Oleh: Risky Firdaus
ISU Penjabat (Pj) Gubernur Aceh makin menguat di Pemerintahan dan masyarakat Aceh. Karena masa jabatan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah akan berakhir 5 Juli 2022. Dengan isu ini bermunculan di masyarakat calon Pj Gubernur Aceh yang cendrung menafikan aturan peranturan perundang-undangan.
Selanjutnya berkembang isu calon Pj Gubernur Aceh yang tidak sesuai kriteria aturan dan calon Pj Gubernur yang tidak dapat menjawab permasalahan pembangunan Aceh masa yang lalu, sekarang dan dua setengah tahun kedepan.
Dasar Hukum yang terkait Pj Gubernur Aceh mengacu pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.
Untuk mewujudkan amanah tersebut telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Sesuai aturan mengenai pengangkatan Pj Gubernur dapat dilihat pada Pasal 201 ayat (10) Undang-undang Pilkada yang menyebutkan untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat Penjabat Gubernur yang berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi Madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengenai kriteria Pj Gubernur diatur pada Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara menjelaskan bahwa jabatan pimpinan tinggi terdiri atas (a) Jabatan Pimpinan Tinggi Utama, (b) Jabatan Pimpinan Tinggi Madya dan, (c) Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama.
Sesuai kriteria Pejabat Gubernur Jabatan Pimpinan Tinggi Madya meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
Isu Pembangunan Aceh
Pada Maret 2021, jumlah penduduk miskin di Aceh sebanyak 834,24 ribu orang bertambah sebanyak 330 orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2020 yang jumlahnya 833,91 ribu orang. Pernyataan Kepala BPS Aceh, Ihsanurijal ini disampaikan dalam konferensi pers virtual, 15 Juli 2021.
Pada September 2019, angka kemiskinan berhasil turun lagi menjadi 15,01% dan turun lagi menjadi 14,99% pada Maret 2020. Tapi, naik lagi menjadi 15,43% pada September 2020.
Dari data kemiskinan hingga pada Maret 2018 menunjukkan, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 839 ribu orang (15,97%), bertambah sebanyak 10 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2017 yang jumlahnya 829 ribu orang atau (15,92%).
Sedangkan jika dibandingkan dengan Maret 2017 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 33 ribu orang (16,89%). Jumlah penduduk miskin berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di Aceh pada 2007 mencapai 872 ribu orang (16,89%), bertambah sebanyak 31 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2016 yang jumlahnya 841 ribu orang atau 16,43%. (Sumber: BPS Aceh).
Perkembangan penyerapan APBD Aceh, berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Keuangan Daerah per 19 Nopember 2021, dari 34 provinsi di Indonesia hanya 8 provinsi yang angka realisasi belanja APBD-nya di atas 70 persen, sedangkan profinsi Aceh Tahun anggaran 2021 realisasi belanjanya dibawah 70 persen. Sedangkan 26 provinsi lainnya termasuk Aceh, realisasi belanja APBD-nya masih di bawah 70 persen.
Realisasi Pendapatan Pemerintah Provinsi Aceh selama 2 tahun terakhir mengalami penurunan, yaitu sebesar Rp18,71 triliun pada 2019 dan turun menjadi Rp15,80 triliun pada 2020. Hal ini terkait penghematan anggaran dengan adanya Pandemi Covid-19.
Pendapatan keuangan Pemerintah Pemerintah Provinsi Aceh sebagian besar berasal dari pos lain-lain Pendapatan Daerah yang sah dengan kontribusi sebesar 47-49 persen per tahun yang bersumber dari dana otonomi khusus. Adapun Pendapatan Asli Daerah sebagai bentuk kemandirian keuangan daerah sangat kecil jumlahnya, hanya sekitar 13-14 persen.
Akan tetapi, realisasi belanja Pemerintah Provinsi Aceh selama pandemi tetap meningkat. Sepanjang 2019-2020 pengeluaran Pemerintah Provinsi Aceh mencapai 14,75 hingga 15,80 triliun rupiah. Belanja Pemerintah Provinsi Aceh ini dialokasikan terbanyak kepada belanja barang dan jasa dengan kontribusi sebesar 24-29 persen (statistik keuangan Pemerintah Aceh tahun 2019-2020, BPS Aceh).
Perkembangan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) APBA dari 2018-2020 cendrung meningkat Silpa. Tahun anggaran 2020 sebesar Rp3,96 triliun, dari total anggaran sebesar Rp14,44 triliun. Silpa tahun anggaran 2019 sebesar Rp1,663 triliun, dari total anggaran sebesar Rp17,328 triliun. Serapan anggaran Aceh 2018 yang menyisakan dana mencapai Rp1,65 triliun dari total anggaran Rp15,14 triliun.
Dari perkembangan realisasi APBA di atas banyak kalangan masyarakat Aceh yang sangat kecewa terhadap kinerja Pemerintahan Aceh dalam pelaksanaan APBD untuk pembangunan di Provinsi Aceh. Pemerintah Pusat juga kecewa terhadap kinerja Pemerintah Aceh yang sebetulnya berharap setiap Daerah pembangunan di setiap Daerah dapat tumbuh tinggi. Tingginya SILPA ini menunjukkan betapa lemahnya kinerja keuangan Pemerintahan Provinsi Aceh.
Berdasrkan data kemiskinan dan Silpa di atas dapat digambarkan, permasalahan pembangunan tidak dapat diselsaikan melalui pelaksanaan anggaran oleh Pemerintah Aceh. Kecendrungan meningkatnya Silpa dari tahun ke tahun menunjukan kinerja yang lemah dalam menjawab permasalahan pembangunan termasuk meningkatnya kemiskinan di Provinsi Aceh dari Tahun 2018-2020.
Pj Gubernur Menjawab Pemersalahan Aceh
Sesuai kriteria Pj Gubernur Aceh setingkat Pimpinan Tinggi Madya yang akan menjalankan kepemerintahan Aceh setelah Juli 2022 hingga penetapan gubernur baru pada 2024. Pj gubernur Aceh pada Juli 2022 diharapkan memiliki kemampuan tinggi dalam menyelesaikan permasalahan internal dan eksternal kepemerintahan Aceh.
Pj Gubernur yang dapat menyelesaikan masalah internal kepemimpinan Pemerintah Aceh antara lain: Pertama kepemimpinan pemerintah Aceh yang dapat menjawab isu-isu pembangunan di Aceh; Kedua kepimpinan Pemerintah Aceh yang memiliki kinerja keuangan yang fokus pada penurunan realiasi Silpa yang mendekati nol persen; Ketiga kepemimpinan Pemerintah Aceh yang tegas dalam membuat kebijakan, mengarahkan, membina Sekretaris Daerah dan Kepala SKPA serta Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkugan Pemerintah Aceh.
Pj Gubernur Aceh yang dapat menyelesaikan masalah eksternal kepemimpinan pemerintah Aceh antara lain: Pertama, kepemimpinan Pemerintah Aceh yang dapat membangun, memelihara, koordinasi dengan lembaga DPRA dengan pendekatan Aceh lebih baik.
Kedua membangun, memelihara, membina, koordinasi keselarasan dan keterpaduan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pencapain keadilan pembangunan di Provinsi Aceh.
Ketiga, membangun, memelihara dan koordinasi dengan lembaga keagamaan dan adat untuk pembangunan Aceh yang lebih berakhlak.
Pj Gubernur Aceh kedepan diharapkan Pejabat Tinggi Madya yang kuat kepimimpinannya dan Pejabat Tinggi Madya yang menjawab permasalahan pembangunan di Aceh yang berbasis data dan fakta. Pejabat Tinggi Madya yang berkarakter ini yang diharapkan oleh masyarakat Aceh ke depan. Untuk mencapai keadilan dan kemakmuran masyarakat di Provinsi Aceh.[]
Penulis, Pemerhati Tata Kepemerintahan dan Peneliti EDR