PADA Ramadhan ke 13 1446 h, kita coba melihat sekilas Masjid Tgk di Anjong dan jejak misteri seorang asal Yaman.
Masjid ini berada di Desa Peulanggahan, Kecamatan Koeta Radja, Kota Banda Aceh. Masjid ini didirikan pada abad 18 Masehi oleh seorang ulama yang berasal dari jazirah Arab, tepatnya dari Yaman, yang bernama Al Qutb – Al Habib – Sayyid Abubakar bin Husain Bilfaqih.
Ulama yang juga saudagar asal Yaman ini datang ke Aceh untuk menyebarkan Agama Islam sekaligus berdagang dan mendirikan Masjid di kawasan Peulanggahan. Atas didikasinya dalam penyebara Agama Islam, masyarakat setempat memberinya gelar “Teungku Di Anjong”. Ini adalah gelar kehormatan, dimana Di Anjong berarti yang di Sanjung atau di Muliakan.
Ada juga cerita yang mengisahkan Sayyid Abubakar bin Husain Bilfaqih merupan seorang nelayan yang tidak mempunyai harta apa-apa lagi. Sehingga, beliau yang tadinya ditempatkan di ruang terhormat di rumah istrinya, kemudian dipindahkan ke tempat yang kurang baik yakni di salah satu sudut rumah yang diberi nama Anjong.
Meskipun telah “diasingkan”, keluarganya tetap meminta nafkah atau bekal (belanja). Karena tidak tahan atas penghinaan tersebut. Sayyid membawa satu bungkusan yang diisinya dengan batu. Namun, saat tiba di rumah, ternyata isi bungkusan tersebut telah menjadi emas. Dan sejak saat itulah, ia dianggap keramat. Wallahualam.
Kini, di sisi kiri masjid terdapat makam Teungku Di Anjong berdampingan dengan makam-makam keluarganya dan para ulama asal Arab terdahulu. Keberadaan makam ini menjadikan Mesjid Teungku Di Anjong bukan hanya sebagai situs wisata religi tetapi juga situs wisata sejarah.
Masjid Tgk Dianjong didirikan di atas pondasi yang berdenah bujur sangkar, dengan ukuran 14,80 x 9.20 m dan tinggi 16 m. Selain itu, juga terdapat ruang berukuran 166 x 166 cm dan tingginya 177 cm, yang digunakan untuk tempat imam memimpin shalat berjamaah (mihrab).
Mesjid tersebut mempunyai atap tumpang dua dan bersusun semakin mengecil ke atas. Pada sisi paling depan bangunan tersebut terdapat serambi yang merupakan bagian dari bangunan induk mesjid. Mesjid tersebut sudah memiliki langit-langit yang terbuat dari triplek sehingga udara tidak bebas keluar masuk dari ventilasi atap tumpang.
Di pekarangan masjid juga terdapat tugu tinggi air tsunami untuk mengenang peristiwa tsunami. Di sisi kanan masjid, dibangun sebuah prasasti lain berbentuk makam yang mengabadikan nama-nama masyarakat Peulanggahan yang hilang dibawa tsunami.
Sekilas, Masjid Tengku Di Anjong memiliki gaya arsitektur Jawa. Dimana, atap masjid dibuat bertingkat-tingkat tanpa kubah. Masjid ini sangat bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di Aceh.
Dimana, ada literatur yang menyebut bahwa masjid ini pernah digunakan oleh pahlawan nasional asal Aceh Teuku Umar, untuk “bersumpah” saat menyamar ikut bersama Tentara Belanda.
Pascatsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2014 silam, masjid ini makin banyak dikunjungi para wisatawan yang datang dari Persia, Malaysia, Jakarta, atau Medan untuk berziarah. Hak ini dikarenakan, Teungku Di Anjong adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa kerajaan Aceh Sultan Alauddin Mahmud Syah, 1760 – 1781 M.
Penobatan nama Teungku Di Anjong adalah gelar yang dianugerahkan dengan ungkapan Teungku yang “Dianjong” yang berarti disanjung atau dimuliakan. Dalam versi lain juga dikatakan bahwa gelar Teungku Di Anjong diberikan karena ulama ini banyak menghabiskan ibadah dengan shalat, berzikir, shalawat dan membaca ratib di anjungan masjid yang bertingkat tiga.
Beliau dikenal sebagai ulama tasawuf, juga berperan sebagai ulama fikih dan telah membimbing manasik haji bagi calon-calon jamaah baik dari dalam wilayah kesultanan Aceh, Sumatera, Pulau Jawa, bahkan juga jamaah dari Semenanjung Malaya yang akan menunaikan ibadah haji melalui Aceh.
Untuk meletarikan situs sejarah Islam di Banda Aceh, masyarakat Peulanggahan masih tetap menjaga bentuk bangunan masjid tersebut seperti sediakala. Masjid dan makam ini kembali dibangun oleh BRR Aceh pada 2009 dengan struktur beton, namun tetap menjaga bentuk awalnya dengan tambahan sarana lainnya seperti halaman aspal dan tempat wudhu.
Status tanah bangunan masjid ini adalah tanah wakaf seluas situs 4 Ha. Sebelum mendirikan masjid, ulama ini terlebih dahulu memanfaatkan rumahnya (Rumoh Cut – rumah kecil-) yang sangat sederhana sebagai tempat pengajian dan asrama bagi murid-muridnya yang memperdalam agama Islam dan bermalam di sana.
Karena perkembangannya semakin pesat, rumahnya tidak mampu lagi menampung murid-muridnya. Akhirnya beliau mendirikan masjid yang bukan hanya difungsikan sebagai tempat ibadah, tetapi juga dimanfaatkan untuk bermusyawarah, kepentingan pengajian, dan lain-lainnya.
Di kawasan Masjid Teungku Di Anjong dahulunya juga dibangun semacam asrama untuk menampung jemaah haji yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Rumoh Raya. Bisa dikatakan bahwa gelar Aceh Serambi Mekah sangat erat kaitannya dengan peran Tengku Di Anjong dalam membimbing jamah haji yang mendapatkan dukungan kerajaan Aceh pada masa itu.
[sebagian dari tulisan ini diambil dari buku “7 Alasan Mengapa Harus ke Banda Aceh” karya Iranda Novandi]