Pembaca halaman7 yang di Rahmati Allah SWT
HARI ini seluruh ummat muslim di dunia merayakan hari kemenangan. Setelah 30 hari lamanya berpuasa menahan segala nafsu. In Syaa Allah, kita semua menjadi insan yang bertaqwa, sebagaimana esensi dari Al-baqarah:183.
Hari Raya Idulfitri merupakan bagian akhir dari makna puasa yang selama ini kita jalani. Ibarat sebuah perlombaan, Idulfitri adalah garis finish yang kita capai. Tidak semua bisa mencapai finish, hanya orang-orang yang beriman saja.
Idulfitri 1442 H, adalah tahun kedua kita ummat muslim dunia merayakannya di bawah bayang-bayang predator pandemi Covid-19. Banyak batasan bahkan norma yang harus dirasakan kita semua.
Sebut saja larangan mudik yang dianjurkan pemerintah. Larangan mudik yang diimplementasikan lewat penyakatan arus mudik diseluruh daerah di Indonesia. Mudik tentu menjadi impian banyak umat muslim untuk melakukannya. Namun, apa hendak dikata, tradisi mudik lebaran itu harus menjadi sesuatu yang tak bisa dilakukan.
Larangan mudik ini seakan menjadi momok yang menakutkan bagi para perantau, hingga banyak orang yang dipaksa ‘harus’ patuh. Namun, tak sedikit juga warga yang nekat. Tetap melakukan mudik, bagaimanapun caranya. Tekad harus bisa mudik untuk berjumpa dengan sanak keluarga yang telah lama tak berjumpa dan saling bersilaturrahmi dengan sanak famili lainnya.
Meskipun itu bisa dilakukan lewat video call, telponan atau dengan cara yang lain. Namun, maknanya terkesan hambar. Sebab, silaturrahmi itu pada prinsifnya saling bertemu dan berjabat tangan. Karena antara bersua langsung dengan bersua via fasilitas itu, itu sangat berbeda maknanya dan sangat jauh dari harapan kita semua.
Akibat ganngguan pandemi juga, ancuran untuk tidak melakukan shalat eid atau shalat Idulfitri juga sempat bergama. Masyarakat di larang menyelenggarakan shalat ied di lapangan terbuka. Kecuali di masjid. Itupun harus dengan protokol kesehatan (Prokes) ketat.
Dalam hal ini, masyarakat diminta bisa menjaga jarak saat shalat. Bagi para Jemaah juga dibagikan masker dan dianjurkan membawa sajadah sendiri dari rumah.
Bahkan akibat teror pandemi ini juga, implementasi dari saling memaafkan yang seharusnya dilakukan dengan saling berjabat tangan (bersalaman), terpaksa diganti dengan adu kepalan tangan atau hanya saling tos dengan tangan terkepal, laksana petinju sebelum bertarung di atas ring.
Tahun atau masa sulit ini harus dilalui dengan keterpaksaan oleh masyarakat kita. Berbagai larangan yang dianjurkan pemerintah dengan niat memutus mata rantai penyebaran Covid-19, juga dengan keterpakaan menjadi memutuskan hakekat dari mata rantai silaturrahmi, di hari kemenangan.
Kita hanya bisa berbuat dan berdoa. Semoga, masa sulit ini adalah tahun terakhir yang kita lalui bersama. Dengan harapan besar, di tahun 2022 atau Idulfitri 1443 H, kita bisa meraih makna kemenangan yang hakiki tanpa ada bayangan teror pandemi. Bisakah? In Syaa Allah bisa.
Bila kita semua besepakat dan bermunajat pada Yang Kuasa, untuk mengenyahkan pandemi Covid-19 ini dari muka bumi ini. Pada Idulfitri 1443 tahun depan, semua bentuk kerinduan yang terhalang di tahun ini bisa terwujud semuanya. Semoga.[h7]