halaman7.com – Banten: Putra Aluesijuek, Peudada, Bireuen, Aceh, Tarmizi Age yang pernah menetap di Denmark, menyampaikan pandangannya tentang implementasi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang telah ditandatangani antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005, kian dilupakan para stakeholder perdamaian.
Seharusnya, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Pemerintah Aceh, dan Wali Nanggroe selalu membahas dan memperjuangkan MoU Helsinki.
“Karena dengan adanya MoU Helsinki lah maka saaudara dan anda-anda bisa duduk sebagai pemangku kepentingan pada hari ini,” tegas Tarmizi Age, mantan aktivis GAM Denmark, Minggu 10 Januari 2021.
Padahal Aceh punya peluang untuk maju dan sukses. Jangan kita sia-siakan Pemerintah Aceh dan DPRA. Seharusnya menuntaskan setiap butir Kesepehaman yang telah di dirumuskan dan ditandatangani Pemerintah RI-GAM.
Ini malah waktu terbuang dengan isu interplasi dan Pokir yang pada akhirya memperlihatkan wajah orang-orang yang terhormat.
“Rioeh sabee keudroe-droe (cekcok sesama sendiri), kapan Aceh bisa beres, kalau begini terus,” kata Tarmizi Age.
Menurut mantan Ketua Monitoring Peace and Democracy (KMPD) Aceh Perwakilan Eropa, secara umum tantangan yang dihadapi Aceh saat ini sudah cukup komplit. Yakni pandemi Covid-19. Wabah itu memang menjadi tantangan global. Kemudian dampak ekonomi dan sosial yang ikut merubah pola kehidupan di Aceh. Bahkan semua daerah dan dunia.
Ditambah dengan masaalah mendasar di Aceh. Yaitu nota kesepahaman antara RI-GAM sebegai penyudah konflik Aceh yang sudah berjalan 16 tahun, yang dinilai tidak ada perkembangan berarti. Selain melahirkan UU PA.
Kenapa Pemerintah Aceh dan DPRA terlihàt malas menyelesaikan berbagai persoalan MoU Helsinki. Padahal itu menjadi salah satu tugas utama pemerintah dan parlemen DPRA di Aceh. Bahkan selalu jadi bahan kampanye setiap Pilkada bergulir.
Empat Persoalan
Dikatakan Tarmizi, setidaknya terdapat empat persoalan bangsa yang harus dihadapi rakyat Aceh saat ini. Pertama, pandemi corona yang harus diatasi. Kedua, masaalah ekonomi yang harus diperkuat dan Ketiga, problema sosial.
Ke empat, merupakan akar yang terkait langsung dengan setiap permsaalahan yang ada di Aceh. Yaitu implementasi seluruh butir-butir MoU Helsinki yang di tandatangani RI-GAM pada 2005 di negara Finlandia dengan di tengahi mantan Presiden negara tersebut Martti Ahtisaari.
Menurut Tarmizi Age lagi, permasalahan ke empat tersebut justru lebih mendasar sifatnya. Jika diabaikan akan berdampak sangat buruk bagi kehidupan rakyat Aceh di masa depan.
Kalau tidak dikelola dengan baik, dan terjadinya disharmoni sosial ini. Maka akan membuat bangsa benar-benar terpecah dan terbelah.
“Tolong dirawat sebaik mungkin perdamaian Aceh,” pinta Tarmizi Age.
Menjadi sangat di sayangkan, lanjut Tarmizi, jika Pemerintah Aceh, DPRA dan para perunding GAM, terutama Malik Mahmud Al Haytar yang kini menjabat Wali Nanggroe di Aceh, yang terlibat langsung menandatangai MoU Helsinki, tidak serius dalam menangani dan merealisasi seluruh isi perjanjian damai.
“Dikhawatirkan, MoU Helsinki bakal jadi kenangan pahit buat masyarakat Aceh,” tutup Tarmizi Age.[ril | red 01]

















