Interpretasi “Tanpa Hak”

Oleh: Aji Setiawan

DALAM Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”), unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber.

Aji Setiawan

‘Tanpa hak’ maksudnya tidak memiliki alas hukum yang sah untuk melakukan perbuatan yang dimaksud. Alas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hukum yang lain. ‘Tanpa hak’ juga mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan.

Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Berikut bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Sebenarnya, tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif.

Karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil. Contoh penerapannya adalah apabila seseorang menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu. Maka Pasal 28 ayat (2) UU ITE ini secara langsung dapat dipergunakan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menjerat pelaku yang menuliskan status tersebut.

Baca Juga  Upaya Mencegah Kekerasan terhadap Wartawan

Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Efektivitas Penerapan Pasal

Efektivitas pasal tentunya dapat dilihat dari setidaknya dua sisi, yaitu pengaturan dan penerapan/penegakan (law enforcement). Secara pengaturan, perumusan pasal ini sudah dinilai cukup. Sedangkan, dalam aspek penerapan/penegakan pasal yang dimaksud, tentu bergantung pada tiap-tiap kasus yang terjadi. Dengan kata lain penerapan pasal tersebut relatif sulit diukur parameter efektivitasnya.

Wakil Ketua MPR RI, Asrul Sani menyatakan pasal 28 ITE ini termasuk pasal karet. Karenanya FPPP akan menggodok dengan Tim Ahli Pemerintah dan Tim Ahli PPP untuk merevisi aturan ini. Dengan melibatkan FPPP dalam Pansus (Panitia Khusus) dan Panja (Panitia Kerja).

“Karena ini menyangkut keamanan kenyamanan kerja dan keselamatan jurnalis,” kata H. Asrul Sani.

Penulis sendiri menyatakan pasal karet yakni pasal 28 UU ITE selaksa gunung es, fait a compli, bisa mempidana wartawan.

“Ini tentu membuat ruang gerak wartawan jadi terbatas. Saya kira UU Pers, UU No 40 Tahun 1999 sudah cukup untuk mengawal pilar-pilar demokrasi , termasuk kebebasan pers.” Demkian pendapat penulis.

Menurut Dr Mahmuzar MHum sebaiknya untuk menghindari ujaran kebencian, wartawan menyampaikan laporan tertulis lewat berita.

“Makanya, kalau wartawan mau buat pendapat jangan di Medsos, tapi dimedia cetak, elektronik atau online,” lanjutkan Mahmuzar.

Baca Juga  6 Ton Beras untuk Korban Banjir di Aceh Tamiang

Pengajar ilmu Hukum dan Syariah di UIN Sultan Syarif Kasim, Riau ini menegaskan, Medsos tidak tunduk dengan undang-undang pers.

“Berdasarkan putusan MK, Media sosial tak tunduk pada UU Pers,” pungkas Dr.Mahmuzar.[]

Aji Setiawan, kolumnis dan Mantan Ketua PWI-Reformasi Korda Jogjakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *