halaman7.com – Banda Aceh: Teungku Malik Mahmud Al-Haythar, kembali dikukuhkan sebagai Wali Nanggroe Aceh, masa jabatan 2023-2028. Pengukuhan itu berlangsung dalam sidang paripurna istimewa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Banda Aceh, Jumat 15 Desember 2023.
Pengukuhan dihadiri Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla dan Ketua Juru Runding Republik Indonesia, Prof Hamid Awaluddin, juga dihadiri Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki beserta pimpinan dan anggota DPRA.
“Selamat Paduka Yang Mulia, Tgk Malik Mahmud Al Haytar, yang kembali dilantik sebagai Wali Nanggroe Aceh yang ketiga,” ujar Akademisi Unaya, Usman Lamreueng, Jumat 15 Desember 2023, malam.
Menurut Usman, semoga pada periode ketiga ini, Lembaga Wali Nanggroe benar-benar menjadi lembaga penguat peradaban, pemersatu dan perdamaian Aceh. Tidak lagi sekedar lembaga seremonial belaka.
Dikatakan, lembaga Wali Nanggroe Aceh sebagai pengingat sejarah masa lalu tentu akan berbeda dengan Lembaga Wali Nanggroe masa kini. Karena tujuan dari lahirnya kembali Lembaga Wali Nanngroe adalah sebagai pengingat masa lalu, dan sebagai simbul pemersatu masyarakat Aceh yang begitu beragam.
Lembaga Wali Nanggroe sebagai lembaga kultural yang diformalkan, dan sudah dimandatkan sebagai penguatan peradaban Aceh dan adat. Maka sudah seharusnya Lembaga Wali Nanggroe memperkuat nilai-nalai sejarah Islam, budaya dan adat, sebagai benteng identitas Ke-Acehan.
Dalam kontek masa kini, lanjut Usman, Aceh sepertinya sudah terdegrarasi budaya, adat dan identitas. Hal ini bisa dibuktikan berbagai budaya dan adat Aceh sudah tidak lagi melekat dalam kehidupan masyarakat Aceh seperti sudah mulai hilangnya bahasa Aceh, Gayo, dan beberapa Bahasa suku bangsa lainnya yang ada di Aceh.
“Selain itu Aceh juga tidak memiliki maniatur peradaban Islam, budaya dan Adat, sebagai bukti bahwa Aceh masa lalu bangsa yang disegani dan jaya,” ujar Usman.
Lembaga Wali Nanggroe selama dua periode belum melahirkan fatwa-fatwa penguatan sejarah, budaya, adat dan perdamaian. Fatwa-fatwa yang memperkuat budaya dan adat seperti penguatan Bahasa Aceh dan sejarah Aceh dalam kurikulum lembaga pendidikan di Aceh.
Lembaga Wali Nanggroe juga harus mendorong Pj Gubernur dan Majelis Adat Aceh (MAA) untuk menyelesaikan kisruk internal.
“Kita juga berharap pada Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe, evaluasi menyuluruh bawahannya yang selama ini tidak berkinerja buruk dan tempatkan orang yang benar-benar memahami kinerja LWN,” ujarnya.
Usman juga berharap Lembaga Wali Nanggroe menjadi lembaga pemersatu dan menyelesaikan berbagai masalah budaya dan adat Aceh dengan melalui fatwa.
Jangan sampai LWN hanya dimiliki sekolompok masyarakat Aceh. Namun tidak menjadi kebanggaan bagi kelompok masyarakat Aceh yang lainnya. Maka tugas yang paling besar adalah bagaimana lembaga tersebut benar-benar milik bersama masyarakat Aceh.[ril | red 01]