copy-paste dengan orientasi semata-mata hanya pada kuantitas atau jumlah kegiatan.

Inilah sesungguhnya penyebab mengapa tidak tercipta ekosistem pertumbuhan ekonomi di Aceh, karena memang tidak dikelola secara terstruktur dan sistemik.

Pendekatan kerjanya sangat sektoral dan sering berkutat hanya pada kegiatan bansos dan agro-input yang tak pernah menyelesaikan masalah karena memang bukan itu masalahnya.

Baca Juga  Walikota Langsa Lantik Pengurus Baitul Mal

Semakin lucu, sudah tak berdampak, para kepala dinas tim ekonomi ini masih ingin kelihatan sibuk dan heboh dengan berbagai kegiatan tak berdampak tersebut.

Mereka berlomba-lomba “mengumpulkan point”, membangun citra dengan mempromosikan dan memviralkan diri di berbagai platform media sosial, media cetak dan online. Berharap dapat panggung biar kelihatan berprestasi dengan beragam kegiatan.

Perkara apakah kemudian berdampak bagi perkonomian yang bermuara pada kesejehteraan rakyat Aceh, itu urusan kesekian.

Mestinya sebagai perencana dan koordinator pembangunan, ini adalah tugas Bappeda Aceh untuk membenahi. Tapi lembaga ini pun juga tak bisa diharap, karena bagian dari masalah juga.

Program Aceh Hebat yang nyaris nol capaian dan dagelan angka kemiskinan Aceh yang oleh kepalanya diklaim bombastis sebagai penurunan terbesar sepanjang sejarah, adalah bukti sahih mereka juga tak lebih cerdas dari SKPA-SKPA lainnya.

Pj Gubernur Aceh perlu cermat, tak boleh terkecoh dengan muslihat dan capaian palsu, semu nan menipu para pembantunya kepala dinas di tim ekonomi pemerintah Aceh ini.

Model-model kerja seperti inilah yang telah menjadi bagian sekaligus biang kesia-siaan dan kegagalan pembangunan ekonomi Aceh selama ini.

 Penulis, Akademisi, Pengamat Pembangunan dan Kebijakan Publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *