Catatan: Iranda Novandi
JIKA ada sayembara yang mempertanyakan: Lamno, Kabupaten Aceh Jaya identik dengan apa? Pasti jawabannya, 90 persen menjawab Gadis Mata Biru. Itulah Lamno, orang selalu mengkaitkannya dengan gadis bermata biru keturunan Portugis.
Hal itu tentu tak terlepas, karena dulunya di Lamno pernah berdiri kerajaan Daya yang sangat tersohor di wilayah barat Aceh. Kerajaan kecil ini pernah mengalahkan pasukan Portugis dan meng-Islamkan.
Bukan hanya itu, para pasukan Postugis tersebut, ditempatkan disatu daerah oleh Raja Daya dengan mendirikan perkampungan yang dihuni para serdadu Portugis dan keturunannya. Maka, tak salah kalau orang-orang disana terutama para wanitanya bermata biru.
Di atas puncak bukit di daerah Kuala Daya terdapat perkuburan raja–raja Daya yang terkenal dengan almarhum Daya atau dalam bahasa Aceh biasa disebut dengan Meureuhom Daya, karena itulah daerah ini dikenal juga dengan negeri Meureuhom Daya.
Nah.. namun dalam tulisan ini, kita tak bercerita tentang mata biru, yang kini mulai langka ditemukan atau bercerita tentang kemashuran Kerajaan Daya yang didirikan pada 1480 M dengan raja pertama Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah atau lebih dikenal dengan julukan “Po Teumeureuhom” atau “Cik Po Kandang”.
Hanya saja, tulisan ini saya ingin menukilkan rasa kagum saya akan masjid ‘mungil’ yang terletak di Pasar Lamno. Masjid ini diberi nama Masjid Baiturrahman. Sama dengan nama Masjid Raya yang terletak di pusat ibukota Provinsi Aceh, di Banda Aceh.
Pertama mengunjungi masjid ini terlihat warna tiang-tiang masjid tersebut, yang beda dengan masjid lainnya yang dominan warna putih, namun masjid ini tiang-tiangnya berwarna oranye.
Dengan perpaduan tiang berwarna oranye dan dinding yang juga bercat oranye tapi lebih lembut, membuat suasana lebih adem, nyaman dan terasa tenang. Relif ukirannya di dalamnya terlihat sangat indah.
Sayang, tidak ada satupun warga disana yang bisa dimintai keterangan menyangkut pemilihan warna dan cat masjid dan sejarahnya masjid tersebut. Mungkin karena waktu shalat Ashar pun sudah di ujung waktu, sehingga tak banyak lagi orang yang shalat disana.
Masjid ini terletak di sebelah kiri jalan lintas Barat-Selatan Aceh (barsela), tepatnya di lintas Banda Aceh-Meulaboh. Jika anda mau berkunjukung dan beribadah, saat tiba di Pasar Lamno setelah menuruni Puncak Gunung Geurute, janganlah langsung ke Calang, ibu kota Aceh Jaya, tapi berbelok ke kiri masuk ke Pasar Lamno.
Dari pasar Lamno ini melalui jalan yang kini sudah tembus ke Lamno-Jantho, Aceh Besar sekitar 100 meter kita bisa menjumpai masjid ini. Masjid ini langsung berbatasan pagar dengan pasar Lamno, MIN, serta perkampungan penduduk.
Masjid mungil ini terlihat kokoh, dan telah berusia tua. Meskipun tidak diketahaui persisnya, berapa lama sudah masjid ini berdiri. Perpaduan kubah berwarna hitam ditambah les putih disela-sela cat oranye serta tangga berwarna putih, serta tiang-tiang berwarna coklat membuat masjid ini terasa begitu indah.
Saat berwudhu, airnyapun terasa sejuk, layaknya air dari pergunungan. Di halaman masjid ada satu pohon kayu yang lumayan besar dan rindang. Di bawah pohon ini banyak warga memparkirkan kenderaan. Halaman masjid juga terasa sangat luas dan bisa menampung puluhan kenderaan roda empat dan seratusan kenderaan roda dua.
Itulah masjid Baiturrahman Lamno, Aceh Jaya. Besar harapan, ada para pembaca yang mengetahui tentang sejarah masjid ini, sehingga bisa menjadi refrensi tambahan untuk tulisan singkat ini.
Jika sempat melintas saat Ramadhan ini ke kawasa lintas Barat-Selatan Aceh, tak salah jika menyempatkan diri beribadah disana, untuk shalat. Apalagi, jika sore hari sambil menunggu waktu berbuka, bisa menikmati ikan kerleng sebagai santapan berbuka puasa.
Bagaimana, tertarik bukan untuk kesana?[halaman7.com]