Oleh Sulthan Alfaraby
PADA awal 2017 juga, saya mendaftarkan diri ke program Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Alhamdulillah dan tak disangka-sangka, berhasil lulus di jurusan Biologi salah satu kampus universtas negeri ternama di Kota Banda Aceh. Hal tersebut merupakan sebuah kebanggaan sekaligus keharuan yang luar biasa.
Impian untuk berkuliah di luar kota sudah diimpi-impikan sejak dulu. Tujuannya meningkatkan kualitas diri serta mencari relasi maupun ilmu yang lebih besar ke depan. Apalagi, kini sudah mempunyai bekal untuk percaya diri akibat telah lama ‘dihantam’ beberapa cobaan selama berproses di dunia Hip Hop silam.
Setibanya di Kota Banda Aceh, sempat bingung harus ke mana, karena tidak punya saudara. Sebenarnya ada beberapa saudara. Namun mereka sangatlah membenci keluarga saya, karena suatu dan lain hal.
Karenanya, saya menganggap, tidak ada seorang pun kenalan di Kota Banda Aceh yang bisa diajak untuk bercerita dan berbagi pemikiran. Sayapun mencoba menghubungi salah seorang sahabat yang juga baru tiba di Kota Banda Aceh serta lulus di kampus yang sama.
Beliau mengajak saya untuk tinggal bersama di rumahnya yang beralamat di Desa Jeulingke Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh. Saya pernah mengatakan kepada sahabat itu “Kita selaku anak muda Aceh Barat, jangan pulang sebelum kita ‘menaklukkan’ Kutaraja”.
Kamipun segera mendaftarkan ulang ke kampus. Sialnya, saat itu, saya nyaris tidak bisa menjadi calon mahasiswa baru dikarenakan ada sebuah berkas yang hilang. Namun akhirnya, pihak kampus memberikan dispensasi waktu untuk melengkapi berkas yang hilang tersebut. Akhirnya penulis resmi menjadi calon mahasiswa baru. Huh.. syukurlah!
Hari pertama berkuliah sangatlah mengasyikkan. Dengan mengenakan kemeja merah berkotak-kotak dan sepatu berwarna hitam putih. Saat tiba di ruangan kuliah dengan penuh rasa percaya diri, sontak! saya terkejut, yang di mana isinya adalah kaum perempuan dan nyaris tidak ada laki-laki.
Wajar, mungkin karena jurusan biologi kurang diminati laki-laki. Apalagi, jurusan tersebut merupakan jurusan yang baru diresmikan beberapa waktu silam. “Mantap juga nih, banyak cewek”, pikir saya dengan nakalnya.
“Tapi, saya juga merasa jadi cewek di jurusan ini dan terpaksa harus mencari topik pembicaraan yang sesuai tiap hari. Ghibah, misalnya. Kalau tidak, pasti gak punya kawan,” canda ku dalam hati. Hari demi hari pun terlewati, dan permasalahan kelas yang dipenuhi perempuan tadi bukanlah sebuah masalah yang besar lagi dan semakin terbiasa dengan keadaan ini.
Ormawa
Selama berkuliah di tahun pertama. Banyak mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) di kampus. Timbul niat saat itu, ingin memperjuangkan hak-hak serta fasilitas yang disediakan kampus untuk mahasiswa yang bisa dibilang masih kurang memadai.
Untuk bisa merealisasikan niat tersebut, maka harus menjadi salah satu pemegang ‘kendali kekuasaan’ di ranah kampus. Sesuai dengan kalimat yang pernah terlontarkan, “Tidak akan pulang, sebelum ‘menaklukkan’ Kutaraja”. Kalimat ‘Menaklukkan Kutaraja”, merupakan kalimat motivasi andalan bagi saya.
Maknanya, adalah kita selaku anak muda harus bisa mempunyai kontribusi yang besar demi “gerakan perubahan” yang ingin kita gagas ke depannya. Tibalah saat masa pemilihan serentak ketua baru Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP), saya maju sebagai salah satu kandidat termuda di fakultas tersebut.
Awalnya, mendapat ancaman dari berbagai pihak akibat usia penulis masih sangat muda dan belum pantas untuk mencalonkan menurut “budaya” perpolitikan leting pada saat itu. Namun, karena peraturan yang dibuat untuk naik sebagai calon ketua baru HMP sudah dipenuhi secara sah, maka tetap memberanikan diri untuk terjun langsung ke dalam dunia “perpolitikan” kampus dan meminta dukungan dari beberapa senior yang sependapat pada saat itu.
Akhirnya, kontestasi pun dimulai. Tapi, saya memutuskan untuk mengalah dan turun setingkat serta mendapatkan jabatan sebagai calon wakil ketua. Ini adalah strategi politik yang sudah tersusun dari jauh-jauh hari. Jika memaksa untuk menjadi calon ketua, maka akan terjadi hal-hal yang menurut saya akan berakibat fatal untuk kepengurusan ke depannya.
Karena itu, saya mulai memainkan ‘manuver’ strategi politik pada saat itu. Hasilnya, berhasil menjabat sebagai Wakil Ketua HMP periode 2019-2020. Meskipun belum dilantik, namun saya memulai langkah untuk beraudiensi dengan pimpinan kampus untuk mengadvokasi segala permasalahan mahasiswa.
Audiensi ini juga dilakukan bersama dengan seluruh pimpinan Ormawa. Hal yang ingin diadvokasikan adalah persoalan pendingin ruangan perkuliahan yang tidak ada, sekretariat yang tidak memadai dan juga fasilitas lainnya untuk menunjang pembelajaran mahasiswa.
INFO Terkait:
Cari Panggung
Padahal, Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa di fakultas sangatlah mahal. Beberapa bulan mengadvokasi namun tidak timbul hasil. Saya menyarankan untuk melakukan aksi demonstrasi di kampus, namun tidak digubris dan malah dikatakan salah satu mahasiswa bahwa saya hanya ingin “mencari panggung” semata.
Sontak, saya merasa sangat kecewa dengan kalimat yang terlontarkan salah satu mahasiswa tersebut. Bagaimana mungkin ingin “mencari panggung”, sedangkan permasalahan yang ingin diadvokasikan sudah jelas di depan mata dan juga tak ada hasil yang nyata, sehingga aksi demonstrasi merupakan jalan keluar terakhir yang harus dilakukan.
Beberapa minggu kemudian, ada pesan melalui WhatsApp dari salah satu pimpinan Ormawa untuk segera menghadiri rapat konsolidasi yang digagasnya. Beliau pernah mengatakan “Saya salut, kamu paling militan dari yang lain kalau soal memperjuangkan hak mahasiswa. Nanti jangan lupa orasi dan terus jaga semangat ini”, ujarnya.
Mungkin, karena alasan itu beliau mengajak saya untuk menghadiri rapat tersebut. Rapat konsolidasi ini ternyata berhubungan erat dengan aksi yang juga sudah lama disarankan. Aksi pun dilakukan pada esok harinya yang bertitik kumpul di lapangan kampus. Aksi tersebut pun terjalankan, dan seminggu kemudian sebagian besar tuntutan sudah direalisasikan pihak kampus.
Mungkin, hal ini karena kampus mendapatkan tekanan moral. Apalagi, dalam aksi demonstrasi tersebut juga diliput banyak media. Uniknya, yang pernah mengatakan “aksi demonstrasi hanya cari panggung”, kini beliau terdiam seribu bahasa. Di balik ini, saya ingin berpesan, bahwa setiap usaha yang kita lakukan tidak akan pernah sia-sia selama kita berada di dalam jalur kebaikan.
Apalagi, perjuangan ini sudah berlangsung selama berbulan-bulan dan juga menyangkut kepentingan banyak mahasiswa. Sudah sepatutnya kita selaku “pemangku jabatan” di ranah kampus. Harus ikut berkecimpung aktif dan kontributif serta kritis terhadap isu-isu di sekitar kita. Panjang umur perjuangan! Karena kesia-siaan hanya akan terjadi ketika kita tidak mau untuk bergerak dan memilih untuk menjatuhkan orang lain yang mempunyai niat untuk berbuat kebaikan
Selama di kampus saya juga banyak berkontribusi di berbagai panggung perlombaan yang diadakan mahasiswa. Mulai dari berorasi, sampai dengan membaca puisi yang bertemakan perjuangan. Terkadang, sesekali juga mendapat undangan untuk berorasi atau membaca puisi di salah satu acara kampus atau sekedar ‘mengacau’ di forum-forum diskusi publik.
Hal ini dimaksudkan, agar forum diskusi tersebut menjadi ‘panas’ dan hidup. Sebuah kehormatan juga bagi saya, ketika mendapatkan ‘mandat’ untuk bisa berkontribusi di kegiatan-kegiatan tersebut. Padahal jika menilik dari masa lalu, saya merupakan seorang yang pemalu.
Ketika orang-orang mempercayakan kepada saya untuk “berbicara”, maka hal tersebut merupakan sebuah kesuksesan bagi diri kita. Berarti, telah berhasil atau sukses mengalahkan rasa takut yang menyelinap di dalam diri selama ini.
Di luar kampus, saya juga kerap mengikuti aksi demonstrasi dan sering mendapatkan tugas untuk berorasi. Jika berbicara soal orasi, sebenarnya belajar secara otodidak, ketika melihat senior-senior yang kerap berorasi di jalanan. Hal tersebut menjadi inspirasi besar dan harus diikuti seluruh mahasiswa. Untuk bisa membangun jiwa kritis dan keberanian dalam hal berbicara ke depannya.
Sekali lagi, jangan pernah mengecewakan orang-orang dan terus mengambil peran dalam perjuangan. Jika bukan sekarang, lalu kapan lagi?
Dilema Amanah Orang Tua dan Kusutnya ‘Benang’ Pendidikan Kita…. bersambung
PENULIS adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pemuda Cinta Aceh, Mahasiswa dan Pegiat Sosial