Oleh: Aji Setiawan ST
PASKA arus demokratisasi di berbagai lini pada awal abad 20 ini. Banyak orang menaruh harapan baru pada partai politik dan pemerintah yang berkuasa. Namun dalam perjalanan sejarah. Demokrasi yang dibangun di berbagai negara belahan dunia, tengah mengalami keletihan.

Menurunnya tingkat partisipasi publik dalam konstelasi pemilihan umum mengindikasikan adanya degradasi dari proses demokrasi. Patut disadari sekarang ini, kita berada dalam situasi post-democracy seperti yang dirumuskan Colin Crouch (2004).
Institusi dan prosedur demokrasi memang berjalan. Antara lain, ditandai penyelenggaraan Pemilu dan pemilihan yang berlangsung regular. Namun partisipasi publik dalam politik terbatas bahkan terus menurun dari tahun ke tahun dan didominasi elite. Pada akhirnya melahirkan tirani politik, oligarkhi dan politik dinasti.
Era ini juga beriringan dengan matinya fatsoen etika politik. Absennya etika politik akan berdampak besar dalam kehidupan politik berbangsa ke depan.
Post Democracy
Demokrasi Indonesia saat ini mengalami stagnasi–tidak ke arah otoritarianisme. Tidak pula penguatan (konsolidasi) demokrasi. Fase ini lebih tepat disebut post-democracy. Konsolidasi oligarki menggeser partisipasi masyarakat kelas menengah dalam politik. Kaum oligarki membajak demokrasi untuk kepentingan ekonomi mereka. Situasi ini diperkuat apatisme masyarakat terhadap politik dan semakin jauhnya relasi antara partai politik dengan rakyat.
Post-democracy, menurut Crouch, yang dikutip Firman Noor (2020) ditandai beberapa hal. Pertama, partisipasi publik bersifat terbatas. Misalnya, hanya dalam pemilu, itu pun lebih banyak karena dimobilisasi dengan politik uang.
Kedua, partai politik cenderung menjadi alat kepentingan pemilik partai daripada sebagai sarana penyalur kepentingan rakyat. Akibatnya, partai lebih mengakomodasi kepentingan elite ketimbang kepentingan rakyat.
Ketiga, kecenderungan digunakannya cara-cara populisme. Politik pencitraan lebih dikedepankan dan mendapatkan sentimen pemilih di era post-truth. Itu dilakukan melalui politik identitas, konsorsium organizer politik, maupun penggunaan buzzer di media sosial.
Keempat, terdapat kecenderungan penurunan antusiasme dan partisipasi politik masyarakat. Pada akhirnya, merosotnya penghargaan terhadap institusi dan proses serta nilai-nilai demokrasi.
Kondisi di atas kemudian diperparah tradisi perebutan kekuasaan. Baik di parpol maupun lembaga pemerintahan. Dengan tidak terlembaga dan terorganidasi dan terstruktur secara baik. Saat ini kita saksikan, elit politik sering mengabaikan etika dan fatsoen politik dalam merebut kekuasaan.
Konflik internal partai politik membuat group interest pelestari kekuasaan dengan mudah mengambil alih kepemimpinan partai politik. Situasi saat ini adalah dominasi monopoli sekelompok elit politik untuk memperkuat legimitasi kekuasaan yang sudah ada.
Matinya Etika
Problem post-democracy ini beriringan dengan matinya etika politik. Politik sejatinya adalah jalan luhur mewujudkan kebaikan bersama melalui kekuasaan. Etika memberi panduan tentang nilai-nilai baik dan buruk dalam relasi antarmanusia.
Untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, para politikus masing-masing punya kecenderungan berbeda. Ada yang menekankan etika politik, ada pula melakukan segala cara.
Sejarah mencatat, pada awalnya pemikiran politik dibangun atas dasar etika politik. Seperti Plato dan Aristoteles yang menekankan etika dalam gambaran negara ideal. Dilanjutkan Thomas Aquinas yang mengintegrasikan agama dan kekuasaan di mana etika politik bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan.
Namun, sejak abad ke-16 di Barat mulai terjadi pemisahan etika dengan politik yang dipelopori Machiaveli. Menurutnya, etika tidak diperlukan dalam kekuasaan. Etika baru dibutuhkan bila ia mendatangkan keuntungan secara pragmatis.
Problem utama politik nir etika seperti yang dirumuskan Machiaveli adalah munculnya sekulerisasi politik. Pemisahan antara etika (moral) dan politik memberikan jarak bagi agama (Ketuhanan) dalam politik. Bagi Machiaveli, urusan politik adalah urusan akal pikiran manusia, bukan perkara Ketuhanan (Honohan, 2002).
Atas dasar sekulerisasi itulah, politik Machiavelian memandang manusia pada dasarnya memiliki sifat keburukan, ingkar janji, tamak kekuasaan, pembohong, munafik, dan lain sebagainya. Karena itu menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan bukanlah perkara keburukan.
Seseorang yang ingin berkuasa harus memakai muslihat singa dan rubah. Machiavelian modern diterapkan Deng Xioping dengan semboyannya “tak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus”.
Praktik politik kita hari-hari ini menunjukkan gejala matinya politik yang mewujud pada penerapan etika politik Machiavelian. Di antaranya melalui praktik kandidasi kepala daerah yang elitis, klientalisme, fenomena calon tunggal dan kotak kosong, dan maraknya praktik politik uang.
Riil politik ini semakin rusak dengan politik uang. Muncul politik transaksional dengan sistem NPWP (nomor piro, wani piro) alias wangsit (uang dhisit) pada setiap proses tahapan pemilu. Politik uang antara calon dengan partai terjadi dengan banyak cara.
Mulai dari penggunaan istilah mahar politik, uang sewa perahu, uang operasional, hingga uang saksi. Tahapan kampanye sampai pencoblosan juga diwarnai politik uang, baik dalam bentuk pembagian sembako maupun pemberian uang kepada calon pemilih pada hari pencoblosan yang dikenal dengan istilah “serangan fajar”.
Bencana Matinya Etika Politik
Sebagai anak bangsa, kita perlu mengingatkan para politikus yang berkuasa. Bahwa kekuasaan yang berdasarkan pada kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya akan rapuh. Selain itu, kemampuan seseorang berkuasa bergantung pada legitimasi dari cara mendapatkan kekuasaan (Franz Magnis Suseno, 2001).
Praktik-praktik politik tanpa etika akan menghasilkan generasi yang akan meniru cara politik segala cara. Kekuasaan yang direbut dengan segala cara, akan jatuh dengan segala cara. Bila hal ini diteruskan, akan menjadi kultur “politik menghalalkan segala cara” yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa.
Bila di ibaratkan pertandingan tinju. Satu petinju diperbolehkan menggunakan tangan dan kaki dalam pertandingan. Sedangkan petinju yang lain hanya menggunakan tangan. Tentu saja, petinju yang mengikuti aturan dengan hanya menggunakan tangan akan dikalahkan petinju yang menggunakan segala cara untuk meraih kemenangan.
Aturan dan rambu-rambu tidak dipatuhi secara konsekuen dan pelanggaran dibiarkan tanpa penegakan hokum. Ini membuat rimba hukum dalam pemilu bersih masih jauh dari harapan.
Pada akhirnya, karena menggunakan segala cara, tujuan meraih kekuasaan politik akhirnya tercapai. Hal ini akan terus ditiru setiap politisi dari generasi ke generasi. Sampai kapan politik tanpa etika ini akan kita teruskan?
Karenanya membangun kultur politik beretika dengan pendidikan dan kaderisasi politik menjadi diperlukan partai politik untuk mengisi ruang demokrasi agar beretika. Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang membahasa prinsip-prinsip moralitas politik. Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk.
Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ethes” yang berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau dapat diartikan kumpulan peraturan tentang kesusilaan.
Dengan kata lain, etika politik merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik. Etika politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan), tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan politik.
Dalam praktiknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Untuk itu, etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata.
Penulis, Wakil Sekretaris DPC PPP Purbalingga, Jawa Tengah