Masih Perlukah Elektoral Presiden Threshold?

Oleh: Aji Setiawan

BANYAK kalangan menggugat elektoral presiden treshold sebagai ambang batas minimal memcalonkan presiden dan wakil presiden oleh partai yang sebesar 20 persen dikaji ulang.

Aji Setiawan

Gagasan menghapus elektoral presiden threshold adalah membuka ruang yang sama kepada setiap warga negara untuk maju sebagai Capres dan Cawapres.

Sudah sepantasnya gagasan bernegara, termasuk dalam hal ini, ide membangun sistem pemilihan umum mestilah berdasarkan dan menjunjung tinggi hukum. Sebagaimana digariskan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Maka dari itu, gagasan pemerintah yang mempertahankan presidential threshold adalah langkah mundur bagi demokrasi dan konstitusionalisme.

Pemerintah sepertinya tidak sadar, gagasan ini sudah usang. Faktanya, presidential threshold tidak memiliki kemampuan membangun koalisi jangka panjang. Kartelisasi politik yang dibangun pemerintah justru mempertaruhkan stabilitas pemerintahan.

Langkah pergantian kabinet yang menyisakan implikasi negatif berupa bagi-bagi jatah kekuasaan tentu saja berdampak langsung pada konsistensi kebijakan. Apa yang menjadi kebijakan kementerian sebelumnya bertolak belakang dengan menteri penggantinya.

Gagasan presidential threshold bermasalah dari aspek hukum dan politik. Dari aspek hukum, klausul ini tidak sejalan dengan penegasan sistem presidensialisme. Dalam sistem presidensialisme, eksistensi lembaga kepresidenan tidak bergantung pada seberapa kuat dukungan parlemen. Karena pemerintahan tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, begitu pun presiden tidak dapat membubarkan parlemen.

Mengenai cara pencalonan presiden dan calon wakil presiden, merujuk amanah konstitusi pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menegaskan yang berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungannya.

Ketentuan ini menjelaskan keberkaitan antara hasil Pemilu legislatif dengan pencalonan presiden.  Calon presiden dilahirkan partai politik atau gabungannya yang memiliki determinasi yang identik, yakni berasal dari basis demografis dan kenyataan sosial yang sama.

Pemilu 2019 telah menghasilkan partai partai pemenang lima besar Pemilu seperti Partai PDI P, P Gerindra, P Golkar, PKB, PKS.  Mengingat hasil Pemilu 2019, kemungkinan calon dari PDI P dan Gerindra akan tampil mengusung calon dengan Prabowo sebagai Capresnya.

Baca Juga  Pemko Sabang Raih Universal Health Coverage 2024

Golkar dan PPP ada kemungiinan juga akan mengajukan capres. Sementara Anies Baswedan akan didukung PKS, dan PAN.  Ketiga poros besar pemenang Pemilu tentu akan sulit memunculkan poros keempat dan kelima selama batas ET President Treshold 20% masih menjadi patokan untuk mengajukan calon.

Karena itu, memaksakan hasil Pemilu 2019 sebagai basis pengajuan calon presiden pada 2024 adalah wujud dari kesenjangan cara berpikir (contradictio in determinis). Berbahayakah demokrasi sedang dalam bahaya? Pertanyaan ini adalah kalimat pembuka buku yang ditulis tiga teoritisi demokrasi (Crozier, Huntington, dan Watanuki, 1975). Dalam buku yang berjudul dramatis: ‘Demokrasi dalam krisis’.

Pertanyaan serupa menjadi sangat pantas diajukan atas ide presidential threshold yang tertuang dalam RUU Pemilu. Ketentuan Pasal 190 RUU yang tegas-tegas menyatakan partai politik atau gabungannya yang berhak mengajukan Capres dan Cawapres adalah yang perolehan kursinya paling sedikit 20 persen atau suara 25 persen pada Pemilu anggota DPR sebelumnya adalah bahasa kuasa yang tidak berpijak di atas prinsip universal demokrasi.

Demokrasi yang sejati menganut prinsip ekualitas, yakni memastikan segala hak dan kedudukan warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum. Hak memilih dan dipilih adalah hak asasi yang mesti dijamin oleh negara. Karena itu, negara semestinya menjadi garda terdepan dalam memastikan terpenuhi hak konstitusional setiap warga negara ini.

Lonceng Kematian

Jika sekelompok elite yang mengatasnamakan kehendak negara membajak demokrasi untuk memaksakan kehendak diri dan kelompoknya. Maka lonceng kematian demokrasi yang sejati mulai berbunyi.  Dalam konteks inilah gagasan presidential threshold, tidak saja harus dikritisi, namun semua warga negara mesti memperjuangkan alternatif gagasan lain yang lebih demokratis dan konstitusional.

Baca Juga  Danrem Lilawangsa Pantau Pencoblosan di Langsa

Sebab, sebagaimana dikatakan Michael Callahan (2012), if justice is not equal for all, it is not justice.  Apabila segelintir elit mengaku ide presidential threshold ini adalah bentuk keadilan. Maka sudah pasti tidak ada keadilan sama sekali di dalamnya. Keadilan versi elit ini mesti dipandang sebagai gagasan impulsif, kalau tidak lebih tepat disebut berbahaya.

Karena demokrasi sekarang paling tidak menuntut adanya partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan. Dalam sistem demokrasi, perwakilan rakyat dalam mengambil keputusan diwakilkan yang namanya wakil-wakil rakyat. Karena itu diperlukan pemilihan umum secara jujur, adil, transparan dan bersih agar diperoleh sosok wakil rakyat yang bisa menjadi representatif dari rakyat itu sendiri.

DPR telah mengesahkan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Undang-undang baru tersebut mengakomodasi usul pemerintah, presiden hanya dapat diusung partai politik atau gabungan partai yang memperoleh sedikitnya 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional.

UU Pemilu ini membuat sejumlah pihak yang hendak mengajukan uji materi (judicial review) menjadi terhambat. Padahal, saat ini sudah banyak pihak yang menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka memprotes ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.

Ketentuan tersebut dinilai tak sesuai dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden 2024 yang digelar serentak. Uji materi UU Pemilu inu  tengah diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Dimana nantinya terkait aturan ambang batas pencalonan Presiden. Ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional akan merugikan hak konstitusional.

Aturan tersebut tidak relevan jika pada 2024 nanti pemilihan dilakukan secara serentak. Apalagi jika harus mengacu pada hasil perolehan di pemilu 2019. Perolehan suara pada 2019 sudah digunakan untuk pencalonan presiden saat ini.

Baca Juga  Kasad Ingatkan Netralitas Prajurit di Pemilu

Sejumlah kalangan menilai tingginya angka presidential threshold tersebut, yang akan dihitung menggunakan hasil Pemilu 2019, telah memperkecil peluang munculnya calon baru dalam pemilihan presiden 2024. Beleid yang diatur dalam Pasal 222 itu diperkirakan mempertemukan kubu baru yakni koalisi PDIP dan Gerindra, koalisi Golkar-PPP serta koalisi PKS dan PAN.

Uji Materi

Apabila MK mengabulkan uji materi batas minimal 20% Capres-Cawapres dikabulkan. Maka sesungguhnya ET Capres dan Cawapres pada Pilpres 2024 sudah tidak diperlukan lagi secara konstitusi yang mematok 20-25% atau gabungan suara.

Pergulatan Capres dan Cawapres bisa jadi juga akan merubah peta politik yang sudah diprediksi banyak kalangan. Ada banyak Cawapres yang bisa jadi tidak klop dengan pasangan koalisi yang sudah diusung. Hanya saja UUD 1945 menggariskan presiden terpilih 50%+1 dari seluruh daerah pemilihan atau 2/3 wilayah NKRI. Apabila belum mencapai 50%, maka akan diadakan pilihan ulang.

Jadi Calon Presiden dan Wapres bisa saja bermunculan hari-hari belakangan ini seperti Agus Harimurti Yudhoyono, Jenderal Gatot Nurmantio, TGH Zaini Madji Pancor (Gubernur NTB), Ganjar Pranowo, Airlangga Hartanto dll.

Akan tetapi, apabila uji materi ditolak MK, maka ET 20% batas minimal Capres maka kemungkinan, hanya akan memunculkan dua koalisi atau tiga koalisi saja yang akan maju di Pilpres 2024.[halaman7.com]

Penulis, Mantan Ketua PWI Reformasi Daerah Istimewa Djogjakarta

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *