Oleh: Usman Lamreueng
TAK terasa perdamaian Aceh memasuki fase remaja, 16 tahun sudah. Tentu perjalanan Aceh dalam damai, tak luput berbagai dinamika politik terjadi. Baik antara rakyat vs pemerintah, legislatif vs eksekutif. Konflik antar elit, kemiskinan, politik anggaran, silpa, dan konflik politik Aceh dan Jakarta.
Perdamaian adalah buah kesepakatan dua pihak yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI. Dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki. Menjadi sebuah regulasi Undang-Undang Pemerintah Aceh No. 11 Tahun 2006. Dengan cita-cita mulia yaitu agar tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan Aceh bermartabat.
Banyak harapan dari kesepakatan Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki tersebut. Dengan diberikan berbagai kewenangan kekhususan pada Aceh, yang tidak dimiliki oleh propinsi lain.
Ada sekitar 26 kekhususan Aceh, diantaranya:
- Pendirian Partai Politik Lokal Aceh.
- Kewenangan membentuk Lembaga Wali Nanggroe (LWN). Sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina serta mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat.
- Kewenangan pelaksanaan Syariat Islam dalam bidang aqidah, syar’iyah dan akhlak.
- Kewenangan pemerintah Aceh dan pemkab/kota mengelola sumber daya alam (SDA) di Aceh. Baik di darat maupun laut.
- Memiliki sumber keuangan Aceh yang besar, yang berasal dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khsusus (Otsus).
- Kewenangan membentuk Qanun Aceh atau Qanun Kabupaten/Kota oleh DPRA/DPRK yang dibahas dengan gubernur/bupati/walikota untuk mendapat persetujuan bersama
- dan kewenangan lainnya
Namun harapan baru dari kesepakatan GAM dan Pemerintah RI, belum sepenuhnya mampu membawa Aceh keluar dari ketertinggalan pembangunan menuju masyarakat Aceh sejahtera dan bermatabat. Malah menimbulkan berbagai kegaduhan politik tingkat elit dalam merebut kekuasaan, konflik elit politik, konflik lembaga DPRA dan pemerintah Aceh. Konflik komunikasi politik Aceh-Pusat, menyebabkan berbagai kesepahaman yang sudah dijabarkan dalam berbagai kewenangan tidak berjalan semestinya.
Partai politik lokal sejak awal yang diberikan mandat oleh rakyat, melalui pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak mampu mengimplementasikan dan mengrealisasikan berbagai harapan-harapan dalam pembangunan Aceh. Yaitu masalah kemiskinan, pengganguran, investasi, pengelolaan sumber daya alam, Syariat Islam, pengelolaan anggaran otsus belum tepat sasaran dan masalah korupsi.
Parpol Lokal tidak Konsisten
Partai politik Lokal tidak konsisten dalam merealisasikan janji-janji politik pada rakyat Aceh. Akhirnya jadi sorotan masyarakat seperti pengentasan kemiskinan, syariat islam dan qanun lambang dan bendera yang tak ada ujung penyelesaian. Yang ada hanya janji, bukan realisasi dan bukti. Yang lebih parah Qanun lambang dan bendera sering menjadi dagangan saat Pilkada dan Pileg.
Qanun Bendera dan Lambang secara hukum sudah di tetapkan, disahkan DPRA dan sudah ada dalam lembaran daerah. Namun ada tafsiran berbeda oleh pemerintah pusat. Sehingga Qanun Bendera dan Lambang belum bisa dikibarkan. Tafsiran berbeda itu berbenturan dengan aturan lainnya. Sehingga Qanun Bendera dan Lambang Aceh menjadi polemik hingga sekarang.
Sudah sepatutnya pemerintah Aceh menyelesaikan polemik yang berkepanjangan dengan pemerintah pusat soal bendera. Sudah 6 tahun polemik Bendera dan Lambang Aceh tak kesudahan. Tak ada solusi, tak ada nilai tawar, dan yang ada hanya janji tapi tanpa bukti. Hingga rakyat tak percaya lagi.
Partai Aceh sebagai partai mayoritas di parlemen seharusnya konsisten mendorong pemerintah Aceh untuk menyelesaikan polemik bendera dengan pemerintah pusat. Sepertinya Partai Aceh pun semakin jauh dan tidak konsisten dalam memperjuangkan hasrat rakyat Aceh. Termsuk soal Bendera. Ini bisa jadi akibat tidak solidnya elit partai, menyebabkan berbagai harapan dalam realisasi berbagai turunan MOU macet termasuk bendera.
Lembaga Seremonial
Harapan yang besar rakyat Aceh lainnya adalah Lembaga Wali Nanggroe, sebuah lembaga sakral dan berwibawa, dianggap mampu mempersatukan rakyat Aceh. Namun dalam aksi nyata, harapan tersebut tidak berjalan mulus sesuai yang diharapkan. Wali Nanggroe hanya lembaga serimonial saja. Berbagai konflik elit, lembaga, dan rakyat, Wali Nanggroe tidak hadir menyelesaikan ataupun sebagai penengah. Agar berbagai kegaduhan politik yang terjadi baik di lembaga, elit dan rakyat, terfasilitasi.
Sepertinya Lembaga Wali Nanggroe tak berdaya. Malah lebih ironis lagi kewibawaan Lembaga Wali Nanggroe sering acap kali menjadi sorotan masyarakat Aceh. Akibat kekecewaaan dianggap Lembaga Wali Nanggroe tak punya peran apapun. Termasuk nilai tawar dengan pemerintah pusat, sepertinya juga tak berdaya.
Soal kemiskinan, sepertinya pemerintah Aceh dan kabupaten/kota belum mampu memberikan stimulus dan program tepat sasaran. Seharusnya menjadi program prioritas penguasa Aceh di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sekarang. Sepertinya penguasa, dan para pejabat Aceh tidak berguna bagi masyarakat miskin.
Seharusnya dengan anggaran Otsus begitu besar. Aceh bisa keluar dari kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Pelaksanaan pembangunan Aceh dari tahun ke tahun, banyak program fokus pada bidang infrastruktur. Tapi, program tersebut belum mampu memberikan multipiler effect pada masyarakat miskin. Selain infrastruktur, seharusnya program prioritas fokus pada sektor pangan, kesehatan, pendidikan, dan sumber daya alam.
Sumber daya alam misalnya potensi sangat besar. Tinggal bagaimana Pemerintah Aceh serius dan konsisten mengelolanya. Seperti coklat, kopi, nilam, kelapa, perikanan dan sektor pangan lainnya. Potensi ini harusnya bisa dimanfaatkan untuk mensejahterakan masyarakat, dan perlu dilakukan optimalisasi produksi.
Pemerintah tidak Hadir
Namun yang terjadi, masyarakat berupaya sendiri. Pemerintah tidak hadir sampai ke tahap produksi. Sehingga para petani sering dirugikan. Beberapa potensi di atas, Aceh masih sangat tergantung dengan Medan. Akibatnya, harga produksi belum sepenuhnya menjamin dan berpihak pada kesejahteraan petani dan nelayan.
Sebagai saran, agar harapan dan cita-cita rakyat Aceh menjadi kenyataan. Lembaga Wali Nanggroe, Pemerintah Aceh, DPRA, Tokoh Aceh dan elit politik lainya, konsolidasi, bersatu dan solid. Bersama-sama mendorong semua kesepahaman yang sudah dituangkan dalam UUPA diimplementasikan, direalisasikan pemerintah pusat, tidak jalan sendiri-sendiri.
Konsolidasi elit menjadi harapan besar. Agar pemerintah pusat menepati janji untuk realisasi. Pemerintah Aceh beserta pemerintah kabupaten/kota konsisten menjalankan mengimplementasikan janji-janji politik untuk kesejahteraan rakyat Aceh. Tidak korupsi dan bukan memperkaya diri. Waallahu’alam.[]
Penulis, akademisi Universitas Abulyatama (Unaya) Aceh Besar