Catatan: Dr Usman Lamreueng
BANDA ACEH dikenal sebagai salah satu kota tua, saat ini sudah berusia 819 tahun. Dulu berdiri Kesultanan Aceh Darussalam sebuah kerajaan besar diujung barat Sumatera. Disegani, ditakuti dan banyak daerah yang ditaklukan sampai ke Semenanjung Malaka. Kesultanan Aceh Darussalam di dirikan dan dipersatukan Sultan Ali Alaidin Mughayat Syah pada 1514.
Aceh masa lalu pasti meninggalkan bukti, data, jejak dan fakta sejarah seperti situs, cagar, batu nisan, dokumen-dokumen, benda sejarah, pusaka, peradaban dan sebagainya.
Peninggalan dan peradaban sejarah sebagai identitas, sebagai dasar pijakan menyosong peradaban masa kini untuk mencapai cita-cita masa depan yang lebih baik.
Maka penting pamangku kekuasaan menjaga, merawat, memelihara. Ditambah memperluas kajian riset sebagai dasar pijakan merumuskan kebijakan pembangunan sosial politik, budaya, ekonomi dan pendidikan masa kini.
Pemko Banda Aceh dengan site plant yang sudah direncanakan dan dilaksanakan adalah revitalisasi Peunayong menjadi Kota Tua, kuliner dan taman kota. Sebuah hasrat yang baik, dengan tujuan melakukan penataan pembangunan wisata sejarah dan kuliner.
Namun yang kita sayangkan adalah penataan Peunayong tidak tuntas, tidak selesai dengan apa yang sudah direncanakan. Pasar tradisional sudah direlokasi dipindahkan ke pasar Al Mahirah terlepas ada pro dan kontra.
Kami tidak membahas relokasi, tetapi mempertanyakan kenapa Pemko tidak tuntas melakukan penataan dan revitalisasi Peunayong yang saat seperti daerah kumuh, dan tak terurus?
Peunayong yang dicanangkan sebagai kota tua, pusat kuliner dan taman tetapi tidak berbanding dengan kondisi saat ini, tidak berdampak apapun, malah menjadi kota mati.
Maka Pemko jangan suka basa-basi, Pemko harus lanjutkan dan tepati janji. Bila benar-benar dilakukan penataan dengan baik bukan basa basi. Sangat berdampak pada sektor parawisata, salah satu dampak adalah menambah PAD daerah.[]
Penulis, Akademisi Universitas Abulyatama (Unaya)