Aceh: Dari Perang Fisik Menuju Perang Pikir

Muammar MR MSos

Oleh: Muammar MR MSos

DI tengah meningkatnya tensi politik dan konflik internasional di berbagai negara, pada 2025 berpotensi menjadi masa kelam bagi kerukunan dan perdamaian antarwarga negara di seluruh dunia. Indonesia pun turut merasakan dampaknya, baik dalam aspek geopolitik maupun akibat dari krisis ekonomi global.

Kondisi bangsa yang tengah dilanda krisis kepercayaan, meningkatnya pengangguran, ketidakadilan sosial, serta praktik kekuasaan yang terpusat pada kelompok tertentu, memperlihatkan bahwa Indonesia sedang mengalami kekacauan di berbagai sektor.

Situasi ini diperburuk dengan terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138/2025, tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, tertanggal 25 April 2025. Keputusan tersebut terkesan sebagai upaya manipulatif dari dalam pemerintahan Presiden Prabowo, sehingga muncul kesan bahwa negara tengah “berbisnis” dengan rakyatnya sendiri.

Dalam konteks ini, isu perebutan empat pulau rawan memicu kembali eskalasi konflik antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat, bukan dengan Sumatera. Sebab, masyarakat Aceh telah lama hidup damai dan tidak memiliki niat untuk kembali berkonflik dengan negara.

Karena itu, Pemerintah Pusat harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, terlebih jika menyentuh wilayah-wilayah sensitif seperti Aceh, demi kepentingan pengalihan isu. Hal ini sangat berbahaya bagi kondisi bangsa saat ini.

Boleh jadi, ada analisis intelijen yang menduga bahwa pengalihan isu strategis seperti dugaan ijazah palsu dan isu pemakzulan Wakil Presiden dilakukan dengan menjadikan Aceh sebagai sasaran.

Kita semua tahu bahwa NKRI adalah negara kepulauan, dan hanya militer yang sanggup menjaga kedaulatannya. Namun, dalam situasi krisis multidimensi seperti sekarang, keputusan sepihak bahkan jika diambil oleh mantan Kapolri yang kini menjabat sebagai Mendagri terasa tidak tepat.

Baca Juga  Aceh Salah Kelola, Salah Siapa?

Pemerintah Pusat tampak terlalu politis dalam menyikapi isu perebutan empat pulau ini. Surat kesepakatan terbaru terlihat jauh berbeda dari perjanjian tahun 1992, bahkan tanpa stempel resmi.

Anehnya, Mendagri tidak mencabut keputusan lamanya terlebih dahulu. Dalam hal ini, justru tampak bahwa Mendagri sedang berusaha meredam ketegangan antara Aceh dan Sumut, padahal akar persoalannya adalah kebohongan yang bersumber dari pemerintah pusat sendiri.

Pemerintah tidak bisa bermain-main. Jika kesepakatan resmi tahun 1992 saja bisa dianulir, apalagi surat tanpa tanggal tersebut. Tanpa regulasi baru berbentuk Keputusan Presiden (Keppres) atau Undang-Undang (UU), keputusan ini tidak akan meyakinkan publik, apalagi masyarakat Aceh yang selama ini telah berkali-kali merasa dikhianati pusat.

Jika Pemerintah Pusat tidak menunjukkan keseriusannya, maka melalui media massa, masyarakat Aceh patut mempertimbangkan untuk meminta bantuan dari komunitas internasional. Kami memiliki wilayah, sejarah panjang, pemerintahan, dan konsep kenegaraan.

Maka, tinggal membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Aceh. Izinkan kami berpisah secara damai agar masyarakat Aceh tidak lagi dicap sebagai simbol kekerasan atau pemberontakan. Apa yang selama ini kami perjuangkan terkait keadilan, terlalu sering dicurigai sebagai gerakan separatis.

Faktanya, masih banyak korban konflik Aceh yang belum mendapatkan keadilan. Komnas Perempuan mencatat setidaknya 117 perempuan Aceh menjadi korban pemerkosaan tanpa pernah mendapatkan proses hukum yang layak.

Amnesty International memperkirakan jumlah korban sipil selama tiga dekade konflik, dari 1976 hingga 2005, mencapai antara 10.000 hingga 30.000 jiwa. Ironisnya, negara justru lupa pada jasa besar Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dan sebaliknya hanya membalasnya dengan pengkhianatan dari masa ke masa.

Masyarakat Aceh sering kali diabaikan. Sebenarnya, apa yang diinginkan oleh Pemerintah Pusat? Kini Aceh telah maju. Masyarakatnya, baik di dalam maupun diaspora luar negeri, seperti yang terjadi pada sidang ke‑24 United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) di New York, 21 April 2025 kemarin dengan slogan Free Aceh, Papua dan Maluku yang langsung mendapatkan kecaman dari pemerintah pusat atas kebebasan berpendapat tersebut.

Baca Juga  Dilema, Antara Jam Malam dan Isi Perut

Dengan adanya berbagai insiden yang menggangu keharmonisan dalam kehidupan berwarganegara sudah pasti masyarakat mulai menelaah kembali sejarah panjang perjuangan Aceh untuk Indonesia. Jika suara kami terus dibungkam, jeritan korban konflik diabaikan, hukum diacuhkan, dan keadilan ditelantarkan, maka satu-satunya jalan yang tersisa adalah: Vote untuk Aceh Merdeka.[]

Penulis, Ketua Umum Acehnese Care Forum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *