HUT Ke 18 Kabupaten Aceh Jaya, Terbelengu Covid-19

Catatan Adnan NS

HARI ini, tanggal 10 April 2020 adalah Hari Milad atau Hari Ulang Tahut (HUT) ke 18 Kabupaten Aceh Jaya. Suasana hari ini tidak jauh bedanya dengan suasana 18 tahun lebih silam. Dulu, Aceh Jaya terlockdown/terkurung, kini pun sudah terlockdown kembali. Dulu ada perang, sekarangpun lagi berperang.

Adnan NS
Adnan NS

Dulu ada sweeping di poros jalan negara dilakukan kelompok berseragam. Sekarang juga ada sweeping oleh kelompok berseragam. Dulu dikenal dengan darurat senjata, sekarang terkenal dengan darurat corona.

Lalu apa yang membedakan masa dulu dengan era sekarang? Kalau dulu terlockdown akibat pertikaian atau perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) versus TNI/Polri. Sekarang juga sedang peperangan antara dua kelompok yang sedang berpicu dan berpacu kecepatan dan kedisiplinannya. Kalah cepat, salah langkah maka matilah.

Dulu perang nyata, yang mana versusnya langsung dibidik, sekarang perang hampa, virusnya ada di mana-mana. Walau si virus Conona itu tidak ke mana-mana. Begitupun sang virus selain merambah seluruh dunia juga merepotkan umat di dunia.

Kabupaten Aceh Jaya, tergolong fokus dan serius. Seorang Irfan TB, sendiripun ikut menyinsingkan lengan bajunya terjun ke lapangan. Padahal dia seorang the top leader di negerinya. Si Bupati Aceh Jaya ini, tergolong satu-satunya kepala daerah di Aceh, yang sweeping langsung di lapangan untuk memprotek warganya.

Terlepas pro dan kontra bermunculan di balik aksi sang bupati unik ini. Ada yang mengatakan: “Bupati nyelenehlah, mengalihkan perhatianlah dan bupati tidak paham fungsi leadership dan bupati kurang pekerjaan”.

Kalau menurut saya yang penting nawaitu? Dan di balik itu, tentu yang nyata dan faktanya. Dia sudah bekerja untuk mengantisipasi tidak jatuh korban warganya.

HUT XVIII kabupaten di negeri Meurehom Daya ini, praktis hampa. Tidak ada upacara doa dan hingar bingar di sana, tidak ada upacara seremonial penaikan bendera dan berbagai kegiatan meriah yang bersahaja. Ini semua tidak dilakukan semata untuk menjaga jarak warga agar terhindakan terkaman maut Covid-19 (Corona Virus Disease 2019).

Melihat suasana mencekam ini, Saya kembali teringat bagaimana ancaman dan sulitnya perjuangan Kabupaten Aceh Jaya dulu. Meskipun kadarnya masih tidak seberapa dibandingkan menghadapi musuh nyata dulu.

Dalam mengisi kehampaan Milad Ke -18 ini, Saya terefleksi masa perjuangan melahirkan kabupaten ini dulu. Aceh Jaya merupakan salah satu Daerah Otonomi Baru (DOB) di belahan Barsela (Barat Selatan Aceh). Lahirnya kabupaten ini, berkat buah reformasi yang bergulir di negeri tercinta ini.

Dalam proses kelahirannya, Aceh Jaya berbeda dengan kabupaten lain di wilayah ini. Mengapa? Lazimnya proses pengetasan kabupaten pemekaran kendalinya berlangsung di kabupaten induk. Yaitu Meulaboh, sebagai Ibukota Kabupaten Aceh Barat. Sebaliknya, tidak demikian rumus kelahiran Aceh Jaya ini bila ditilik dari sejarahnya.

Betapa bukan, Aceh Jaya justru kendali proses penetasannya dilangsungkan di Kota Banda Aceh, Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) kala itu. Pelakunya adalah, mereka para perantau, disebut juga kaum muhajirin asal Aceh Jaya. Perantau ini sudah menjadi mukimin permanen. Perjuangan mereka tergolong kilat. Hanya kisaran 2 tahun 7 bulan saja (15-09-1999–10-04-2002).

Sebaliknya, perjuangan Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Simeulue, telah dimulai sejak tahun 1959. Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) sendiri sudah mewacanainya sejak 1962. Ketiga kabupaten ini harus menempuh jalan sangat panjang. Sementara Kabupaten Aceh Jaya, harus menempuh jalan berliku.

Kala itu, reformasi baru saja bergulir di republik ini. Sementara, Provinsi Nanggroe Aceh, masih dilanda komplik. Demam referendum di seantero tanah rencong sedang membahana. Wilayah Barsela sebelumnya tidak masuk dalam peta bersandi jaring merah. “Jaring maut” yang menyeramkan.

Baca Juga  Peran Media dalam Membentuk Opini Publik

Gambaran tragedi kemanusiaan yang menghantui warna belahan sepanjang rel kereta api itu masih terekam seindah warna asli. “Saya waktu itu lima tahun bertugas di wilayah merah tersebut.”

Penyiksaan sadistis terhadap lelaki dan perempuan tidak lagi membedakan jenis kelamin. Tidak ada lagi perasaan pilih kasih dan pandang sayang di sana. Ceceran darah, pembantaian dan pembuangan mayat manusia tak berdosa berserakan di mana-mana.

Kala itu, nyawa ayam lebih berharga daripada nyawa manusia. Penulis adalah salah seorang saksi mata, karena sering diberi assiment dan pernah menetap selama lima tahun di Daerah Operasi Militer (DOM).

Pemandangan menyeramkan di atas, hanya dapat disaksikan sepanjang Pantai Utara – Timur Aceh (Pantaramura) saja.
Wilayahnya meliputi, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur. Masa rentang DOM dicanangkan rezim Suharto berlangsung 1989-1998. Ribuan nyawa lelaki dan perempuan melayang, perlakuan sangat tak berprikemanusiaan.

Alasan pembantaiannya sangat gampang! Yaitu penumpasan GKP (Gerakan Pengacau Keamanan), meskipun banyak rakyat jatuh korban. Ketika itu, para wartawan dilarang menulis nama Gerakan Aceh Merdeka(AM). Sandi ucapan dan penulisannya diarahkan Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT).

Rektor Unsyiah Prof Dr H Dayan Dawood MA, ketika itu memohon kepada pemerintah pusat untuk dilakukan penghapusan ketetapan tri hotspot di Indonesia (Aceh, Papua dan Timor-Timur). Usul sang profesor itu ditindak lanjuti di penghujung 1998, DOM pun tamat riwayatnya.

Namun, bukannya diberikan sertifikat penghargaan atau untaian kata terimakasih. Sebaliknya, justru kepada sang pemrakasa pencabutan tri hotspot di wilayah (komplik berdarah) ini dihadiahi timah panas. Dia pun akhirnya tersungkur kaku di atas jok mobil sedan dinas berplat merah 7 A itu.

Peristiwa bersimbah darah di siang bolong itu dilakonkan sang sniper gelap. Persisnya aksi menggemparkan ini berlangsung sangat cepat, ketika mobil sang rektor melintas di depan RSUZA.

Aneh tapi nyata.Ya, begitulah adanya. Peristiwa di atas masih belum hilang dalam ingatan kita. Lalu, peristiwa kedua menyusul, Prof Dr H Safwan Idris, Rektor IAIN pun tak luput dari aksi pembantaian. Proses eksekusi juga berlangsung kilat. Pelaku menyamar sebagai tamu tak diundang. Usai shalat subuh itu di kediamannya, langsung doooor.

Peristiwa itu terjadi di kawasan Kompleks Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma), Darussalam, Banda Aceh. Ketika itu, Harian Waspada Medan menurunkan artikel berjudul”, pustaka berjalan itu sudah tiada.” Artikel itu, untuk mengenang peran besar seorang ulama dan akademisi Aceh berkaliber nasional

Belum berakhir di situ saja. Korban berikutnya, yaitu Kolonel H Teuku Djohan, mantan Kasdam Iskandar Muda. Korban sedang berjalan kaki menuju kediamannya langsung rubuh diterjang peluru tajam. Kejadiannya persis di samping gerbang selatan Masjid Raya Baiturrahman, usai shalat magrib berjamaah.

Ketiga nama di atas adalah tokoh intelektual Aceh, berasal dari Aceh Besar. Rata-rata sasaran sniper kawakan ini menyasar bagian kepala.

Barangkali, strategi pembantaian tokoh Aceh ketika itu bukan sekedar war shock therapy. Tapi, memiliki tujuan jangka panjang untuk memuluskan ambisi politik orang tertentu. Jika bukan, apa alasannya?

BERGERILIA

Suasasana Nanggroe Aceh ketika itu sangat mencekam. Konflik vertikal dan konflik horizontal pasca pencabutan tri hotspot baru saja dilakukan, kian meluas ke seantero Aceh. Gema bom sering mengguncang negeri ini, suara letusan aneka senjata membahana di mana-mana. Ranjau bambu (suda) tertancap hampir setiap pojok. Sasarannya untuk penyergapan “PAI” (sebutan untuk tentara-pen).

Bukan hanya itu, bendera Aceh Merdeka berwarna merah, hitam dan putih berkibar di sepanjang jalan negara. Kabupaten Aceh Jaya, dikuasai GAM Meureuhom Daya. Rentang wilayahnya meliputi Lhoong, Aceh Besar hingga Arongan, Aceh Barat.

Baca Juga  Panglima Laot Pimpin 100 Nelayan Atraksi Laut

Daerah Otonomi Baru (DOB) Aceh Jaya, posisinya berada pada garis rentang komando itu pula. Pusat komando GAMnya dikendalikan di Krueng Tunong, Kecamatan Jaya.

Secara geografis, posisi Kota Calang, Aceh Jaya, terletak pada titik koordinat Barat Laut Aceh itu, praktis terlockdown. Jarak tempuh Kota “Kuwini” ini, dari Banda Aceh ketika itu 156 kilometer. Jika dari Kota Meulaboh, Ibukota Aceh Barat jaraknya sekitar 90 kilometer.
Rentang Meulaboh dengan Banda Aceh sekitar 245 kilometer.

Tentu mobilitasnya sangat sukar ditempuh untuk percepatan proses pemekaran. Terutama dalam aktivitas sosialisasi, konsultasi dan koordinasi serta pengumpulan data materi di Bumi Meureuhom Daya ini. Apalagi suasana ketika itu lagi panas panasnya.

Tiap sesaat TNI-Polri versus GAM memperlihatkan aksi brutalnya. Mereka terus bertikai siang dan malam. Saling menyerang secara frontal. Untuk hilir mudik dari Banda Aceh ke Calang, yang menyeramkan itu harus menembus sejumlah blokade.

Resiko bermotto: Hidup Entah Mati Atau Cacat (Hemac) dari dan ke wilayah pememekaran beresiko tinggi.

Seorang tokoh Aceh Jaya, Abdurrahman Agam Piah, alias Mukim Do menyemangatkan Saya.

“Langkah, rezeki, hidup dan urusan Tuhan”, Kruuu Seumangat. Bismillahiala tawakkaltu alallah saja. Katanya lagi:” Matee gajah tinggai gadeng, matee rimueng tinggai kureeng” (mati gajah meninggalkan gading, mati harimau meninggalkan belang).

Ketika untaian kata ini saya torehkan, air mata menetes membasahi keyboad labtop. Wajah sahahabat setia saya itu tiba-tiba singgah di pelupuk mata. Dia adalah almarhum Irwan Oemar. Sang sekretaris panitia pemekaran yang handal, cepat tanggap, kreatif, responsif dan inovatif. Semoga Allah SWT melapangkan kuburnya, ucap Saya dalam hati.

Irwan, adalah si inisiator pembuat surat undangan perdana pada rapat pertama sekali pemrakarsa pemekaran Aceh Jaya. Hari itu, Rabu, 15 September 1999. Rapat berlangsung di kediaman sesepuh Aceh Jaya, Drs H Syamsunan Mahmud SE di Jalan Pattimura No.100, Blower, Sukaramai, Banda Aceh. Di rumah inilah tonggak sejarah berkumandangnya pendeklarasian calon DOB Aceh Jaya.

Atas jasanya itu, kiranya sangat wajar Pemkab Aceh Jaya mengabadikan nama Irwan Oemar, pada salah satu nama jalan di Calang, Ibukota Aceh Jaya.

Kota Calang, ketika itu sedang terlockdown. TNI-Polri saja harus menggunakan kenderaan lapis baja atau kenderaan jenis Reo, setia melakukan mobilisasinya. Dalam mengharungi wilayah perang. Hanya bermodal semangat Hemac ini, Irwan sering berkata. “Bang, kalau letih biar Wan gantikan nyetirnya.” Rupanya dia takut duduk di sebelah kiri, bisa dicurigai sebagai boss. Kalau di sweeping GAM, biasanya pasti yang diturunkan, diminta uang atau dinaikkan ke gunung pasti yang non drivernya.

Calang saat ini
Calang saat ini

Kemulusan perjalanan darat Banda Aceh-Calang-Meulaboh pulang-pergi dalam melintas blokade demi blokade, berkat adanya mobil kijang jantan BL 64 A milik PWI Aceh. Pada dindingnya tertulis Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh. Satu kenderaan lain yang patut dicatat, kijang kencana BL 300 NS milik pribadi penulis (kebetulan sebagai ketua pemekaran ketika itu). Kedua kenderaan warna biru metalik ini dikenal Aparat TNI-Polri dan GAM adalah milik wartawan.

Cerita di atas sekaligus jawaban mengapa proses penetasan Kabupaten Aceh Jaya, dimotori para tokoh Banda Aceh, Ibukota NAD. Tidak digerakkan para tokoh Aceh Jaya, Meulaboh.

Historis lain, suatu pagi pekan pertama Juli 1999, pria bersandal Hotel Sultan, kesekian kalinya bertandang ke kantor Harian Waspada di Banda Aceh. Tamu berpostur gempal agak pendek ini tidak lain, adalah Bupati Aceh Barat Drs Nasruddin MSi. Usai cerita politik dan gelombang reformasi yang masih hangat, Nasruddin mengalihkan pembicaraannya.

Baca Juga  Adnan NS Beri Kado Terindah Buat Tanah Kelahiran

Topik selanjutnya, membahas UU 22/1999 tentang otonomi daerah kabupaten/kota yang dimotori pembimbingnya Prof Rias Rasyid Dosen IIP Jakarta. Berarti dalam hati saya, “good bye”, UU 5/1974. Pembicaraan di ruang kerja penulis membias ke soal pemekaran Kabupaten Aceh Barat.

Hati Saya berbisik: Apa mungkin di belah, kenapa harus di belah. Apa ada hubungan rencana pembelahan ini berkaitan Pak Nasruddin ini, sering “direncong” dari belakang oleh entitas Nagan yang cerdik dengan lakon “rameune” nya?

Katanya, orang Seunagan Raya di Meulaboh, sudah menyatakan kesiapannya untuk mekar. Calang perlu dimekarkan juga untuk pemeratan pembangunan dan memperpendek rentang kendali pelayanan, katanya.

“Ci ujoe duek pakat ilee, Loen kira nyoe momen yang tepat.Jioh that nyan dari gaki Geurutee trok u Suak Uleue. Sang na 125 batee, kureueng leubeh,” tandasnya lagi.

Benar memang. Aceh Barat, dulu luasnya mencapai 12.100 kilometer bujur sangkar, dengan batas rentang kendali dari perbatasan Kabupaten Aceh Besar hingga Kabupaten Aceh Selatan. Angka ini menunjukkan rentang kabupaten ini terluas di Provinsi Aceh. Apalagi jarak kontrol dari Ibukotanya di Meulaboh ke batas Aceh Besar sekitar 176 kilometer lebih. Jarak Meulaboh ke Krueng Seumanyam perbatasan Aceh Selatan sekitar 68 kilometer.

Jarak Meulaboh dengan Sinabang, Pulau Simeulue, Aceh Barat sekitar 105 mil dengan masa tempuh 13 jam pelayaran laut. Di Palau Simeulue terdapat lima wilayah kecamatan dan di daratan Aceh Barat dengan 19 wilayah kecamatannya.

Tanpa sosok Irwan Oemar mungkin Aceh Jaya sendiri belum menjadi kenyataan. Meskipun Nasrudin, lebih dulu menghubungi saya, sebelum menghubungi H Syamsunan Mahmud. Saya tak berani mengambil resiko dan tak mengambil over karena itu bukan bidang saya. Saya kan wartawan bisik hati saya.

Sementara, kepala bagian Pemeritahan pada Setwilda Aceh, Drs Ali Alfatah, terus mendorong Irwan Oemar, untuk berdiskusi dengan H Syamsunan Mahmud, agar menyambut ide pemekaran yang diwacanakan Bupati Nasruddin.

Ahkirnya, malam deklarasi Aceh Jaya tiba. Saya sengaja datang terlambat 30 menit. Tujuannya agar tidak terpilih sebagai sosok ketua panitia pemekaran dalam suasana bumi Aceh sedang mendidih.

Namun, suasana berkata laian. H Syamsunan Mahmud, H Azhari Basyar, Syarifuddin Banta Syam, Azwar Thaib, Malik Musa dan Irwan Oemar. Semua nama tokoh muncul ke permukaan, semua menolak pada posisi sebagai ketua.

Saya yang datang terlambat, menduduki kursi yang dikosong sebelah kanan T Mufizar. Bupati Nasrudin, berjarak satu meter setengah sebelah kanan Saya. Saat semua menolak, tiba-tiba Kakanwil Depsos Aceh, H Rusli Wahid, yang duduk pada pojok belakang meneriak nama Saya.

“Teungku Adnan mantong. Spontan semua mengaklamasinya.”

Rapat pemrakasa kabupaten ini malam itu, saya menilai tidak fair. Pasalnya, sosok lain boleh menolak, sementara saya diultimatum. Ketika Saya protes, terlihat tangan kiri Bupati Nasruddin, memberi isyarat agar saya menerima mandat spontanitas itu.

Awal Januari 2001, Saya ketemu lagi pak Nasruddin, di Bandara Polonia Medan. Katanya, andai droekeuh ka tulak cit wateenyan, siapa yang mau berdiri di depan untuk pemekaran, katanya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *