Catatan: Shella Oetharry Gunawan
Awalnya Covid ini tak membawa kekhawatiran yang terlalu dalam. Seolah tak akan sampai ke Indonesia. Kehidupan berjalan normal begitu saja. Tapi pada akhirnya Pandemi Covid-19, menghampiri, mengahantarkan kita pada kehidupan penuh pertimbangan.

Kebijakan demi kebijakan dikeluarkan demi memutus tali rantai penyebaran. Sekolah diliburkan, WFH, social distanting, dan sebagainya yang memaksa kita untuk di rumah saja. Aturan yang yang dikeluarkan itu menyeluruh untuk seluruh Indonesia dan diperkuat dengan Surat Edaran dari daerah yang mau tidak mau harus dipatuhi.
Ketika semua harus di rumah saja bagaimana nasib kehidupan orang-orang yang biasa menyambung hidup perhari dengan mencari uang di jalan dan serabutan. Itu yang pertama kali terlintas dipikiran.
Apakah tidak terlalu berlebihan jika aturan ini juga diterapkan didaerah seperti Aceh yang jangkauannya jauh dari ibukota Indonesia yang sudah ada kasus positif Covid-19. Ya walaupun bukan tidak mungkin sampai ke Aceh. Buktinya, corona itu bermain di bumi Aceh ini.
Setelah itu mulailah segala drama-drama mahasiswa akibat Corona. Kuliah yang diliburkan selama dua minggu. Bukannya di kos saja, malah menjadi ajang duduk-duduk santai di warung kopi, ajang pulang kampung dan temu rindu kecuali kami teman-teman asrama yang tidak dibenarkan pulang. Kuliah diliburkan tetapi warung kopi tetap dibuka? ya begitulah silahkan berkomentar sendiri.
Hampir dua pekan berlalu seperti itu dan keluarlah berita bahwasannya di Aceh sudah terdapat pasien positif Covid. Kemudian, dikeluarkan lagi SE yang memperpanjang libur kuliah tatap muka dan digantikan dengan daring. Disusul keputusan bahwa mahasiswa asrama boleh pulang ke kampung halaman.
Tadinya merasa terzalimi karena merasa ingin dekat dengan orang tua disaat bahaya seperti ini, kini bias tersenyum lega walau harus pulang dengan rasa was-was di jalan.
Yaa kehidupan nyata kuliah online pun dimulai, yang tadinya memikirkan perekonomian dan pemerintahan kini mulai memikirkan dunia sendiri dunia perkuliahan, kelas online yang membutuhkan jaringan super ketika sudah di kampung halaman pun menjadi momok tersendiri, putus nyambung tanpa kejelasan.
Untungnya masih terselamatkan dengan hanya ganti kartu. Tetapi sungguh sayang teman-teman yang memang tinggal di daerah yang tidak terjangkau akses internetnya. Belum teratasi masalah tidak adanya akses internet mulai lagi dengan keberatan kaena kuota internet.
Memang faktanya dengan kuliah online menambah jumlah pemakaian kuota internet yang tentunya dan ujung-ujungnya adalah masalah keuangan. “Dari mana kuota sedang uang tidak ada, uang darimana sedang dirumah aja dan tidak bekerja.’
Bagi perekonomiannya cukup, oke lah, tak jadi soal, namun yang tidak bagaimana? Begitulah keluh yang terlintas di telinga.
Ketika diambil jalan dengan pemberian tugaspun nyatanya banyak sekali keluhan-keluhan yang diungkapkan oleh teman-teman. Walaupun tidak semua demikian, tetapi tetap saja keluhan-keluhan tersebut terus bermunculan diungkapkan dan meramaikan media sosial, mulai dari yang mengatakan bahwa bukan robot sampai celotehan bahwa dosen hanya makan gaji buta karena tidak mengisi kelas.
Soal kuota dan akses internet bolehlah diiyakan, tetapi sayang disayangkan keluhan-keluhan berlebihan dan celotehan pedas tentang tugas dan dosen itu rasanya tak pantas.
Diriku pribadi adalah orang bersyukur dengan adanya tugas, walaupun tak dapat penjelasan setidaknya ini menjadi jalan untuk berusaha membuka buku dan mencari tahu, jika sudah tidak ada kelas, tidak ada tugas lalu mau apa? bertiktok ria? menghabiskan waktu mengkritik tanpa arti dan solusi terhadap situasi yang tidak diinginkan ini? tugas itu hanya sesuatu yang harus dikerjakan dan tidak perlu diberi label beban. Kalau dikatakan bukan robot, ya memang bukan, nyatanya kita manusia yang bahkan menciptakan robot.
Lelah ya istirahat jangan marah-marah nanti semakin lelah. Tugas ini bahkan lebih baik daripada merugi membayar SPP dan berkomitmen waktu untuk menuntut ilmu. Sudah tidak ada kelas, sudah tidak ada tugas, nilai tetap bagus? begitu? mau dibawa kemana negeri ini dengan titel tanpa bobot.
Untuk kalimat ‘dosen makan gaji buta”, rasanya terlalu kejam. Ungkapan seperti itu mungkin melegakan saat sedang marah. Tapi tanpa sadar ada hati guru-guru mulia yang tersakiti. Tidak dapat dipungkiri pasti masih ada dan tersisa guru-guru kita yang kemampuan mengoperasikan media online ini masih kurang, mereka juga berjuang belajar demi memenuhi kewajibannya, siapa yang memikirkan itu? siapa yang berpikir di luar sana para dosen juga menyangkan dan galau akibat tidak bisa memberikan pelajaran secara efektif?
Keadaan seperti ini tidak ada yang menginginkan, bukan hanya dunia perkuliahan saja yang memiliki masalah, yang lain juga. Lihat bagaimana Omnibus Law menjadi ketakutan sebagian besar orang. Bagaimana nasib orang-orang yang ter-PHK. Bagaimana nasib para buruh serabutan. Seluruh kehidupan kita sedang dalam kekacauan akibat covid 19 ini.
Daripada memaki ketika kelas diganti tugas, melabeli tugas itu beban. Lebih baik berpikir positif dan mengerjakannya. Alhamdulillah kebijkan diskon SPP dan pembagian kuota sudah dikeluarkan.
Jadi tak perlu lagi terlalu risau dan kejam mengkritik tanpa usaha memperbaiki dan memberikan tawaran solusi.
Penulis, Mahasiswi UIN Ar-raniry Banda Aceh