Pemerintah Abai Terhadap Jeritan Petani Kopi Gayo

ilustrasi

halaman7.com – Takengon: Salah Seorang Petani Kopi Gayo, Maharadi merasa khawatir dengan turunya harga kopi semenjak Covid-19 melanda dunia.

“Panen di Tahun ini banyak petani kopi di kawasan Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues merugi, Dampak turunya harga kopi sangat berpengaruh terhadap kebutuhan petani kopi,” kata Maharadi, Selasa 12 Januari 2021.

Maharadi menerangkan, musim panen selama dua bulan ini. Membuat petani kopi menjadi susah. Harga kopi sebelum pandemi berkisaran di harga Rp10.000-Rp12.000 perbambunya. Namun setelah pandemi harga menjadi Rp5000-Rp5000 perbambunya.

“Harga ini sangat merugikan petani. Sebab petani harus merelakan biaya petik senilai Rp2.000-Rp2.500 perbambunya,”keluhnya.

Hitungannya, lanjut Maharadi, sudah mendekati bagi dua hasil dengan jasa petik. Belum lagi petani harus mengeluarkan biaya perawatan dan pemupukan. Tentu harga ini tidak adil bagi petani.

Ini fenomen membelenggu keturunan petani kopi di sini. Fenomena menurutnya sebagai coffee farmer circle atau lingkaran siklus petani kopi. Meskipun petani disini pemilik kebun dan petani. Kalau dibiarkan belenggu kemiskinan ini akan menjadi massif. Bisa saja anak petani kopi di Gayo akan susah melanjutkan pendidikan ke perguruan Tinggi.

“Sementara Pengusaha lokal dan luar negeri tidak merasa rugi seberapapun nilai harga kopi. Karena mereka pembisnis/pengusaha jadi tidak mengenal kata rugi,” sebutnya.

Karena itu, sebaiknya petani kopi beralih saja ke komoditas yang lain. Petani harus realistis melihat kondisi pandemi ini. Belum ada jaminan harga kopi akan normal kembali dalam beberapa tahun ini. Kalaupun masih dipertahankan, pengeluaraan akan lebih banyak di pemupukan, dan perawatan.

Jika para petani kopi Gayo sejahtera dengan lahannyan, petani akan cenderung mempertahankan. Sebaliknya, jika tak terjamin, petani akan mencari nilai ekonomi lebih baik. Sikap ini yang harus dipiih petani sebutnya.

Baca Juga  Warga Cemas Meski Debit Sungai Krueng Langsa Normal

Lanjutnya, semua pilihan ada di petani kopi Gayo untuk menentukan sikap di masa sulit ini. Petani kopi Gayo harus membuka mata dan beradaptasi pada tanaman lain yang potensi pasarnya bagus untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Untuk diketahui bersama, jumlah masyarakat petani yang terlibat dalam usaha kopi Gayo di tiga kabupaten. Yaitu Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues mencapai 78.624 KK, dengan luas lahan 101.473 Ha. Total produksi kopi Arabika Gayo mencapai 61.761 ton per tahun, dengan rata-rata produktivitas 773 ton/hektar.

Berdasarkan data jumlah produksi kopi dari dua wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah 66,249,275 ton/tahun. Dengan asumsi produksi perbulannya sebanyak 5.520,77 ton.

Saat ini yang sudah terealisasi berdasarkan estimasi di dinas perdagangan Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah selama kurun waktu Januari sampai dengan April 2020 adalah 22,083 ton.

Sedangkan belum terealisasi terhitung dari bulan Mei sampai dengan Desember 2020 sebanyak 44,160 ton.

Menjadi masalah belum ada kesepakatan pembelian dari buyer luar negeri. Hingga berdampak turunya harga kopi Gayo. Selain itu kebutuhan industri, distribusi, transportasi dan logistik juga menjadi kendala saat ini.

Selain itu saat itu saat pengepul kopi kesulitan untuk menjual stok kopi yang sebelumnya di kumpulkan dari petani, Alasan inilah kemudian menjadi dasar petani kopi harus beralih ketanaman lain.

Pemerintah Provinsi Aceh dan dua Pemerintah Kabupaten penghasil kopi Gayo mengabaikan penderitaan petani Kopi, Mereka abaikan petani yang sesungguhnya yang selama ini mengharumkan nama daerah.

Padahal menurutnya dari jumlah produksi dan istimasi petani dari ke tiga (3) Kabupaten Kota penghasil Kopi Arabika Gayo ini, bisa sumbangkan devisa sebesar Rp13,3 triliun per tahun.

Sementara Arah Kebijakan Pemerintah Provinsi Aceh tidak berpihak kepada petani kopi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2021 sebesar Rp16,9 triliun itu tidak ada yang berpihak kepada petani Kopi di Gayo, tidak ada diberikan stimulus mengerakan ekonomi.

Baca Juga  Wow.. Ini Tarif Prostitusi Online di Banda Aceh

“Gubernur, bupati, DPRA, DPRK mereka abai terhadap penderitaan kami. Mereka menipu kami dengan janjinya. Salahkah kami menjadi petani yang tak kaya dan miskin rezeki ini,” tutupnya. [Sutris | red 01]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *