Ruh Seniman dalam Berkarya Kian Luntur

Seniman Bonsai Rizal Effendi tetap eksis berkarya walau usia tak muda lagi.[FOTO: h7 - Julihan Darussalam]

halaman7.com – Aceh Tengah: Pada pertemuan sederhana bincang-bincang soal seni, sambil menyeruput kopi panas usia sarapan pagi. Seorang sahabat dan juga pegiat seni, Rizal Effendi menyampaikan sebuah keprihatinan soal ruh berkesenian yang saat ini dinilainya kian luntur bahkan cendrung staknan di hati para seniman.

Sebut saja seniman yang berkecimpung di seni teater, lukis, patung, bonsai, sastra, tari dan seni lainnya. Rekan-rekan ini mulai banyak yang beralih propesi, satu sisi ingin mewujudkan karya imajinasinya yang spontanitas, namun di sisi lain terbentur persoalan klise macam-macam, bisa soal materi, kesempatan, dukungan dan faktor penghambat lainnya.

“Namun apakah itu salah? tentu tidak, sebab seniman juga harus memikirkan masa depan dan penghidupan yang lebih baik. Itu pilihan, hanya saja ia harus ikhlas melepas idealismenya dalam berkesenian, kata lelaki penghobi bonsai ini, di Pesanggrahan Jul’Gallery, di Takengon, Aceh Tengah, Jumat 16 Agustus 2024.

Menurutnya wajar jika geliat para seniman seperti kehilangan ruhnya dalam berimajinasi. Berkarya asal-asalan, berbuat karena pesanan, kualitas sebuah karya seni terpaksa “diterlantarkan” disebabkan terbelenggu aturan tidak bisa bebas.

“Seniman dalam menemukan inspirasi terkadang muncul diwaktu yang tak terduga. Namun kalau kita merasa seorang seniman tulen, kita harus melakukannya saat itu juga. Kalau tunggu sebentar lagi, besok aja atau nanti dikesempatan lain, percayalah pasti akan buyar semuanya”, kata lelaki berkacamata dan pernah menjadi wartawan di sebuah harian Aceh ini.

Idealnya, lanjut penulis cerpen Vespa Tua dan Malam Lebaran ini, seorang seniman itu harus memiliki “buku saku” tempat ia mencatat atau menuangkan sesuatu hal yang menarik ketika dilihat, didengar atau menemukan hal menarik sehingga nantinya diwujudkan dalam sebuah karya besar. Memang untuk sampai ke titik itu butuh kesabaran, kerja keras dan ketekunan.

Baca Juga  Pemkab Aceh Jaya Dorong Lahirnya Kawasan Berikat

“Melalui proses berkesenian itu memang banyak tantangannya. Penghambat bisa datang dari lingkungan kita. Contoh kecil, buat puisi cinta disangka kita sedang jatuh cinta karena tidak semua orang memahami apa yang kita maksud”, sebut Rizal yang ternyata jago masak kuliner ini.

Tapi dia berkeyakinan, sampai kapanpun proses berkesenian itu tidak akan pernah hilang begitu saja. Semua tergantung kreatifitas masing-masing seniman dalam berkarya. Apalagi setiap masa pasti ada muncul karya baru walau mungkin sifatnya instan tidak bertahan lama.

Menyinggung perhatian dan dukungan pemerintah, khususnya di Kabupaten Aceh Tengah terhadap kesenian, bapak tiga anak ini masih tetap pesimis. Selama ini seniman yang berhasil menorehkan nama besar selalu berusaha sendiri jatuh bangun bukan karena binaan pemda.

Cerpen yang ditulis Rizal Effendi alias Rizal Pangeran berjudul Vespa Tua bercerita tentang perjuangan seorang ASN dengan motor butut di sebuah kota kecil namun dirinya tetap bersyukur dan bahagia.

Cerpen Malam Lebaran menceritakan seorang tukang becak bernama Sutarjo yang membeli pakaian bekas (monja) untuk ketiga anak yang sering mendapat ejekan dari teman-temannya karena tidak punya baju baru saat Lebaran.

Baju monja tersebut Sutarjo masukan dalam plastik agar terlihat baru dibeli dari pasar. Istri Sutarjo sedih tahu itu baju monja namun tetap bersyukur karena anak-anaknya bisa bergembira bersama anak lainnya di hari lebaran.[Julihan Darussalam]

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *