Catatan: Iranda Novandi
SETELAH kita keliling masjid yang ada di Aceh. Kali ini mari kita lihat Masjid Agung Surakarta. Masjid ini, tergolong masjid bersejarah dan sudah berdiri sejak 1768. Sedangkan proses pembangunannya dimulai sejak 1763 oleh Sunan Pakubuwono III.
Sebelumnya, kita juga sudah mengunjungi salah satu masjid tua yang bersejarah di nusantara, yakni Masjid Sultan Suriansyah di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan Masjid Jamik Bung Karno di Bengkulu, maka hari ini kita ke Solo atau Surakarta di Jawa Tengah.
Pertama sekali menginjakan kaki ke masjid ini saat saya mengikuti pertemuan Kepala Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) PWI se Indonesia pada Desember 2017 lalu. Saat itu saya mewakili SJI PWI Aceh.
Setelah putar-putar di pasar Klewer Solo yang letaknya persis di samping masjid, suara adzan berkumandang.
Sepontan, kaki melangkah mencari alunan suara adzan nan merdu tersebut. Ternyata, alunan adzan itu berasal dari menara masjid yang dibangun pada 1928 oleh Sultan Pakubuono XI. Dimana, menara masjid ini menurut ceritanya terinspirasi dari Kutub Minar di New Delhi, India.
Di Masjid yang awalnya merupakan milik kerajaan Surakarta yang dikelola abdi dalam kerajaan ini, terdapat beberapa skat ruangan. Ruang teras biasa digunakan warga untuk berkumpul, sedangkan dua ruangan utama masjid khusus digunakan untuk ibadah.
Masjid yang kini sudah terbuka untuk umum dan dikelola masyarakat setempat, bagi jamaah laki-laki dan perempuan dipisahkan dalam ruangan yang berbeda bila melaksanakan shalat. Jamaah laki-laki di sebelah kanan dan jamaah perempuan di sebelah kiri. Jadi jamaah perempuan tidak berada di belakang jamaah laki-laki layaknya shalat pada umumnya di masjid yang ada di Indonesia.
Yang membuat saya tertegun saat shalat disana, dimana jamaah perempuan hampir sama banyaknya dengan jamaah perempuan. Padahala, saat itu hanya shalat Dzuhur, bukan shalat Idulfitri atau iduladha yang biasanya diramaikan juga dengan jamaah perempuan.
Kembali ke cerita awal, ternyata bukan saya saja, ratusan warga baik wisatawan, para pedagang pasar Klewer dan abang becak dan warga lainnya ramai-ramai melangkahkan kakinya ke halaman masjid yang dalam bahasa Jawa-nya disebut Masjid Ageng Karaton Surakarta Hadiningrat.
Berada di Masjid Agung yang berada di atas lahan seluas 19.180 meter persegi dengan dilingkari pagar tembok sekelilingnya dengan setinggi 3,25 meter, membayangkan saya berada di masa lalu, dimana masjid ini memiliki fungsi sebagai pusat penyebaran Islam bagi warga kerajaan.
Dari laman Wikepidia menyebutkan, dengan status sebagai masjid kerajaan, masjid ini juga berfungsi mendukung segala keperluan kerajaan yang terkait dengan keagamaan, seperti Grebeg dan festival Sekaten. Raja (Sunan) Surakarta berfungsi sebagai panatagama (pengatur urusan agama) dan masjid ini menjadi pelaksana dari fungsi ini.
Semua pegawai masjid diangkat menjadi abdi dalem kraton, dengan gelar seperti Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (untuk penghulu) dan Lurah Muadzin untuk juru adzan. Sungguh, satu kesempatan yang berkesan bisa shalat Dzuhur di masjid ini.
Kini rasanya, ada kerinduan yang mendalam untuk bisa singgah dan bersimpuh kembali di hambal yang membentang di dalam masjid yang menyerupai keraton tersebut.[]