Oleh: Usman Lamreueng
MELIHAT fenomena dan perkembangan dinamika politik dalam lima tahun terakhir. Partai Aceh sepertinya belum mampu memainkan peran sebagai kekuatan lokal Aceh. Untuk menuntaskan agenda konsensus perdamaian Aceh dan janji politik.
Belum terlihat komitmen Partai Aceh dalam mengawal, memperjuangkan dan merealisasi amanah UUPA, belum sepenuhnya berjalan dengan apa yang diharapkan rakyat Aceh. Hal ini bisa dilihat janji politik Partai Aceh yang masih saja menjadi agenda janji politik pada Pemilu dan pilkada selanjutnya.
Sebagai contoh yang belum tuntas terus menjadi isu politik adalah persoalan Qanun Bendera dan Lambang. Hingga saat ini tidak ada tanda-tanda disepakati pemerintah pusat.
Begitus juga dengan penggunaan anggaran Otsus, sudah lebih kurang Rp100 triliun dikucurkan. Namun belum mampu menjawab berbagai tantangan dan masalah seperti kemiskinan, stanting, lapangan kerja, Syariat Islam, masalah JKA, pendidikan, tata kelola birokrasi, investasi di KIA, korupsi dan berbagai masalah pembangunan lainnya.
Partai Aceh sebagai kekuatan lokal, dan mendominasi kekuatan politik di Legislatif dan sebagaian menguasai pemerintah kota/kabupaten di Aceh, seharusnya menjadi garda terdepan berkomitmen tinggi membangun Aceh dengan baik. Namun sangat disayangkan peluang dan kesempatan yang sangat besar belum berbanding lurus dengan realisasi janji politik termasuk masalah bendera dan lambang Aceh.
Masalah di atas akan menjadi presenden buruk bagi Partai Aceh yang mayoritas kursi di DPRA. PA selama ini belum sepenuhnya melakukan dan merealisasikan berbagai janji politik, termasuk belum mampu menuntaskan berbagai persoalan internal, yaitu restrukturisasi pengurus, konsolidasi, termasuk lemahnya rekrutmen politik dan pengkaderan politik.
Persoalan lain simpatisan bergeser ke partai lain, ini terjadi karena berbagai janji politik selama sepuluh tahun terakhir belum sepenuhnya berbanding dengan harapan simpatisan dan rakyat Aceh. Inilah tantangan besar Partai Aceh.
Pertanyaan adalah mampukan Partai Aceh sebagai kekuatan lokal Aceh mampu bertahan dengan tetap mendapatkan kursi mayoritas di legislatif pada pileg 2024? dan merebut kembali kekuasaan di Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota pada Pilkada 2024?.
Kembali lagi pada PA mengkonsolidasikan dengan mengajak simpatisan untuk membangun kembali kepercayaan rakyat Aceh yang selama ini sudah mulai turun kepercayaan.
Partai Aceh harus kembali pada komitmen awal, bahwa perjuangan sebagai kekuatan politik untuk mencapai tujuan, agar benar-benar mampu mengejar ketertinggalan dengan daerah lain. Selanjutnya dilihat dari periode sebelumnya pada Pileg 2009, 2014 dan 2019, partai Aceh masih mendominasi parlemen. Pada 2009, PA mendominasi kursi DPRA dengan jumlah 33 kursi (47.83) persen dari 69 total kursi, di tinggkat DPRK hampir sebagian wilayah dikuasai Partai Aceh.
Periode 2014 Partai Aceh tetap unggul memdominasi parlemen dari 81 kursi diperebutkan PA mendapat 28 kursi dengan presentase 35 persen dan masih menguasai beberapa kabupaten/kota, namun ada penurunan jumlah suara dari periode Pilleg 2019.
Pemilu 2019 Partai Aceh semakin turun suara dan kursi di DPRA dengan jumlah 18 kursi. Turunnya sangat sinifikan dibanding dua pemilu sebelumnya. Artinya kekuatan partai Aceh semakin turun perannya.
Politik Cantik
Maka 2024 Partai Aceh harus membuat sejarah baru dengan merebut dan menguasai kembali menambah kursi di DPRA dan DPRK Kota/Kabupaten di Aceh. Namun juga harus mempertimbangkan kondisi politik di pusat.
Kita tau Partai Aceh mendukung salah satu calon presiden. Tentu bila ini tidak hati-hati dengan pertimbangan yang baik, bisa saja terjadi diluar dugaan PA, akan semakin berkurang dan hilang kursi di Legislatif.
Maka PA semestinya harus bermain politik cantik. Tentu juga harus benar-benar komitmen untuk menkonsolidasi semua warga PA, sebagai strategi politik, konsolidasi, dan penguatan ideologi politik. Sangat tidak meyakinkan target Partai Aceh di Pileg 2024 memperoleh kursi mayoritas.
Dengan kondisi partai saat ini mendobrak kekuatan untuk mendapatkan suara terbanyak. Mesin mesin politik PA Pilleg kali ini terlihat tidak begitu agresif lagi dan tidak bekerja maksimal seperti Pilleg 2009 dan 2014.
Harapan kepada Partai Aceh mengerakan kembali mesin-mesin politik di arus bawah. Belum terlambat memang, tetapi harus memakai bahan bakar avtur. Jika tidak, jangan harap tahun 2024 Parlok hilang nilai tawar dengan Pemerintah Pusat. Maka bangun dan segera keluar dari pragmatisme politik![halaman7.com]
Penulis, Akademis Unaya, Aceh Besar