Catatan: Iranda Novandi
PEKAN Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) sudah berakhir. Seluruh kontingen dari berbagai provinsi sudah kembali ke daerah masing-masing. Tapi banyak catatan yang harus digaris bawahi, untuk dijadikan bahan introfeksi diri dan menyeluruh.
Pada dasarnya, Porwanas adalah ajang silaturrahmi. Dibalut dengan kemasan olahraga antar wartawan yang tergabung dalam wadah rumah besar yang bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Meskipun silaturrahmi, prestasi tetap di kedepankan. Karena evennya bersifat kompetisi. Unjuk kemampuan dan keterampilan para wartawan dalam berolahraga. Belum lagi, dalam Porwanas, semua provinsi mengandalkan uang rakyat. Dikucurkan melalui Pemerintah Daerah masing-masing.
Sudah barang tentu, sebangai bentuk pertanggungjawaban moral. Setiap provinsi ingin mempersebahkan yang terbaik untuk daerahnya. Meskipun demikian, setidaknya tidaklah menghapus atau menghilangkan cita-cita dasar dari Porwanas itu sendiri. Yakni silaturrahmi dan solidaritas antar wartawan.
Hanya karena ‘ambisi’ untuk menjadi yang terbaik, maka segala cara dan upaya dilakukan. Inilah realita yang terjadi dalam Porwanas 2022 ini. Cara-cara buruk dengan menciderai hakekat dari Porwanas ini, sangat kental pada Porwanas ke 13 ini.
Padahal, dari tahun ke tahun dan setiap penyelengaraan Porwanas terus dibenahi kekurangan. Agar Porwanas bisa lebih dapat roh nya. Bahwa ini cara para wartawan se Indonesia untuk bisa bersilaturrahmi dan mempererat solidaritas.
Awalnya, para wartawan anggota PWI bisa saja ikut untuk Porwanas. Lalu mulai dibenahi dengan diperketat dengan hanya bagi anggota biasa yang mengantongi Kartu Biru (Kartu anggota PWI yang dikeluarkan PWI Pusat) di Porwanas 2009, Samarinda, Kalimatan Timur.
Ternyata, hal itu belum juga ampuh. Mulai Porwanas 2013 di Banjarmasin, Kalimatan Selatan dan Porwanas Bandung 2016, mulai diterapkan penggunaan Kartu Kompetensi (UKW) dengan persentasi. Peserta boleh ikut Porwanas dengan menggunakan perpaduan kartu biru dan kartu UKW, dengan pembagian persentasi.
Pada 2022 ini, selayaknya aturan baku diterapkan. Hanya pemegang kartu biru dan UKW yang bisa ikut. Di luar itu, haram untuk menjadi peserta. Keputusan SIWO PWI Pusat ini tentu menjadi acuan positif dan mendapat sambutan positif pula dari PWI se Indonesia.
Tapi, cerita dibalik itu, tak lah seindah kenyataannya. Di ajang pesta 3 tahunan para wartawan Indonesia ini, sejumlah provinsi mempratikan kecurangan. Ironisnya, itu juga dilakukan tuan rumah.
Maka tak mengherankan, jika gelombang protes tumbuh, laksana jamur di musim hujan. Hampir semua disemua cabang olahraga (Cabor), aksi protes itu bermunculan. Di Futsal, bogem mentah melayang hingga harus ada yang dilarikan ke RS untuk mendapatkan perawatan intensif.
Di Cabor, Sepakbola sang pengadil lapangan harus rela berlari dan bersembunyi di bilik ganti pakaian. Di atletik, hujan protes terus mengalir, karena adanya atlet nasional yang telah mengikuti ajang Kejurnas yang tiba-tiba menjadi wartawa atlet.
Belum lagi di Bulutangkis, sejumlah wartawan atlet, mantan jebolan Perkumpulan Bulutangkis (PB) ternama di Indonesia yang selama ini kerab menyumbang atlet bulutangkis bagi Indonesia untuk mengharumkan nama Indonesia dikancah Internasional, juga ikut Porwanas.
Hingga tak mengherankan, muncul meme di lapangan Bulutangkis di Unggul Sport Centre (USC) Malang, “Tak lolos Pelatnas bertarung di Porwanas”. Cabor Biliar yang pada Porwanas Bandung menimbulkan protes hingga aksi unjukrasa karena ada atlet biliar yang ikut Porwanas, kali ini di Malang terulang kembali.
Apa yang terjadi di Porwanas Malang 2022 ini, benar-benar jauh dari harapan pemerintah. Sebagaimana disampaikan Menpora, Zainuddin Amali saat pembukaan Porwanas yang mengharapkan Porwanas ini bisa menjadi ajang pemersatu.
“Porwanas ini adalah salah satu cara mempersatukan, yang sebelumnya tidak bisa bersatu,” ujar Amali saat pembukaan Porwanas di Malang Raya, Senin 21 Nopember 2022, malam.
Sekretaris SIWO PWI Pusat, Suryansyah mengaku, Porwanas Malang 2022 merupakan yang terjelek selama penyelenggaraan Porwanas. Karena, saban hari selalu diwarnai keributan dan protes dari berbagai Cabor.
“Saya, hampir setiap hari harus keliling ke semua vinueu, untuk menyelesaikan keributan dan protes peserta Porwanas dari berbagai provinsi,” ujar Suryansyah saat berbincang dengan sejumlah wartawan Aceh di vinue Bulutangkis.
INFO Terkait:
Evaluasi Menyeluruh
Buruknya penyelenggaraan Porwanas ini juga membuat, Ketua Umum PWI Pusat, Atal S Depari mengaku akan mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan Porwanas ini. Apakah masih perlu atau tidak untuk digelar. Ini tentu mengacu pada Porwanas Malang, yang dinilai jauh dari sportivitas dan solidaritas.
“Tadinya kita berharap, Porwanas ini bisa menghibur masyarakat (Malang) pascakerusuhan Kanjuruan. Namun, nyatanya ada pemain yang ngejar-ngejar wasit di laga sepakbola,” ujar Atal sebagaimana dilansir dari antaranews.com
Terkait, adanya ‘kebocoran’ dalam peningkatkan status keanggotaan PWI dan UKW, sehingga ada yang bukan wartawan bisa ikut Porwanas. Atal dengan tegas menyatakan, itu menjadi salah dasar sebagai bahan evaluasi menyeluruh.
Porwanas 2025
Apapun hasil evaluasi menyeluruh dari Porwanas 2022 ini, Aceh telah mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah Porwanas 2025. Tentunya, Porwanas Malang menjadi pelajaran dan pembelajaran penting yang harus bisa diambil, jika nanti terpilih dan ditunjuk jadi tuan rumah.
Hal ini tentu harus bisa disikapi kepengurusan PWI Aceh saat ini, di bawah komando Nasir Nurdin. Apalagi, Ketua PWI Aceh ini juga salah satu sosok yang kerab hadir di lapangan mendampingi atlet dan official saat gelombang protes terjadi.
Nama Aceh yang begitu menggema di setiap vinue untuk menjadi tuan rumah Porwanas 2025, tentu menjadi modal dasar, untuk bisa menjadi tuan rumah. Tuan Rumah yang bisa mengembalikan hakekat dan cita-cita Porwanas itu sendiri. Semoga.[]