Catatan: Aji Setiawan
“Daniel Dahakidae, Litbang Kompas menyatakan penetapan hari pers tidak merujuk kepada hari lahir sebuah organisasi wartawan. Seharusnya, penetapan hari pers nasional merujuk terhadap lahirnya pers nasional itu sendiri, yang ketika itu masih dalam bentuk surat kabar”.

MELACAK sejarah Pers Nasional Indonesia memang tidak mudah mudah. Karena sejarah pers sudah dimulai jauh sebelum masa revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Media pada kurun waktu itu umumnya memuat seputar berita pemerintahan Hindia Belanda, sehingga pada 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar.
Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan.
Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar.
Dikatakannya, pada 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada Oktober 1744, Vendu Nieuws pada 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Kemudian dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi.Medan Priyayi awalnya terbit tiap hari Jumat. Terbit pertama buletin Jumat ini pada 1 Januari 1901 di Bandung.
Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni RM Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala.
Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922.
Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang
Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).
Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan September 1945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.
Surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Berita Indonesia, yang terbit pada 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republik sangat pesat. Meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.
Jadi pers Nasional pada masa sebelum kemerdekaan dimulai Pers Indonesia dimulai sejak dibentuknya Kantor berita ANTARA pada 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Kantor berita Antara didirikan Soemanang saat usia 29 tahun, AM Sipahoentar saat usia 23 tahun, Adam Malik saat berusia 20 tahun dan Pandu Kartawiguna. Adam Malik pada usia 21 tahun diminta untuk mengambil alih sebagai pimpinan ANTARA, dikemudian hari Ia menjadi orang penting dalam memberitakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, di Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya ialah di Koetaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama atau berganti nama.
Polemik
Polemik tentang hari Pers Indonesia sesungguhnya sudah berlangsung lama. Dimana perayaan Hari Pers Nasional (HPN) yang ditetapkan 9 Februari sepertinya belum sepenuhnya utuh di kalangan masyarakat pers. Melihat penetapan HPN pada 9 Februari ini bertepatan dengan kelahiran sebuah organisasi profesi wartawan, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946.
Mantan Kepala Penelitian Pengembangan (Litbang) Kompas, Daniel Dhakidae mengatakan, pemerintah ketika itu keliru menetapkan HPN jatuh pada 9 Februari. HPN sendiri ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani Presiden RI ke-2 Soeharto. Apa boleh buat Hari Pers Nasional akhirnya diselenggarakan setiap tahun pada 9 Februari yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985.
Tanggal 9 Februari sendiri memiliki nilai historis bagi perkembangan pers di Indonesia karena bertepatan dengan HUT PWI. Pada 9 Februari 1946 itu diselenggarakan pertemuan wartawan nasional yang melahirkan PWI sebagai organisasi wartawan pertama pasca kemerdekaan Indonesia.
Soemanang yang juga merupakan pendiri Kantor Berita Antara ditetapkan sebagai Ketua PWI pertama pada pertemuan itu. Hanya saja kalau boleh berbeda dan jujur pada sejarah, saatnyalah jurnalis Indonesia untuk menengok ke belakang sejenak, ada catatan Medan Prijaji (1 Januari 1901) yang jauh lebih tua dari hari Pers Nasional, kiranya ini bisa menjadikan catatan sejarah bahwa Hari Pers Nasional seperti yang dikatakan Daniel Dakidae bahwa penetapan hari pers tidak merujuk kepada hari lahir sebuah organisasi wartawan.
Seharusnya, penetapan hari pers nasional merujuk terhadap lahirnya pers nasional itu sendiri, yang ketika itu masih dalam bentuk surat kabar, tepatnya saat Medan Prijaji baru pertama kali diterbitkan.[]
Penulis , Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII), mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia-Reformasi Korda Dista Yogyakarta 1999-2002.