halaman7.com – Banda Aceh: Pemecatan Direktur Utama (Dirut) Bank Aceh Syariah (BAS), oleh Pj Gubernur Aceh, Bustami, dinilai sebagai bentuk kewenang-wenangan, yang tanpa beralasan kuat. Pasalnya, sebab pemberhentian Dirut Bank Aceh Syariah itu, tanpa ada uraian alasan dari Pj Gubernur.
“Kita sangat sayangkan atas kebijakan Pj Gubernur Aceh, Bustami Hamzah atas pengnonaktifan Dirut BAS. Ini sebuah bentuk kesewenang-wenangan PSP,” ujar Akademsi Unaya, Usman Lamreueng, Sabtu 6 April 2024, malam.
Dikatakan, etika tidak menjadi dasar sebuah kebijakan. Secara hukum pemegang saham pengendali (PSP), apakah boleh melakukan sesuka hati dengan mengabaikan etika dan regulasi?
Menurut Usman, sebagai korban atas ke sewenang-wenangan Direksi baiknya mereka membawa masalah tersebut ke pengadilan.
Sepertinya, lanjut Usman, terobosan kebijakan Pj Gubernur Aceh mulai kelihatan bermasalah dan blunder seperti pengambilan keputusan; takbir malam idul fitri milik rakyat dan pemberhentian Dirut dan direktur kepatuhan BAS tanpa proses evaluasi kinerja yang jelas terhadap mereka.
Ini menandakan Pj Gubernur Aceh sangat lemah dalam pengelolaan tata kelola pemerintahan. Tanpa kajian dan evaluasi tiba-tiba sudah putuskan. Ini pertanda bakal banyak kebijakan akan menuai kritik publik Aceh.
“Hal ini, telah juga menghilangkan semangat para karyawan yang jabatannya sampai ke direksi. Bisa saja diganti tanpa cara profesional melalui mekanisme evaluasi yang adil dan berkemanusiaan,” ujar Usman.
Selanjutnya para pemegang saham dan PSP Bank Aceh jangan mengaduk-ngaduk kegiatan politisnya untuk menghancurkan bank milik rakyat. Karena kepemilikan mereka hanya wakil rakyat karena jabatan.
Beda dengan kepemilikan bank-bank swasta dan lainnya kepemilikan adalah milik pribadi pemilik modal. Kepemilikan modal bank daerah (BUMD) adalah uang daerah milik rakyat.
“Jadi para pemegang saham yang tidak paham bank seharusnya keluar dari entitas bisnis bank, yang beda dengan usaha-usaha mempolitisir bank untuk kepentingan politik mereka,” tegas Usman.[ril | red 01]