Oleh: Aji Setiawan
MAULANA Jalaluddin Rumi ibn Bahauddin Muhammad ibn al-Husain al-Khatibi al-Baqri, lahir di Balkh 6 Rabi’ul Awwal 604 H/30 September 1207 M, dan wafat di Konya pada 5 Jumadil Tsaniyah (Akhir) 672 H/17 Desember 1273 M.

Inilah yang menjadikan bulan Jumadil Akhir sebagai bulan sufi berputar. Karena di bulan ini, Rumi wafat. Rumi sang legenda sufi, menciptakan tarian sufi berputar melingkar di tengah penonton. Mereka tengah mengabarkan puncak cinta yang abadi.
Ketika sorotan lampu mulai temaram, ketiga tubuh lelaki yang berpakaian putih-putih dan berpeci terubus bak Abu Nawas mulai menari berputar pelan mengikuti irama rampak rebana.
Makin lama, irama rebana dan perkusi yang diselilingi wirid itu makin cepat dan para penari Sufi itu pun semakin cepat berputar. Para penari itu terus berkeliling pada lingkaran kecil halaman itu menyeret langkah menandai ruang sempit yang melingkungi dirinya. Liuk kain yang merumbai memberikan kilau warna bercahaya yang indah ditatap.
Para penari terus saja berputar, yang ada hanyalah lengking tipis dari gitar listrik dan rebana yang ditabuh dengan suara yang kadang mengalun rendah. Suara gumaman dan senandung lirih yang sering terdengar pada tarian tradisional.
Sementara itu di panggung, tebaran tembang melentingkan nuasa kesyahduan bersama lantunan wirid yang diselingi dzikir. Semilir angin terasa menyapu sekitarnya. Sungguh, pemandangan malam itu membawa penonton pada suatu tempat di mana sebuah ritual kudus sedang digelar.
Tarian melingkar darwis bisa digambarkan seakan planet-planet di angkasa raya sedang berputar mengitari matahari. Gerak melingkar dan berputar seperti gasing itu juga menggambarkan upacara tawaf atau mengelilingi Ka’bah pada waktu orang Islam melaksanakan ibadah haji.
Energi gerakan memutar yang melingkar-lingkar di tengah penonton ini menggambarkan gagasan sentral ajaran tasawuf. Yaitu musyahadah (penyaksian penuh kehadiran dan keberadaan Yang Esa). Apa yang dilakukan para penari sufi ialah menghadirkan suasana kerinduan mistikal Sufi kepada Yang Satu. Kekhusyukan jiwa mereka yang sedang berdoa dan tafakur.
Kain yang merumbai, ketika mereka berputar bak jamur raksasa yang memancar cahaya putih penuh dengan pesan simbolik. Pesan dari warna simbolik itu dapat digunakan sebagai bentuk penggambaran tentang keriangan rohani dari jiwa yang kerinduannya kepada Yang Satu telah terpuaskan.
Bentuk tarian sufi sesungguhnnya merupakan khasanah peradaban Islam yang tiada taranya di Persia pada beberapa abad yang lampau. Kini, tarian sufi sudah sangat jarang dilakukan sebagian golongan tarekat di Indonesia.
Salah satu thariqat yang mengajarkan muridnya tarian sufi, yakni thariqat Naqsabandiyah Haqqaniyah yang bermursyid Syekh Hisyam Kabbani Al Haqqani. Di Jawa Tengah, ada pesantren yang mengembangkan tarian sufi ini yakni pesantren Meteseh, Semarang yang diasuh KH Amin Maulana Budi Harjono.
Apa yang dipesankan dari bentuk tarian sufi, yang bermula dengan tarian memutar dan melingkar, kemudian berakhir dengan para penari yang bersimpuh di akhir pertunjukan, tampak pasrah, seolah mengirimkan pijar keajaiban sang murid yang ikhlas menerima pesan-pesan sang guru. Untuk menerima berbagai pelajaran dan makna yang disampaikan sang guru.
Percayalah, tarian sufi, tidak hanya menghibur, namun juga mampu menitipkan sebuah pesan yang dalam tentang gambaran kerinduan dan cinta yang abadi baik kepada Sang Guru maupun hubungan transdetal dengan Tuhan, pencipta alam semesta.[halaman7.com]
Penulis, mantan wartawan alKisah