Oleh Dr Ir TM Zulfikar
BENCANA banjir bandang dan longsor yang kembali melanda Aceh bukan sekadar “musibah alam”. Ini adalah cermin telanjang dari kegagalan tata kelola lingkungan. Sudah terlalu lama kita membiarkan hutan yang menjadi pelindung alam dicabik kepentingan jangka pendek. Dan kini, rakyatlah yang harus menanggung air berlumpur, rumah yang hancur, serta masa depan yang ikut tenggelam.
Pemerintah, mulai dari pusat hingga daerah, (termasuk unsur Legislafif dan Yudikatif) tak bisa terus menerus bersembunyi di balik narasi “force majeure”. Bencana ekologis tak jatuh dari langit, ia lahir dari rantai kelalaian, pembiaran, dan kurangnya keberanian untuk menegakkan aturan.
Saat izin pembukaan lahan diberikan dengan mudah, saat pengawasan hanya sekadar formalitas, saat hutan diganti dengan deretan proyek yang tak mengindahkan daya dukung lingkungan, maka sesungguhnya bencana hanya menunggu tanggal.
Kini buktinya sudah terhidang di depan mata: tanah yang tak lagi mampu menahan air, sungai yang berubah menjadi jalur lumpur raksasa, dan warga yang bangun dari tidur hanya untuk mendapati hidup mereka tersapu arus. Yang lebih menyakitkan, semua ini berulang. Berkali-kali. Seolah kita tak pernah belajar.
Sudah saatnya Pemerintah berhenti menutup mata. Rehabilitasi lingkungan bukan pilihan ia keharusan moral dan politis. Hutan Aceh bukan hanya “lahan”, ia benteng terakhir keselamatan ekologi dan penopang peradaban masyarakat. Berhenti mengorbankan hutan untuk kepentingan segelintir orang dan mulai memikirkan keselamatan jutaan warga Aceh adalah langkah paling minimal yang harus dilakukan.
Jika pemerintah terus berdalih, maka bencana berikutnya tinggal menunggu giliran. Saat itu datang, rakyat kembali yang harus membayar harganya dengan harta, kesehatan, bahkan nyawa.
Aceh butuh keberanian politik, bukan sekadar pernyataan belasungkawa. Butuh tindakan nyata: penertiban izin bermasalah, reboisasi massif, penegakan hukum tanpa kompromi, serta perencanaan tata ruang yang memihak keselamatan ekologis, bukan kepentingan ekonomi jangka pendek.
Cukup sudah bencana yang lahir dari tangan kita sendiri. Aceh harus bangun dan menata ulang masa depannya, mulai dari hutannya, mulai dari sekarang. Tanpa itu, setiap hujan deras hanyalah hitungan mundur menuju tragedi berikutnya.[]
Penulis, Praktisi & Akademisi Lingkungan Aceh

















