Oleh: Aji Setiawan
Siang itu, mentari makin terik membakar tubuh. Apalagi aroma kemenyan dan minyak wangi mengurai ke seantero lapangan. Orang-orang tengah asyik menyaksikan atraksi kuda lumping yang di daerah itu disebut jaran kepang atau jathilan.
“Hiya… hiya… ya… ya… yao… yao… hiya,” teriak beberapa pemain kuda lumping dengan penuh semangat memacu kuda-kudaan sambil memutar-mutar cemeti mengikuti irama gamelan yang ditabuh bertalu-talu.
Makin lama ritmenya makin cepat. “Awas, jangan dekat-dekat! Nanti bisa kesurupan!” teriak penonton di pinggir lapangan. Kalau sudah kesurupan, tingkah pemain kuda lumping tidak terkontrol dan menarik penonton sembarangan masuk gelanggang. Anehnya, penonton yang terbawa arus, juga kesurupan.
Kalau sudah demikian, keduanya bisa mengeluarkan atraksi di luar batas kemampuan manusia, seperti mengupas kelapa dengan gigi, makankaca-beling, makan bara api, menggelindingkan tubuh diatas duri, dan lain-lain. Ditingkah irama lagu yang makin cepat, keringat pun bercucuran membasahi tubuh pemain sehingga basah kuyup.
Di lain pihak, penonton juga seperti tersihir dan tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Tahu-tahu matahari telah berada tepat di atas ubun-ubun, dan suara azan berkumandang, tanda salat Zuhur telah tiba. Mendadak, di tengah suara azan, salah seorang pemain kuda lumping yang kesurupan itu berhenti beraksi. Matanya merah dan tatapannya liar. Tiba-tiba, tubuhnya kelojotan seperti kena sengatan listrik ribuan volt dan jatuh lunglai.
Beberapa pawang pertunjukan itu menggotong pemain tadi ke luar arena dan menyemburkan air sarta meniup telinganya dengan mantera. Biasanya langsung sadar, tapi kali ini tidak. Ini sungguh di luar kelaziman. Aku pulang sambil bertanya-tanya dalam hati. Benarkah suara azan dapat menyadarkan orang kesurupan? Acara di lapangan desa itu merupakan bagian pesta panen padi yang menggelar berbagai atraksi. Ada pasar malam, kesenian, dan berbagai lomba tradisional.
Hal itu berlangsung tiap tahun dan turun-temurun. Mengikat Dajjal sekian tahun kemudian di Yogyakarta. Ketika berlangsung orientasi mahasiswa, aku menghadapi salah seorang mahasiswa baru yang kesurupan di ruang interogasi. Tidak ada yang berani mendekati, termasuk para senior yang bertugas “meneror” agar down.
Kata mereka, tempat ospek itu adalah kuburan yang diuruk untuk lapangan. Diperkirakan, mahasiswa baru itu pikirannya kosong dan dirasuki makhluk halus yanggentayangan. Aku, sebagai orang yang dipercaya untuk seksi kerohanian Islam, segera mengambil air wudu dan mendekati mahasiswa itu. Sambil membaca lafaz azan, kutiup telinganya. Aneh, tiba-tiba mahasiswa tadi mengerang keras dan kelojotan, sebelum akhirnya sadar.
Aku jadi semakin yakin, suara azan dapat menyadarkan orang kesurupan. Tugasku memang melakukan penyegaran kepada mahasiswa baru yang down akibat dibentak-bentak para seniornya.
Sekian tahun kemudian di Jakarta. Kami, sekitar 30 peserta dari penjuru tanah air, mengikuti pelatihan jurnalisme radio di wilayah Jatinegara, Jakarta Timur.Kami menginap di hotel dekat taman Prumpung. Saat kami sedang ngobrol, tiba-tiba seorang peserta kelojotan. Mukanya kaku, tatapan matanya liar, dan suaranya menggeram seperti harimau. Ia kesurupan.
Beberapa peserta perempuan menjerit ketakutan dan berhamburan keluar ruangan. Puncak kesurupan itu adalah hancurnya beberapa piring dan gelas yang ada di atas meja oleh bantingan orang yang kesurupan itu. Panitia dan pengelola hotel bingung. Ketika didekati, peserta yang kesurupan itu justru memperlihatkan sikap yang hendak menerkam.
Aku segera mengambil air wudu. Dan sambil melafalkan Surah An-Nas, kupegang tangannya. Kemudian kutiup telinganya kanan dan kiri sambil melafalkan azan pelan. Bila kurang mantap, pakai ayat kursi 3 kali, Qs. Al Kafirun 3x, Qs Al Ikhlas 3x, QS Al Falaq 3x dan QS AnNas 3x, sambil membacakan adzan di telinga orang yang sedang kesurupan. Begitu azan berakhir, ia siuman.
Penanganan orang kesurupan juga terjadi di kantor Majalah Remaja terkemuka di Jakarta (Majalah Gadis dan Gogirl). Apalagi saat itu sedan marak berita media Islam yang bertema kuburan. Pembantu sekretaris redaksi tiba-tiba kesurupan. Segera dipegang oleh beberapa orang redaksi. Saya cuma menyuruh salah seorang teman dekatnya,’ Kamu baca An-Nas, lalu adzani saja di telinga kiri dan kanan sambil ditiup,”. Alhamdulillah, perempuan remaja itu sembuh.
Suatu waktu saya nasehati dia, “Dhe jangan banyak melamun, nanti pikirannya jadi ngelantur.’ Suatu ketika, seorang kawan yang lama mondok di pesantren bercerita, suara azan mengikat Dajjal dengan rantai besi. Konon, Dajjal selalu menggigit rantai besi itu namun berhenti ketika mendengar suara azan, dan rantai besi itu utuh kembali.
Dajjal akan keluar ke bumi ketika seluruh manusia tidak mengumandangkan azan. Dan hari itu adalah hari kiamat. Nau’dzubillahimin dzalik! Pengalamanku itu menempatkan diriku sebagai “penjaga orang kesurupan”, terutama ketika teman-teman mengadakan acara di kawasan yang wingit atau diduga banyak dihuni roh halus.
Padahal sudah berkali-kali aku katakan, menyadarkan orang kesurupan itu sebenarnya mudah. Yakni, dengan cara menenangkan diri orang tersebut. Kuncinya, kita juga mesti tenang dan yakin bisa menyadarkan orang. Secara batin, orang kesurupan itu tubuhnya digerakkan oleh alam bawah sadar yang mengalami tekanan mental atau stressor.
Azan, selain memanggil orang untuk menunaikan salat, ternyata juga dapat menyadarkan orang kesurupan. Setidaknya, itulah keyakinanku.[]
Penulis, seorang wartawan yang juga kolumnis dan cerpenis