Aceh  

Tak Punya Stategi Jitu, Kebijakan Penanganan Covid-19 di Aceh Hanya Picu Pro Kotra

halaman7.com – Banda Aceh: Perkembangan kasus Covid-19 dalam sebulan terakhir di Aceh mengalami peningkatan yang sangat sinifikan. Dengan meningkat dan bertambahnya kasus meluasnya penyebaran Covid-19 di Aceh terus menjadi perhatian bersama dan telah berdampak pada tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Kondisi ini, menurut Akademisi Unaya, Aceh Besar, Usman Lamreueng, membuat seluruh pemerintah kabupaten/kota di Aceh bereaksi sedemikian rupa. Untuk mencari strategi penanganan, termasuk pemerintah Kabupaten Aceh Besar.

Atas peningkatan terpapar Covid-19 tersebut pemerintah Aceh Besar merespon Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2021 tentang perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro.

Adapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Aceh Besar adalah pembatasan waktu buka-tutup warung kopi, sosialisasi prokes, dan penutupan tempat wisata.

Usman Lamreung

“Atas kebijakan dan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat mikro (PPKM) tersebut, akhirnya menjadi sorotan dan perbincangan masyarakat Aceh Besar,” ujar Usman, Rabu 2 Juni 2021.

Dikatakan, pro dan kontra masyarakat atas pemberlakukan pembatasan aktivitas usaha mikro, warung kopi dan cafee harus tutup pada pukul 22.00 Wib.

Ditambah lagi dengan kebijakan Satgas Covid-19, menutup tempat wisata tanpa ada sosialisasi. Ini menyebabkan protes keras pemilik tempat usaha wisata, karena mereka sudah menyiapkan stok belanja jutaan rupiah.

“Sehingga mereka protes keras atas kebijakan pemerintah Aceh Besar tersebut,” ujar Usman.

Dikatakan, setelah pemerintah Aceh Besar melakukan pertemuan dengan para pemilik usaha objek wisata, kemarin, pemerintah Aceh Besar membuka kembali seluruh lokasi objek wisata seperti, Lhok Nga, Lampuuk, dan Kecamatan Lhoong.

Selanjutnya keputusan pemerintah Aceh Besar, mengeluarkan surat edaran Nomor 421/151/2021 tentang Penutupan Kegiatan Belajar Tatap Muka di Kabupaten Aceh Besar tertanggal 31 Mei 2021.

Baca Juga  Peran Bersama Elemen Masyarakat  Cegah Covid 19

Jadi Sorotan

Dua kebijakan yang diputuskan pemerintah Kabupaten Aceh Besar, kembali menjadi sorotan dan perbincangan publik Aceh Besar. Pertama bupati menutup kegiatan belajar mengajar tatap buka di sekolah (PAUD, SD, dan SMP). Namun di keputusan lainnya Bupati Mawardi Ali mengeluarkan kebijakan untuk membuka kembali tempat wisata.

Sepertinya pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam memutus rantai penyebaran Covid-19 dengan beberapa kebijakan yang sudah diputuskan tidak konsisten, dan berubah-rubah. Terkesan tidak punya strategi yang jelas, apalagi konsep yang jelas. Sehingga lemah dalam koordinasi lintas instansi dan daerah.

“Begitu publik protes, langsung ada perubahan aturan yang sudah di putuskan,” beber Usman.

Begitu juga dengan penutupan proses kegiatan belajar mengajar tatap muka di sekolah. Sepertinya keputusan tersebut bertolak belakang dengan keputusan dibuka kembali tempat wisata. Bila tempat wisata dibuka sudah barang pasti sekolah seharusnya tetap bisa berjalan, kan sekolah masih mudah mengatur secara ketat Prokes.

“Kenapa kita harus takut ke lembaga sekolah. Padahal sekolahlah yang mudah dikendali dalam hal prokes,” tanya Usman.

Susun SOP

Seharusnya, Usman menyarankan, pihak Dinas Pendidikan mesti menyusun SOP dalam proses belajar tatap muka. Artinya siapa dan tugasnya apa. Disdik dan Kemenag tugas apa?. Kepala sekolah tugasnya apa? Guru, siswa, pengawas sekolah, komite dan orang tua siswa tugasnya apa?.

Setelah ada SOP tentu sangat mudah di lakukan monitoring dan evaluasi. Sedangkan yang sektor lainnya sangat sulit untuk pelaksanaan dan patuh prokes. Sekolah bisa dijadikan sebagai garda terdepan dalam sosialisasi patuh Prokes. Malah bisa saja sekolah patuh pada Prokes diberikan penghargaan.

“Bila siswa patuh pada Prokes. Sudah barang tentu akan berdampak dan berpengaruh pada kelompok masyrakat lain, termasuk keluarga,” jelasnya.

Baca Juga  Pemkab Tamiang Bantu Sembako Bernilai Rp 1 Juta/KK bagi PDP Covid-19

Dikatakan, penaganan pandemi, tidak serta-merta mampu dilakukan pemerintah. Namun harus melibatkan semua komponen masyarakat. Untuk mengedukasi dan memahami tentang bahaya wabah pandemi.

Sosialisasi juga tidak cukup dengan baliho, spanduk. Namun dibutuhkan panutan, teladan, dan contoh. Jangan sampai rakyat disuruh patuh pada Prokes. Namun di pihak para pemangku kekuasaan dan elit, tidak taat pada Prokes.

Aceh Besar berdekatan dengan Banda Aceh. Seharusnya, ujar Usman, dalam pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19, saling koordinasi dan komunikasi antar Satgas. Agar peraturan yang diputuskan bisa benar-benar berdampak.

Namun sepertinya dalam penanganan Covid-19. Pemerintah Aceh dan kota/kabupaten di Aceh tak punya strategi dan lemah dalam membangun koordinasi. Baik internal pemerintah sendiri dan juga dengan masyarakat.[ril | red 01]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *