Mahasiswa Tanya Sikap Pemerintah Soal Rohingya

Koordinator aksi menyerahkan petisi pada perwakilan pemerintah Aceh.[FOTO: h7 - dok Gerah]

halaman7.comBanda  Aceh: Massa Gerakan Rakyat Aceh (GeRAH), melakukan aksi unjukrasa ke Kantor Gubernu Aceh, mempertanyakan sikap pemerintah Aceh terkait imigran Rohingya di Aceh, Selasa 2 Januari 2024.

Selain berorasi menyampaikan tuntutannya. Para pendemo itu juga menyerahkah surat pernyataan untuk ditandatangani Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Ahcmad Marzuki dan Sekda Aceh, Bustami Hamzah di atas  materai 10 ribu.

Surat pernyataan itu berisikan, kesiapan Pemerintah Aceh untuk segera bertindak mengatasi persoalan imigran Rohingya di Aceh dalam  waktu 10 hari. Apabila, tidak bisa memindahkan imigran Rohingya dari Aceh, maka Pj Gubernur maupun Sekda Aceh diminta mengundurkan diri dari jabatan masing-masing.

Surat pernyataan tersebut diterima Kabid Penanganan Konflik dan Kewaspadaan Nasional, Kesbangpol Aceh, Dedy Andrian untuk disampaikan kepada Pj Gubernur Aceh dan Sekda.

“Nanti disampaikan surat pernyataan itu ke Gubernur dan Sekda Aceh, kita buat laporan ke publik nanti, ” ujar Dedy Andrian usai menerima surat pernyataan tersebut.

Dalam aksi ini para mahasiswa di Banda Aceh ini, menuntut pemerintah Aceh bertindak dan memberikan keputusan terhadap pengungsi Rohingya di Aceh.

Mahasiswa membawa spanduk bertuliskan ‘Tolak Rohingya di Aceh’, ‘Jangan Gadaikan Aceh dengan Isu Kemanusiaan’ dan ‘Jangan korbankan rakyat Aceh hanya untuk mendapatkan dana segar dengan menjual isu kemanusiaan’.

“Kami mewakili rakyat Aceh menolak Rohingya di Aceh, jangan jual isu kemanusiaan di Aceh. Kenapa masyarakat hari ini turun di kantor gubernur karena masyarakat sudah resah, sudah terluka,” kata Koordinator aksi, Musda Yusuf.

Dedy Andrian menyatakan pemerintah daerah telah berkoordinasi dengan pusat maupun IOM dan UNHCR, terhadap penanganan pengungsi tersebut.

“Butuh kesabaran dalam penanganan imigran Rohingya,” ucap Dedy.

Baca Juga  Lagi, Pengungsi Rohingya Berlabuh di Aceh Timur

Dedy juga menyampaikan peraturan presiden nomor 125 tahun 2016, jelas menunjukkan siapa berhak menangani dan melayani jika ada tempat.

“Saya rasa pemerintah tidak lepas tangan. Kalau tidak kita juga yang rugi,” ujarnya.

Yusuf menyatakan, Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 mengenai pengungsi. Selama ini Indonesia sudah menerima pengungsi dan orang-orang yang membutuhkan perlindungan internasional.

Saat ini terdapat sekitar 12.616 pengungsi terdaftar di kantor UNHCR di Indonesia. Ironisnya negara-negara lain yang ikut menandatangani konvensi 1951 seperti Australia justru menolak kedatangan Rohingya. Hanya memberikan uang semata kepada UNHCR sebagai konsensus.

Sementara itu, Indonesia termasuk Aceh khususnya tidak memiliki kewajiban untuk menampung pengungsi. Apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut.

Penampungan yang selama ini diberikan Indonesia semata-mata karena alasan kemanusiaan. Ironisnya banyak negara pihak pada konvensi justru menutup pintu dan bahkan menerapkan kebijakan push back terhadap para pengungsi itu.

Menurut Yusuf, penanganan selama ini teridentifikasi, kebaikan warga Aceh memberikan penampungan sementara yang banyak dimanfaatkan jaringan penyelundup manusia. Mereka mencari keuntungan finansial dari para pengungsi tanpa peduli resiko tinggi yang dihadapi para pengungsi. Khususnya kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Sejak 2015 warga Aceh sudah menampung pengungsi Rohingya sebagai bentuk kemanusiaan. Namun belakangan ini kehadiran Rohingya di Aceh yang bertubi-tubi terkesan sudah tidak wajar lagi dan  sudah menghadirkan berbagai polemik di masyarakat Aceh sendiri.[ril | Antoedy]

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *