Wartawan Perang asal Gayo Telah Tiada

Catatan Inmemoriam

Almarhum Hamzah Ibrahim

Oleh: Iranda Novandi

KAMIS, 11 April 2024 sore, satu pesan singkat via whatshapp masuk di android saya dari Bang Adnan NS. Bang Denan, begitu wartawan senior Aceh ini disapa, mengabarkan seorang wartawan senior Indonesia asal Gayo H Hamzah Ibrahim telah tiada pada usia 86 tahun

Innalillahi wainnaillahi rajiun. Almarhum meninggal dunia pada bulan ramadhan 1445 H atau tepatnya pada 25 Maret 2024 dini hari. H Hamzah meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Al Ihsan, Bandung, pukul 00.30 WIB. Almarhum di rawat selama dua malam di rumah sakit tersebut setelah mengalami anfal.

Kepergian sosok yang saya kagumi ini, meski belum sempat berjumpa walaupun hanya sekali. Meski sempat beberapa kali mengunjungi Kota Bandung, Jawa Barat, namun niat bertemu almarhum tak pernah bisa saya wujudkan.

Berita duka ini, mengingatkan saya pada kenangan 11 tahun silam. Dimana, siang  itu, 19 Agustus 2013. Handphone (HP) saya terus berdering. Seseorang yang tak dikenal mencoba menghubungi. Sekilas terlihat nomor hp yang asing, pasalnya tak ada nama yang keluar dari panggilan tersebut. Itu artinya nomor itu belum tersimpan dalam memori hp saya.

Hanya saja, karena hari itu saya sedang disibukan mendampingi pengajar jurnalistik dari PWI Pusat di Sekolah Jurnalisme Indinesia (SJI) Aceh yang baru dibuka Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, kala itu. Deringan telepon dari orang tak dikenal tersebut saya abaikan saja dengan membiarkan hp terus bergetar.

Tetapi, si pemilik hp diseberang sana ternyata tak mau menyerah begitu saja, sudah lebih tiga kali dia menelpon masih saya abaikan. Akhirnya sayapun menyerah untuk menerima panggilan tersebut dengan terpaksa meninggalkan ruangan aula lantai II PWI Aceh, tersebut.

“Halo, Aku Hamzah Ibrahim. Ku beteh nomor mu ari Khalis (Khalisuddin-Pemred Lintasgayo.co) [Halo saya Hamzah Ibrahim, saya tau nomor hp kamu dari Khalis],” sapa sang penelpon dari seberang. Mendengar nama Hamzah Ibrahim, pikiran saya terus melayang, sehari sebelumnya saya melihat beritanya di Lintasgayo.co. Seorang wartawan sepuh asal Gayo yang malangmelintang dalam dunia kewartawanan di Bandung, Jawa Barat.

Baca Juga  Perkebunan Sawit & Masyarakat Saling Membutuhkan

“Iya Pak, maaf tadi saya tak bisa mengangkatnya. Lagi dampingi pengajar di SJI,” ujar saya yang masih belum PD berbahasa Gayo, meskipun dari seberang lawan bicara saya membuka sapa dengan bahasa Gayo.

“Aku male munosah buku ken niko, selo ngok kite mudemu [Saya mau kasih buku untuk kamu, kapan bisa kita berjumpa],” sambung Hamzah. “Ngok Pak, kase ike nge selese kuliah ni mudemu kite. Aku i PWI ni wa[Bisa pak, nanti selesai kegiatan ini kita bisa jumpa, saya di PWI ini saja],” jawab saya membalas obrolan yang mulai menarik ini.

“Boh mi, aku ku Unsyiah mulo, ara keponakan wisuda. [Saya ke Unsyiah dulu, ada keponakan diwisuda],” ujar Hamzah. “Boh Pak, iyo kase kite mudemu.[Baik Pak, ntar sore kalau gitu kita berjuma],” ucap saya mengakhiri percakapan via jaringan selular tersebut.

Jelang sore, saya mencoba menghubungi Hamzah Ibrahim kembali, namun lewat percakapan telepon ia menyatakan sudah kembali ke Takengon. Dua hari kemudian akan kembali ke Banda Aceh, sebelum bertolak ke Bandung.

Hanya saja, dua hari kemudian kamipun tak bisa ketemu. “Buku nge ku tetep ku Evi, demui ko kase we, peren murai buku ari aku.[Buku sudah saya titipkan ke Evi, bilang saja mau mengambil buku titipan],” ujarnya. “Boh mi Pak,” ujar saya singkat semberi menyampaikan permohonan maaf tak bisa ketemu.

***

Buku Hamzah Ibrahim

Malam itu, 17 September 2013 sekitar pukul 20.00 WIB waktu Indonesia bagian Tengah (Wita). Disaat sedang duduk-duduk bersama kawan=kawan wartawan asal Aceh, di depan hotel penginapan kontingen Pekan Olahraga wartawan Nasional (Porwanas) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel).

Ada satu kebiasaan saya yang tak bisa ditinggalkan, kalau jalan-jalan mengikuti even nasional seperti ini, selalu “berburu” pin. Pin yang baru saja saya beli itu, dilekatkan di topi. Sehingga ada teman-teman yang mengatakan, baru seminggu di Banjarmasin banyak yang sudah “kumat”. Mungkin sindiran canda ini termasuk untuk saya diantaranya.

Baca Juga  Akademi Anti Korupsi akan Berdiri di Gayo

Salah satu yang diperbincangkan yakni tentang adanya pin yang berbentuk Wing yang dibagian atasnya tertulis PWI dan di bawahnya terbentang bendera merah putih. Dari banyaknya pin yang saya kenakan di topi, hanya satu yang saya kritisi, yakni pin yang berbentuk wing terbang.

Bagi saya, pin berbentuk wing tersebut tak pantas dikenakan wartawan apalagi PWI. Sebab, sepengetahuan saya, tak ada wartawan yang berjasa sudah melakukan penerjunan layaknya angkatan bersenjata.

Komentar tersebut ternyata dibantah langsung dari seorang wartawan senior di Aceh, Adnan NS yang juga Ketua Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI Aceh. Menurut Adnan, ada wartawan yang melakukan penerjunan dan berjasa dalam misi ganyang Malaysia pada 1963. Wartawan itu adalah putra Gayo, seorang wartawan di Bandung.

“Namanya, Hamzah Ibrahim. Apa kenal kamu,” sergah Adnan. Nama yang disebutkan Adnan tersebut langsung mengembalikan ingatan saya sebulan lalu. Tentang buku yang belum juga saya ambil.

Sepulang dari Banjarmasin, tekad saya mengambil buku tersebut semakin menggebu-gebu.

***

Hamzah Ibrahim bersama istri dimasa hidupnya.[FOTO: h7 – dok keluarga]
“Nama dan foto kami sudah terpampang di Malaysia,” kisah Hamzah via telepon selular saat saya menghubungi beliau ketika buku “Bila Maut Datang Menjemput, Antarkan Aku Sebagai wartawan” sudah ada ditangan saya, Selasa 8 Oktober 2013.

Ternyata, sebelum Hamzah dan kawan-kawan wartawan Indonesia lainnya yang ikut dalam operasi Dwikora atau yang lebih dikenal operasi ganyang Malaysia itu. Intelejen Malaysia melalui kepolisian besar sudah menyebar foto-foto mereka yang akan melakukan pernerjunan ke wilayah Malaysia.

Namun, karena tekad yang bulat dan semangat patriot Hamzah dan kawan-kawan tetap semangat dalam menjalankan misi tersebut hingga tuntas dan hingga saat ini maut belum juga menjemputnya. Karena hidup dan mati manusia itu, hanya Allah yang menentukannya.

Baca Juga  PWI Aceh Besar Bekali Intelijen Kodam IM Ilmu Kewartawanan

Dalam buku setebal 379 dan memuat kisah Hamzah Ibrahim dimuat di halaman 115 hingga 126 banyak mengisahkan tentang kehidupan seorang wartawan yang hidup pada masa pergolakan, terutama tahun 1963-1966.

Mulai dari operasi penyambungan tulang, pembebasan Irian Barat, Dwi Kora (Ganyang Malaysia), G.30 S/PKI dan sejumlah liputan menantang lainnya dilewati dengan penuh semangat dan penuh pengorbanan tentunya.

“Karena seringnya ikut operasi dan liputan perang seperti ini, kawan-kawan juluki saya sebagai wartawan perang,” ujar Hamzah, kelahiran Gayo, Aceh Tengah, pada 1938.

Membaca sekelumit kisahnya, ingin rasanya saya bertemu langsung dengan Hamzah Ibrahim ini. Rasanya saya sangat rugi, tempo hari tidak ketemu dengan seseorang wartawan yang kaya pengalaman. Sebab, bagi seorang wartawan itu, pengalaman adalah guru dan universitas terbaik di dunia.

Wartawan “miskin” pengalaman, maka sampai kapanpun dia tak akan berkembang. Terimakasih pak Hamzah, Saya bangga kenakan Wing PWI, apalagi wing wartawan itu diraih dari seorang wartawan berdarah Gayo.[]

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *