halaman7.com – Aceh Besar: Menanggapi kritik Usman Lamreung atas Fraksi Partai Aceh disalah satu media elektronik, kami atas nama fraksi mengucapkan apresiasi yang sangat tinggi. Karena perjalanan politik DPRK Aceh Besar dalam dua tahun terakhir hampir tidak terjadinya dialektika yang berarti atas isu-isu yang berkembang.
Memang tampak aktif namun cenderung menjalankan rutinitas belaka sehingga pemikiran-pemikiran politik pembangunan kurang berkembang.
Hal tersebut terjadi, menurut salah seorang anggota DPRK Aceh Besar dari fraksi PA, Juanda Djamal, disebabkan konstruksi relasi politik antar fraksi yang ada di DPRK itu sendiri.
Perlu sampaikan, lanjut Juanda, awalnya memang terbangun suasana politik yang mendorong terbentuknya dua koalisi. Dimana koalisi besar bergabungnya seluruh partai nasional, ya sekitar 24 kursi. Sedangkan satunya lagi, koalisi kecil terdiri dari Partai lokal sekitar 11 kursi.
Kami menganalisa, semangat koalisi besar ini hanya ingin menguasai Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dan mungkin bisa mendapatkan dukungan lebih besar dari penguasa. Namun, ternyata tidak demikian, makanya koalisi ini tidak efektif kemudian.
Yang terjadi kemudian, DPRK ingin membentuk entitas sendiri, sehingga keseimbangan dengan eksekutif lebih dapat terwujud, ada manufer dari DPRK diawal-awal. Namun kemudian buyar lagi.
“Karena bupati secara berulang-ulang memposisikan eksekutif dan legislatif sama-sama penyelenggara pemerintah, makanya suasana kembali mencair,” jelas Juanda dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu, 29 Januari 2022, malam.
Selanjutnya, pertimbangan politik lainnya, pihaknya melihat relasi bupati-wakil bupati bagaikan “ban utama dan ban serap”. Jika ditambah lagi membangun aksi oposisi di gedung DPRK, maka yang rugi adalah rakyat Aceh Besar.
“Karena kami lihat juga, perilaku penguasa eksekutif tidak mencerminkan kepemimpinan yang membangun daerah,” ungkap Juanda.
Buktinya, pembagian kekuasaan antar keduanya saja bermasalah, apalagi berbagi dengan banyak pihak. Maka, kemudian Fraksi PA berpandangan, tidak perlu membangun suasana oposan. Karena dengan perilaku penguasa demikian maka tidak mempengaruhi apapun.
“Kritikan kita tidak akan menjadi pertimbangan apapun yang mempengaruhi kebijakan,” ujarnya.
Coba Analisa lagi, lanjut Juanda, wakil bupati mengkritik bupati dengan sangat tajam, akan tetapi tidak ada hasil apapun untuk kebijakan pembangunan Aceh Besar. Memang terakhir, wakil bupati mendapatkan beberapa “dinas”, tapi realitas koordinasi antar mereka tidak konstruktif.
INFO Terkait:
Mengawasi
Kendatipun demikian, Fraksi PA tetap berada pada posisi mengawasi dan mengkritik segala kebijakan eksketif yang merugikan masyarakat. Contohnya Fraksi PA menentang pembelian lahan yang tidak jelas penggunaannya seperti lahan kuburan Gampong Lubuk Batee, lahan pembangunan RPH di Blang Bintang, Lahan pendirian RS type C yang tidak jelas perencanaannya.
Bukan hanya itu, Fraksi PA mengkritik sistem pengelolaan pasar Lambaro yang menurut PA banyak terjadi kebocoran dana. PA juga mengkritik ketidakseriusan penguasa dalam membangun Kota Jantho dan Pulo Aceh.
“Juga, kami mengkritik sistem penyelenggaraan birokrasi yang sangat lemah sehingga anggaran pembangunan lebih besar ke pembelanjaan rutinitas,” beber Juanda.
Fraksi PA berharap, beberapa isu yang di angkat dapat ditindaklanjuti oleh institusi penegak hukum. Agar anggaran yang dipergunakan tepat sasaran. Selama ini, Fraksi PA sudah berperan secara kritis dalam mengawasi jalannya pemerintahan Aceh Besar. Tetapi memang tata kelola eksekutif dalam menyelenggarakan birokrasi tidak tersistem. Salah satu faktornya disebabkan tidak harmonisnya hubungan bupati-wakil bupati, sehingga berdampak sampai ke SKPD.
Jadi, kalau ditelisik lebih mendalam, maka terasa sekali pergaulan antar mereka, si polan orangnya bupati dan si polen orangnya wakil bupati. Suasana demikian, tentunya berdampak pada kinerja mereka.
Atas dinamika demikian, Fraksi PA melihat suasana birokrasi yang tidak responsif, tidak fokus dan hanya berpatokan pada data makro, serta selalu menjustifkasi mengikuti RPJM namun dilapangan bertolak belakang, maka Fraksi Partai Aceh berinisiatif untuk mengembangkan satu gagasan politik-ekonomi yang kita harapkan menjadi jalan keluar atas program kesejahteraan yang lebih mendasar.
Menurut Juanda, gagasan politik-ekonomi tersebut agar menjadi contoh mengembangkan program yang terpadu dimana beberapa dinas bisa terlibat dengan pendekatan regional based development. Program tersebut selaras dengan kebijakan nasional, yaitu kedaualatan pangan melalui pengembangan kawasan Food Estate yang berbasis korporasi petani.
“Kita namakan, Kawasan Halal Food Estate SieBreuh, meliputi enam kecamatan dengan hamparan 5120 hektar persawahan. Pengembangan Food Estate tersebut berbasis korporasi petani, jadi kita ingin wujudkan kedaualatan dan kemandirian petani di masa depan,” harap Juanda.
Alhamdulillah ini sudah berjalan, sambung Juanda lagi, Sudah ada beberapa produk yang nantinya dapat menambah pendapatan petani, dan target program ini dapat dijalankan di seluruh Aceh Besar.
“Karena lahan kita banyak yang belum produktif, tentunya kita manfaatkan teknologi informasi juga untuk meluaskan,” ulasnya.
Jadi, dengan penjelasan diatas, Juanda berpandangan, DR Usman Lamreung untuk menguatkan eksistensinya sebagai akademisi, harus dapat lakukan riset atas capaian pembangunan Aceh Besar dalam lima tahun terakhir. Meskipun tidak di SK-kan bupati seperti serombongan akademisi diawal Mawardi-Waled menjabat dulunya. Tentunya, tidak mestikan, karena demi kemajuan Aceh Besar.
“Saya sarankan, ambil saja inisiatif untuk melakukan riset. Sehingga hasil riset datanya dapat bicara, kritiknya pun berisi dan DPRK juga dapat menggunakannya sebagai basis kebijakan pada tahun-tahun selanjutnya,” tutup Juanda Djamal.[ril | red 01]
Respon (1)