Oleh: Dr Usman Lamreueng
PASCA Pemilu legislatif dan presiden kembali muncul nama-nama calon Gubernur Aceh dan hangat dibicarakan baik melalui media dengan menawarkan calon gubernur dan wakil gubernur. Termasuk di group-group Whatsaap melakukan survey dengan melalui quisioner untuk mengukur elaktabilitas beberapa calon gubernur beserta pendampingnya.
Sudah menjadi budaya dalam politik di Indoensia dan Aceh secara khusus, ukuraan layak atau tidak seorang calon gubernur dan bupati/walikota untuk lebih ditekankan pada aspek elaktabilitas.
Artinya dominan yang dilihat adalah elektabilitas, bukan gagasan calon, apakah si calon paham masalah, tahu solusi yang diambil untuk dijalankan, serta menguji gagasan dan solusinya melalui kajian akademik dikampus sehingga melahirkan sebuah konsep membangun Aceh masa depan.
Sudah saatnya mendorong kriteria mainsteaming calon gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota dan bupati/wakil bupati di Aceh dalam proses seleksi dan suksesi kepemimpinan politik. Dengan lebih melihat pada kualitas bukan hanya sekedar popularitas dan elektabilitas. Pilkada tahun 2024 harus kita jadikan momentum untuk memulai gerakan “criteria maisntreaming” ini.
Elemen masyarakat Aceh perlu merumuskan kriteria-kriteria ideal apa saja yang dibutuhkan sebagai syarat. Untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin terbaik Aceh dimasa-masa yang akan datang.
Beberapa catatan yang mungkin bisa memperkaya, calon pemimpin Aceh harus memiliki kejelasan dalam konsep membangun Aceh. Visi, misi, dan strateginya harus betul-betul memiliki arah yang jelas dan terukur. Aceh ini dibangun dengan otak bukan dengan otot. Karena itu ketajaman visi dan konsep ini menjadi indikator penting untuk mengukur kualitas intelektual calon pemimpin Aceh ke depan.
Aceh membutuhkan seorang pemimpin yang berkarakter kuat dalam tekad dan komitmennya semata-mata untuk membangun Aceh. Aceh sebenarnya memiliki dan peluang yang sangat besar dan maju, namun semua ini terbuang sia-sia karena selama ini para pemimpinnya lebih bertekad dan berkomitmen “dengan hal-hal yang lain”, tidak kasihan sama rakyatnya yang terus miskin dan menderita.
Lubang yang Sama
Kepemimpinan politik di Aceh selama ini selalu terporosok dalam ke dalam lubang yang sama. Pola kegagalan yang sama. Mereka datang silih berganti tapi kondisi Aceh tak pernah berubah. Tetap miskin dan tertinggal. Karena itu sudah saatnya hadir di Aceh sosok pemimpin yang datang dengan perspektif baru, formula baru, untuk membawa Aceh ke arah yang lebih maju dan sejahtera. Mewujudkan pembangunan yang merata dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Aceh.
Membangun Aceh ini berat tantangannya. Kepentingan pribadi dan kelompok seringkali merasuk, menginterupsi dan memaksakan kehendaknya dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Untuk itu Aceh sangat membutuhkan pemimpin yang kuat dan berani menghadapi segala bentuk tekanan dan gangguan baik internal maupun eksternal, senantiasa bekerja dan bertindak atas nama dan demi kepentingan rakyat Aceh.
Salah satu faktor yang menyebabkan pembangunan Aceh selama ini gagal adalah karena tidak terbangunnya sebuah skema bersama antara pemeritah Aceh dengan pemerintah kabupaten/kota dalam membangun satu Aceh. Semua cenderung mengedepankan ego sektoral dan teritorialnya masing-masing.
Ini terjadi karena buruk dan minimnya komunikasi politik antara gubernur dengan bupati dan walikota. Ke depan Gubernur Aceh harus lebih inklusif dan aktif dalam membangun komunikasi dengan para bupati dan walikota dalam satu semangat dan cita-cita membangun Aceh.
Aceh adalah salah satu daerah yang mendapat pengawasan dan pemantauan secara khusus dari KPK. Suka tidak suka ini adalah indikasi bahwa Aceh adalah daerah yang berada dalam kelompok peringkat teratas sebagai daerah paling rawan korupsi di Indonesia. Bahkan disinyalir kuat kegagalan dana otsus mensejahterakan rakyat itu karena masifnya prilaku korupsi di deerah ini.
Karena langkah pertama untuk memastikan pembangunan Aceh tidak bocor dan memberikan dampak optimal bagi rakyat, maka sudah harus diterapkan zero corruption di Aceh. Syaratnya tentu harus dimulai dengah kehadiran kepemimpinan politik yang memiliki komitmen anti korupsi yang kuat, untuk kemudian menyebarkan virus baik ini ke semua jejang struktur pemerintahan yang ada di Aceh.
Kegagalan pembangunan Aceh sudah sampai pada tingkat sistemik. Artinya sudah sangat rumit dan berkelindan akibat buruknya kinerja mesin birokasi baik karena penyakit bawaan maupun karena diinjeksi oleh virus kepentingan politik penguasa dan oligharkinya.
Aceh lima tahun kedepan sangat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kemampuan manajerial yang kuat dalam membenahi dan meluruskan kerja-kerja birokrasi pemerintah Aceh. Mampu memastikan birokrasinya betul-betul bekerja menjadi pelayan rakyat, bukan malah dimanfaatkan sebagai saluran bagi pemenuhan kepentingan pribadi dan kelompok serta oligarhki sponsor kekuasaan.
Pemimpin Aceh ke depan haruslah sosok visoner dan berkarakter kuat, yang mampu menghadirkan harapan baru bagi seluruh rakyat Aceh yang sudah sangat frustrasi dan kecewa dengan janji manis para pemimpin Aceh sebelumnya.
Datang dengan platform dan budaya kerja yang baru untuk menghadirkan Aceh baru yang lebih maju, makmur dan sejahtera, sebagaimana menjadi harapan besar dan cita-cita seluruh rakyat Aceh.
Aceh sudah jauh tertinggal dari daerah lain. Karena itu calon gubernur Aceh haruslah sosok yang mampu menggerakkan dan mewujudkan perubahan yang betul-betul konkrit, tidak lagi bergaya seperti penguasa awang-awang yang gemar bermain peran dengan narasi dan aksi-aksi normatif dan simbolik.
Gaya-gaya kepemimpinan seperti inilah yang selama ini terus membuat Aceh gagal dan tertinggal. Saatnya Aceh dipimpin oleh sosok yang betul-betul pemimpin yang senantiasa berorientasi pada kemajuan-kemajuan yang konkrit dan riil.
Aceh adalah salah satu daerah yang mendapat pengawasan dan pemantauan sevara khusus dari KPK. Suka tidak suka ini adalah indikasi bahwa Aceh adalah daerah yang berada dalam kelompok peringkat teratas sebagai daerah paling rawan korupsi di Indonesia.
Bahkan disinyalir kuat kegagalan dana otsus mensejahterakan rakyat itu karena masifnya prilaku korupsi di deerah ini. Oleh karena langkah pertama untuk memastikan pembangunan Aceh tidak bocor dan memberikan dampak optimal bagi rakyat, maka sudah harus diterapkan zero corruption di Aceh.
Syaratnya tentu harus dimulai dengah kehadiran kepemimpinan politik yang memiliki komitmen anti korupsi yang kuat, untuk kemudian menyebarkan virus baik ini ke semua jejang struktur pemerintahan yang ada di Aceh.
Kegagalan pembangunan Aceh sudah sampai pada tingkat sistemik. Artinya sudah sangat rumit dan berkelindan akibat buruknya kinerja mesin birokasi baik karena penyakit bawaan maupun karena diinjeksi oleh virus kepentingan politik penguasa dan oligharkinya.
Aceh lima tahun kedepan sangat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kemampuan manajerial yang kuat dalam membenahi dan meluruskan kerja-kerja birokrasi pemerintah Aceh dan mampu memastikan birokrasinya betul-betul bekerja menjadi pelayan rakyat, bukan malah dimanfaatkan sebagai saluran bagi pemenuhan kepentingan pribadi dan kelompok serta oligarhki sponsor kekuasaan.
Pemimpin Aceh ke depan haruslah sosok yang mampu menghadirkan harapan baru bagi seluruh rakyat Aceh yang sudah sangat frustrasi dan kecewa dengan janji manis para pemimpin Aceh sebelumnya.
Datang dengan platform dan budaya kerja yang baru untuk menghadirkan Aceh baru yang lebih maju, makmur dan sejahtera, sebagaimana menjadi harapan besar dan cita-cita seluruh rakyat Aceh.
Inilah harapan besar rakyat Aceh, agar Aceh masa depan mampu keluar dari berbagai masalah ketertinggalan, yang selama ini terjadi berulang kali biarpun silih berganti kepemimpinan baik di Propinsi maupun di kabupaten/kota namun tetap berprilaku sama dalam kepemimpinannya.
Masa depan Aceh ada ditangan rakyat Aceh untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa Aceh baru sesuai nilai-nilai syariah, tidak korupsi, memperkaya diri, kelompok, dan oligarkhi.[halaman7.com]
Penulis, Akademisi Unaya, Aceh Besar