Oleh: Karimansyah
BKN merilis indeks profesional ASN Aceh Tengah sangat rendah. Tentu ini menjadi hal yang sangat mengejutkan. Di tengah persoalan lain yang hingga saat ini masih terus dihadapi kabupaten berhawa sejuk itu.
Hanya saja, sebelum BKN mempublikasi hal ini. Permasalahan mengenai profesionalisme Aparatur Sipil Negara (ASN) di Aceh Tengah sudah menjadi perhatian kami.
Dalam visi kami terwujudnya Aceh Tengah Islami, Maju dan Berkelanjutan 2029,” ada misi ke-enam yang ingin “mewujudkan Aceh Tengah Bersih.” Kebersihan di sini tidak hanya mengacu pada kondisi fisik, juga pada aspek mental.
Bayangkan seorang pembalap profesional yang hebat namun mengendarai mobil dengan mesin dan komponen yang rusak. Meski ia berpengalaman, tetap tidak akan mampu menunjukkan keahlian maksimalnya.
Hal serupa terjadi dalam tata kelola pemerintahan. Tanpa dukungan staf yang profesional, keahlian pemimpin hanya akan terlihat sebagai teori di atas kertas.
Sebagai pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati Aceh Tengah, kami tidak ingin hanya dikenal sebagai pemberi janji.
Profesionalisme ASN adalah masalah yang sangat penting. Penilaian dari BKN menjadi landasan bagi kami untuk lebih fokus menangani isu ini.
Berdasarkan pemberitaan, ada empat indikator yang diukur oleh BKN: kualifikasi pendidikan, diklat, Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), dan hukuman disiplin.
Dari pengalaman kami, inti permasalahan terletak pada SKP. Mari kita cermati, dari sudut kualifikasi pendidikan, 57% ASN di Aceh Tengah memiliki gelar S1 dan 326 orang memiliki gelar S2.
Ini adalah capaian yang cukup baik, terutama jika dibandingkan dengan keseluruhan populasi di Aceh Tengah. Kurang dari 10% penduduk Aceh Tengah berpendidikan D3 hingga S3.
Selain itu, lembaga dan kementerian pusat telah menyediakan banyak fasilitas diklat, baik online maupun offline. Untuk mengikuti diklat itu, yang diperlukan hanya biaya perjalanan dari daerah.
Meskipun indikator BKN sudah tepat, kami percaya ada satu aspek penting yang masih perlu diperhatikan: tingkat kesejahteraan ASN.
Kesejahteraan ini mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan papan (rumah), banyak ASN yang harus mengambil kredit. Cicilannya dipotong dari gaji. Akibatnya, take-home pay ASN semakin rendah.
Tidak jarang, kredit ini baru lunas saat ASN mencapai usia pensiun. Situasi ini mempengaruhi konsentrasi mereka dalam meningkatkan profesionalitas.
Selain gaji pokok dan tunjangan, ASN juga memiliki tambahan penghasilan yang terpisah dari gaji, dikenal sebagai TC (tunjangan khusus). Saya melihat, tambahan penghasilan yang dialokasikan dalam APBK semakin berkurang.
Pada 2021, total tambahan penghasilan ini dalam APBK mencapai Rp68 miliar, menurun menjadi Rp65 miliar pada 2022 dan pada 2023 hanya Rp51 miliar. Penurunan ini berdampak langsung pada total take-home pay yang diterima ASN.
Lebih dari 40% ASN di lingkungan Pemkab Aceh Tengah bekerja di jajaran Dinas Pendidikan, dan 19% dijajaran Dinas Kesehatan. Artinya, hampir 60% ASN adalah guru dan tenaga kesehatan.
Dalam struktur APBK AcehTengah, sekitar Rp24-28 miliar digunakan untuk membayar honor tim sekretariat dan pengelola kegiatan. Seharusnya kerja tambahan itu merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi mereka. Dari tugas pokok itu, sebenarnya mereka bisa menerima take-home pay lebih besar berdasarkan volume kerja.
Lihat, rata-rata, setiap anggota tim hanya menerima sekitar Rp350 ribu, yang terkonsentrasi pada beberapa orang di unit kerja sebagai pengelola kegiatan. Sementara guru dan tenaga kesehatan hampir tidak mendapatkan honorarium ini.
Karena itu, untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan ASN, kami merencanakan untuk menggabungkan seluruh tambahan penghasilan ini dan mengukurnya berdasarkan kinerja.
Saat ini, TC yang diterima oleh ASN rata-rata sekitar Rp8 juta per tahun. Namun hal ini bervariasi tergantung pada pangkat, golongan, dan jabatan struktural.
Sementara itu, honor pengelola kegiatan jika dibagi rata untuk 4.955 ASN, rata-rata hanya sekitar Rp5 juta per tahun. Apabila seluruh tambahan penghasilan ini digabungkan, rata-rata bisa meningkat menjadi Rp13 juta.
Mari kita lihat daerah lain yang telah menerapkan metode ini, seperti Kota Surabaya. Ada pegawai yang menerima take home pay nya sampai Rp20 juta per bulan. Hal ini bisa terjadi karena dia mengerjakan pekerjaan orang lain. Jadi tidak berlaku lagi istilah “rajin malas penghasilan sama.”
Dengan penerapan SKP yang proporsional dan profesional, ASN yang malas mungkin tidak akan menerima tambahan penghasilan sama sekali, sedangkan mereka yang berkinerja tinggi akan mendapatkan take-home pay maksimal.
Semua ukuran kinerja dalam SKP akan mengacu pada standar visi-misi kami, yang telah kami tawarkan kepada masyarakat. Jika masyarakat setuju, atas dasar itulah kenapa anda memilih kami.
Sebagai contoh, salah satu misi kami adalah “Aceh Tengah Beriman dan Aceh Tengah Hijau.” Dalam misi ini, kami berupaya agar sumber daya alam, seperti kawasan hutan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.
Apabila program ini tidak didukung oleh ASN, otomatis ASN tersebut tidak berhak menerima tambahan penghasilan. Kenapa? Karena mereka tidak berkontribusi dalam pembangunan daerah.
Dengan pendekatan ini, kami berharap semua kriteria penilaian profesionalisme ASN oleh BKN dapat terpenuhi, sekaligus meningkatkan kesejahteraan ASN yang rajin dan berkontribusi untuk kesejahteraan rakyat.[]
Penulis, bakal calon wakil bupati Aceh Tengah.