halaman7.com – Banda Aceh: “Ini angka yang banyak, bukan kecil. Sementara, ada 25 masakan tradisional yang penting bagi masyarakat Gayo berdasarkan Smith’s Salience Index,” kata Ivana Joy Pauline Pangaribuan, mahasiswi Magister Konservasi Biodiversitas Tropika Institut Pertanian Bogor (IPB) yang jadi pembicara Bincang Kuliner Pusat Kajian Kebudayaan Gayo, Jumat malam 3 Juni 2022.
Ivana Joy Pauline Pangaribuan melakukan penelitian tentang kuliner Gayo di Kampung Mude Nosar, Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah, di bimbingan Dr Ir Arzyana Sunkar MSc dan Dr Syafitri Hidayati SHut MSi.
INFO Terkait:
Masakan Penting
Ada 25 masakan tradisional yang penting bagi masyarakat Gayo, ungkapnya. Yakni, masam jing jahir, pengat jahir, kupi, gutel, depik pengat, cecah agur, berahrum, lepat, masam jing depik, cecah ries.
Kuliner lainnya, gegaluh, leluang, lepat petukel, masam jing jepang, kekaras, wajik, pengat bawal, lepat gadung, peyek, cecah depik, masam jing bawal, gelami, engkul, taruk jepang reb.
Dikatakan, bagi orang yang tidak terbiasa berbahasa Gayo, cecah identik dengan kata-kata cacah. Di Gayo, cecah menyerupai sambal, tapi tidak digoreng, bahan-bahan yang ada dicecah secara bersamaan, hingga tercampur.
Menurutnyam yang paling khas ketika mengunjungi Mude Nosar, ada cecah agur dan cecah ries.
“Ini pertama kali saya melihat terong belanda (terong agur) dicecah. Rasanya juga khas. Pedas, asam, tapi segar saat dimakan secara bersamaan. Ini unik karena saya belum pernah ketemu sambal seperti ini sebelumnya,” sebut alumnus Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB itu.
Kemudian, ungkapnya, ada cecah ries yang diambil dari batang pisang, bagian tengahnya, lalu dibumbu dengan bumbu-bumbu lainnya. Banyak jenis cecah, cecah agur, cecah awal, cecah belacan, cecah depik, cecah empan, cecah jepang, cecah karing, cecah kekulit, cecah ries, cecah terong padul, cecah terpil, cecah timun, cecah tomat, cecah ungke, dan cecah reraya.
Dedah, akunya, proses masaknya di kuali, tanpa menggunakan minyak, yang khasnya lagi menggunakan pisang sebagai alas masak.
“Kita meletakan daun pisang tersebut di atas kuali yang panas, baru kita tuang bahan masakan kita. Contoh yang paling khas ini adalah dedah tenaruh, dengan bahan lede, lasun ilang, ulung asam (daun jeroh) yang diorak-arik di atas kuali. Mirip telur orak-orik, tapi tidak memakai minyak dan menggunakan daun pisang. Tapi, ala Gayo,” sebut peraih Digital Entrepreneurship Academy Talent Scholarship 2021 Kementerian Komunikasi dan Informasi tersebut.
Masam jing, ungkapnya, yang paling otentik. Ivana paling sering menemukan masam jing ini ketika berada di Gayo. Hampir tiap hari sepertinya menikmati jamuan masam jing. Rasanya asam dan pedas, berkuah, dan dapat dijadikan makan sehari-hari.
Dengan campuran yang utama gegarang, lede, gantang (gantang digunakan untuk melembutkan kuah dari masam jing. Pada zaman dulu, lebih banyak digunakan beras untuk melembutkan kuahnya), empan, asam kuyun, asam Jantar, dan Jantar (bisa ditambahkan sesuai selera, bisa jepang, petukel).
Selain terdapat masam jing jahir, sambungnya, terdapat masam jing bado, masam jing bandang, masam jing bawal, masam jing depik, masam jing gantang, masam jing gule masin, masam jing jahir, masam jing Jantar, masaing jing jepang, masam jing karing, masam jing keloang, masam jing iken mas, masam jing pengat, masam jing peres, masam jing petukel, masam jing terong.
Disebutkannya, masam jing merupakan proses memasak yang paling khas bagi masyarakat Gayo.
“Kenapa jahir yang paling banyak, karena paling banyak ditemui di Danau Laut Tawar. Jahir dan masam jing perpaduan yang sangat tepat,” sebutnya.
Pengat, menurutnya, kurang lebih bumbu, namun dalam proses memasaknya harus dimasak sampai kering atau sedikit basah atau tidak sebasah masam jing. Proses memasaknya makan waktu yang lama.
Ivana mengaku sering menemukan pengat ini pada acara-acara tertentu, seperti pernikahan atau turun mani. Pengat digunakan untuk acara adat. Melaksanakan adat, tentu mengundang banyak orang. Mengundang banyak orang, perlu konsumsi yang sangat banyak.
Untuk memasak konsumsi yang sangat banyak, memerlukan waktu yang cukup lama. Dengan proses pengat, ibaratnya dikeringkan, sehingga dapat memperlama masa konsumsi jahir. Jadi, tidak cepat basi. Ketika akan dihidangkan masih kelihatan segar dan nikmat. Pengat jahir, paling banyak digunakan dalam acara adat.
Rebus dan tumis, familiar bagi seluruh masyarakat Indonesia, karena cara masak yang paling sederhana dan mudah. Paling unik, menggunakan pucuk labu jepang.
“Pas ke Gayo, saya pertama kali menikmati pucuk lagu jepang. Selama ini, yang saya nikmati hanya buahnya saja. Dengan bisa ke Gayo, saya bisa menikmati hal baru, yaitu daunnya. Ketika direbus, lembut, rasanya juga sangat nikmat. Alternatif yang direbus cukup banyak, petukel, bayam, gadung, jagong, jepang,” katanya.
Masyarakat Gayo, jelasnya, juga mengenal penganan. Dibuat pas acara adat atau acara tertentu, seperti apam, berahrum, cinul, cucur, engkul, gegaluh, gegerip, banyak sekali sebenarnya. Tapi, yang paling khas gutel, ongol-ongol, dan keripik gadung.
Pada zaman dulu, gutel sering dijadikan penganan pas berperang atau pergi ke sawah. Pembuatannya yang sederhana, dengan tepung beras yang ditumbuk menjadi tepung, lalu dicampur dengan kelapa, lalu dikukus, dibungkus dengan seke atau daun pandang dan siap di bawa ke mana saja, gampang, dan cukup mengeyangkan, dengan jumlah yang sedikit. Jadi, cocok sebagai bekal.
Sambungnya, tunu, ikan apa saja bisa ditunu. Yang paling khas, jahir. Paling gampang ditemukan di Danau Laut Tawar. Uniknya, jahir tunu dimakan dengan cecah dan ini sangat nikmat ketika dimakan dengan cecah agur. Ada rasa ikan jahir, lalu ada rasa asam dari terong agur dan terong belanda, dan pedas dari lede yang dicecah tersebut.
Minuman, ada teh dan kopi. Yang paling otentik, kopi.
“Kalau di sana, setiap saya berkunjung, pasti saya selalu dapat suguhan kopi. Jadi, ketika saya berkunjung ke 10 rumah sehari, saya minum kopi 10 kali. Ini sudah jadi ciri khas. Ketika masyarakat bangun pagi, kopi. Ketika bertemu dengan teman, kopi,” katanya.
Ketika membicarakan kopi, ungkapnya, termasuk di café-café zaman sekarang, pasti yang terbesit adalah kopi gayo.
“Ketika saya membicarakan kopi Gayo dengan teman-teman, ternyata masih sedikit yang memahami, bahwa Gayo adalah satu masyarakat adat yang memiliki banyak potensi, tidak hanya dari kopi,” jelasnya.[ril | red 01]

















