Gemerlap Pesta di Tanah Terluka

Catatan Porwanas Malang (Habis)

Spanduk di Perempatan Rel Kreta Api, Kota Malang Lama.[FOTO: h7 - iranda novandi]

Catatan: Iranda Novandi

HUJAN baru saja berlalu meninggalkan Paris Van Java. Jejaknya masih membekas membasahi tanah yang baru saja terluka. Gerimis malam yang masih tersisa menyambutku bersama 80 pewaris Iskandar Muda di bumi Raja Gajayana.

Jam menunjukan pukul 21.00 Wib. Namun, suasana malam di kota yang dirancang awal oleh Herman Thomas Karsten pada 1929 ini terlihat mulai sepi. Andai arsitek kelahiran Amsterdam 1884 ini masih ada, bisa jadi Malang bak kota Metropolitan yang gemerlap dengan suasana dan kehidupan malamnya.

Setidaknya, ada 1.300-an wartawan se Indonesia menginjakan kaki di tanah yang sempat berdiri kerajaan besar di nusantara ini. Seperti Singosari, Kediri, Mojapahit, Demak dan Mataram hingga era kejayaan Kolonial Belanda.

Sekilas benak ku dipenuhi tanya. Apa benar di Kota Bunga ini diselenggarakan Pekan Olahraga Wartawan (Porwanas)?. Sepanjang 95,3 km Surabaya – Malang lewat Jalan Tol Pandaan – Malang, tak ada satupun tanda-tanda akan adanya perhelatan para wartawan di daerah tersebut.

Jangankan baliho (mungkin terlalu besar), spanduk ukuran 1×2 meter saja yang menandakan di Malang Porwanas tak terlihat. Pertanyaan yang terus berkecamuk dalam benak, makin terasa ada hal lain yang dirasakan.

Pasalnya, seorang Mbak Yu, penjual ayam penyet di perempatan rel kereta api di Kota Malang Lama, tak tau sama sekali. Bahkan, saat kami mencoba makan malam di warung pinggil jalan tersebut, si mbak yu bertanya. Apa itu Porwanas?

Bukan saja Mbak Yu pejual ayam penyet, warga setempat yang berada dekat kami menginap di kawasan stasiun kereta api lama, juga sama tak tau. Bahkan, sejumlah pengemudi transportasi online mengaku, kalau di Malang lagi sepi, tak ada kegiatan apa-apa.

Baca Juga  Anggota DPR RI, Fadhlullah Minta Pemerintah Daerah Rawat Makam Habib Bugak

Intinya warga setempat tidak tau atau tak mau tau, ada even apa di kota mereka. Sebab, secara menyeluruh warga masih sangat terluka dan berduka, akan peristiwi kerusuhan saat pertandingan sepakbola Liga 1 antara Arema Malang vs Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan.

Luka dan duka ini tentu sangat mendasar. Setidaknya ada 132 suporter atau penonton yang meninggal dunia saat kerusuhan tersebut terjadi. Belum lagi yang luka-luka baik berat maupun ringan yang mencapai 500 an orang.

INFO Terkait:

Usut Tuntas

Spanduk panjang di Alun-akun Kota Malang.[FOTO: h7 – iranda novandi]
Sebagai bentuk protes warga, bentangan spanduk dan baliho USUT TUNTAS 1-10-22, terlihat tersebar dimana-mana. Mulai dari pusat kota hingga ke sudut lorong-lorong pemukiman warga di sekitar Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang hingga Kota Batu).

Seperti penyelenggaraan Porwanas sebelumnya di sejumlah daerah yang pernah saya ikuti, 2009 Samarinda, Kalimantan Timur; 2013 Banjarmasin, Kalimantan Selatan; 2016 Bandung, Jawa Barat. Yang nyaris disetiap jengkal tanah terlihat spanduk Porwanas, hingga ke hotel-hotel tempat penginapan para wartawan dari berbagai provinsi membentangkan spanduk tanda mereka menginap disana.

Namun, di Malang, Kota pendidikan yang berdiri sekitar 50 perguruan tinggi/akademi negeri dan swasta ini sama sekali tak terlihat. Spanduk Porwanas seakan tak ingin mengusik dan mampu menghapus air mata yang terlanjut tumpah di bumi Ijen Boulevard.

Disisi lain, selama mengikuti Porwanas juga. Pemandangan rada aneh juga terlihat nyata. Dimana, tak ada satu polisipun yang berdiri di jalan untuk mengatur lalulintas. Tugasnya mereka tergantikan Banpol yang notabene warga biasa.

Jangankan polisi, pos pos polisi di perempatan jalanpun tak berpenghuni. Bahkan, di pos-pos tersebut, terbentang spanduk USUT TUNTAS. Di mata masyarakat setempat, polisi lah paling bertanggungjawab atas peristiwa kerusuhan Kanjuruhan.

Baca Juga  1.000 Hewan Kurban akan Didistribusikan melalui GQ-ACT Aceh

Meskipun, semuanya serba dalam keadaan sīlent. Namun, gegap gempita Porwanas tak lah sīlent juga. Semua venue penuh gelora. Meskipun minim penonton, kecuali dari pendukung masing-masing provinsi, tapi pertandingan tetaplah hangat bahkan panas.

Aksi protes tumbuh dimana-mana. Atraksi beladiri dan ‘berburu’ wasit menjadi dinamika dalam warna silaturrahmi. Itu semua, akhirnya dalam kenangan masing-masing. Begitulah, Malang atau Jawa Timur memperlakukan para wartawan se Indonesia.

Sabtu, 24 Nopember 2002, siang. Dari hotel tua bersejarah di kawasan Kota Malang Lama. Kontingen Porwanas PWI Aceh meninggalkan semua kenangan terindah tersebut, meski terasa pahit, menuju Surabaya untuk transit di Asrama Haji, Surabaya, sebelum pada Minggu 25 Nopember 2022, melanjutkan penerbangan dari Juanda-Soeta-Kuala Namu.

Terimakasih Malang, kota yang baru pada 21 September 1945 masuk dalam bagian Wilayah Republik Indonesia. Terimakasih untuk semua cerita mu. Meski semua tak bisa tertuang di tulisan yang tercecer ini.

Seperti sulitnya akses ATM BSI. Jika dibandingkan di Aceh hampir disetiap sudut tersebar. Tentang kawasan ‘bergembok’, tentang kampung biru Arema yang tak terinjak. Apalagi melepas pandangan mata di Taman Trunojoyo, Taman Merbabu, Taman Kunang-Kunang, Taman Slamet, Hutan Kota Malabar, Taman Merjosari.

Mungkin lain kali, saat ku datang lagi. Namun entah kapan. Tapi yang pasti, sebelum ku tinggalkan diri mu, doa ku, semoga duka Malang ku cepat sembuh. Meski tak mudah menghapus luka.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *