halaman7.com – Banda Aceh: Majelis Adat Aceh menggelar musyawarah untuk memilih ketua diajukan kepada Gubernur, pada Senin, 10 Januari 2022. Hasil musyawarah tersebut tiga nama yang diusulkan menjadi calon pimpinan MAA.
Ketiganya adalah Dr Safrul Muluk MA MEd (Anggota Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan Adat), Tgk Yusdedi (Wakil Ketua I) dan Prof Dr Syamsul Rijal MA (Wakil Ketua Pemangku Adat).
Dari tiga nama yang dipilih dalam musyawarah tersebut di kalangan internal untuk pengusulan, DR Safrul Muluk meraih suara mayoritas. Mengalahkan dua kandidat lainnya, Yusdedi dan Syamsul Rizal.
Hasil musyawarah tersebut, tiga nama dikirim ke Gubernur Nova Iriansyah. Hal ini menurut, Akademisi Unaya, Aceh Besar, Usman Lamreung, hal ini bisa saja akan terjadi lagi polemik jilid dua. Bila Gubernur Nova, memilih salah satu nama yang dikirim bukan nama usulan suara mayoritas.
Karena dalam usulan kepada Gubernur tidak disebutkan jumlah suara yang diraih masing-masing. Bukan mustahil yang ditetapkan Gubernur nanti yang meraih 1 suara.
“Bila ini terjadi tentu bakal ada penolakan dan konflik baru,” tegas Usman Lamreueng, Rabu 12 Januari 2022, malam.
Dari tiga orang calon, lanjut Usman, dua orang bukan hasil Mubes dan cuma Dr Safrul Muluk, yang berasal dari hasil Mubes. Menguntungkan karena kapisitasnya hanya sebagai anggota pengurus. Sementara dua lagi yang bukan hasil Mubes posisinya Wakil Ketua dan Wakil Ketua Pemangku Adat.
“Maka sangat mungkin yang akan diambil dari yang kalah mengingat kapasitas mereka dalam pengurus,” beber Usman.
Seharusnya, tambah Usman, dalam pengusulan kepada Gubernur harus dilengkapi berita acara dan tata tertib musyawarah untuk pemilihan Ketua. Dalam berita acara dimaksud harus jelas disebutkan jumlah suara yang diperoleh masing-masing. Sehingga nampak jelas yang mana calon unggul dengan memperoleh suara terbanyak.
Kalau diusulkan kepada gubernur tanpa menjelaskan posisi masing-masing. Patut dapat diduga adanya maksud-maksud terselubung dan dikhawatirkan lembaga MAA akan terus menjadi lumbung permasalahan.
Namun mengingat Lembaga MAA berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Lembaga Wali Nanggroe serta ketua/pengurus baru berlaku sejak dikukuhkan Wali Nanggroe. Maka sebagai benteng terakhir, perlu mengevaluasi secara cermat, demi untuk menghindari konflik berkepanjangan.
Apalagi persoalan hasil Mubes MAA pada 2018 dan Mubes 2020 sampai sekarang belum kunjung selesai. Bahkan kalau ditelaah lebih jauh sepertinya kondisi demikian sedang terjadi pembiaran dan kalau itu yang terjadi sungguh sangat disayangkan. Mengingat MAA merupakan lembaga yang berfungsi untuk turut membantu Pemerintah Aceh dalam rangka menciptakan kedamaian, ketertiban, keamanan dan kerukunan masyarakat.
Seharusnya, saran Usman, agar polemik MAA selesai, sudah selayaknya Gubernur Aceh disisa kekuasaannya melaksanakan ihkrah keputusan Makamah Agung untuk melantik pimpinan MAA hasil Mubes 2018 yaitu Prof Badrulzaman Ismail.
“Agar MAA bisa dipulihkan kembali dari berbagai polemik politik, yaitu hanya berkutat pada kekuasaan, lupa substansi tugas MAA menjaga dan melegitimasi adat Aceh sebagai marwah tanoh endatu,” pungkas Usman.[ril | red 01]
Respon (1)