Catatan: Iranda Novandi
SORE ini sambil menunggu jelang berbuka puasa, ayo kita jalan-jalan ke kawasan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh, guna melihat Masjid Baiturrahim sambil menyempatkan beribadah disana.
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue merupakan salah satu masjid bersejarah di Kota Banda Aceh selain Masjid Raya Baiturrahman. Sama seperti Masjid Baiturrahman, Masjid Baiturrahim pun telah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Aceh sejak masa kesultanan, penjajahan Belanda, Jepang, hingga era kemerdekaan dengan segala pahit manisnya sejarah.
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Banda Aceh. Salah satu masjid yang selamat dari terjangan tsunami 2004 lalu, meski lokasinya berada di kawasan pantai. Tentunya ini merupakan sebuah peristiwa langka dan diluar akal sehat. Jika melihat bencana tsunami tersebut telah meluluhlantakan semua bangunan disekitar masjid tersebut. Masjid ini hanya terbuat dengan bahan batu bata tanpa tulang beton.
Peristiwa yang menyisakan bangunan di lokasi tempat awal naiknya air laut saat bencara Tsunami 26 Desember 2004 ini, membuat Masjid Baiturrahim menjadi objek liputan media massa baik dalam maupun luar negeri.
Masjid Baiturrahim berdiri di kawasan wisata di pantai Cermin Ulee Lheue. Pantai ini merupakan, kawasan pantai yang sangat indah yang penuh sejarah. Dimana, ketika Belanda melakukan ekspedisi pertama ke Aceh pada tahun 1873 dilakukan melalui Pantai Cermin (Pante Ceureumen) ini, untuk kelancaran operasi militer di Aceh, Belanda membangun dermaga di Ulee Lheue sebagai pintu gerbang ke Aceh pada 1874 dan selesai pembangunannya pada 1875.
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, sudah berdiri sejak masa kesultanan Aceh di abad ke-17. Masa itu masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Ulee Lheu (masjid Jami’ Ole Le) dibangun di atas tanah wakaf keluarga besar Teungku Hamzah.
Pada 1873 ketika Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dibakar Belanda, semua jamaah masjid terpaksa melakukan salat Jumat di Masjid Jami Ulee Lheue dan sejak saat itu namanya menjadi Masjid Baiturrahim.
Pada 1922 dimasa pemerintahan kolonial Hindia Belanda masjid Baiturrahim dibangun dengan material permanen dengan gaya arsitektur Eropa. berkaligrafi ejaan Arab Jawi. Masjid ini tidak menggunakan material besi atau tulang penyangga melainkan hanya susunan batu bata dan semen saja.
Masjid ini dibangun secara swadaya oleh masyarakat Meuraxa, pada waktu itu dipimpin oleh Teuku Teungoh Meuraxa sekitar tahun 1923/1926 Masehi.
Pada akhir 1923, masjid ini selesai dibangun tanpa memiliki kubah seperti pada umumnya, melainkan hanya ada sebuah puncak masjid yang berbentuk persegi empat. Masjid ini pun hanya bisa menampung jamaah sekitar 400-500 orang.
Konon cerita dari mulut ke mulut, jenis kayu untuk plafon dan dinding terluar di lantai dua menara mesjid ini, didatangkan dari berbagai daerah di Aceh seperti Meulaboh Aceh Barat, Singkil, dan Tapaktuan Aceh Selatan.
Pada 1930, beranda depan terpaksa diubah karena bentuknya menyerupai bangunan gereja. Di 1981, masjid Baiturrahim mendapat bantuan dari Kerajaan Arab Saudi, sehingga dilakukanlah perluasan ke samping kiri dan kanan untuk dapat menampung jamaah sampai 1.500 orang.
Jadi, sejak berdirinya hingga sekarang masjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi. Awalnya masjid dibangun dengan konstruksi seutuhnya terbuat dari kayu, dengan bentuk sederhana dan letaknya berada di samping lokasi masjid yang sekarang. Karena terbuat dari kayu, bangunan masjid tidak bertahan lama karena lapuk sehingga harus dirobohkan.
Pada 1936, masjid ini pernah mengalami rusak parah, akibat gempa besar yang melanda Aceh. Kemudian, pada tahun 1983 Banda Aceh diguncang gempa dahsyat dan meruntuhkan kubah masjid Baiturrahim. Setelah itu masyarakat membangun kembali masjid namun tidak lagi memasang kubah, hanya atap biasa.
Sepuluh tahun kemudian, 1993 dilakukanlah renovasi besar-besaran terhadap bangunan masjid yang dipimpin Muhammad Ridwan Daud (Rida), yang merupakan seorang tokoh dari Ulee Lheue dan rumahnya dekat dengan masjid tersebut.
Renovansi ini, hanya dengan menyisakan bangunan asli di bagian depan pascagempa tahun 1983. Selebihnya 60 persen merupakan bangunan baru yang disambungkan ke bangunan asli. Sampai sekarang bangunan asli masjid masih terlihat kokoh di bagian depannya keseluruhan proses renovasi itu selesai tahun 1997.
Masjid Baiturrahim setelah mengalami serangkaian restorasi dan penambahan fasilitas pendukung termasuk bangunan menara tunggalnya yang merupakan sumbangan dari Sultan Brunai Darussalam.
Pada 26 Desember 2004, gempa bumi yang disusul terjangan tsunami meratakan seluruh bangunan di sekitar masjid dan satu-satunya bangunan yang tersisa dan selamat adalah Masjid Baiturrahim.
Kondisi masjid yang terbuat dari batu bata tersebut hanya rusak sekitar dua puluh persen saja. seperti pecahnya kaca jendela serta robohnya dinding dikarena dihantam oleh mobil yang terbawa arus.
Pada saat tsunami, di masjid ini ada sembilan orang yang selamat. Bahkan, ada bayi dalam gendongan orangtuanya. Mereka mampu naik hingga ke kubahnya. Merekalah yang melihat langsung dahsyatnya tsunami pada saat itu.
Kini masjid dengan balutan warna putih plus arsitektur menarik dan jendela hijau di bibir pantai Ulee Lheue ini semakin cantik, apalagi hadirnya sebuah menara kecil disampingnya.
Banyak wisatawan yang menyempatkan diri untuk berkunjung ke sini walaupun sekedar mengabadikan foto, tercatat Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam, Bill Clinton yang juga mantan presiden AS serta Presiden SBY sudah berkunjung ke sini termasuk, mantan Wapres Jusuf Kalla.(Tulisan ini dirangkum dari Buku: “Tujuh Alasan mengapa harus ke Banda Aceh”)[halaman7.com]