Catatan: Aji Setiawan
MENURUT rencana, Senin 14 Juni 2021 DPR RI dan Menkopolhukam akan merevisi UU ITE. Dalam Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebagaimana yang telah diubah Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016). Unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber.

‘Tanpa hak’ maksudnya tidak memiliki alas hukum yang sah untuk melakukan perbuatan yang dimaksud. Atas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau atas hukum yang lain. ‘Tanpa hak’ juga mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan.
Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Berikut bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sebenarnya, tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif.
Karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil. Contoh penerapannya adalah apabila seseorang menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu. Maka Pasal 28 ayat (2) UU ITE ini secara langsung dapat dipergunakan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menjerat pelaku yang menuliskan status tersebut.
Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Efektivitas Penerapan Pasal
Efektivitas pasal tentunya dapat dilihat dari setidaknya dua sisi, yaitu pengaturan dan penerapan/penegakan (law enforcement). Secara pengaturan, perumusan pasal ini sudah dinilai cukup. Sedangkan, dalam aspek penerapan/penegakan pasal yang dimaksud, tentu bergantung pada tiap-tiap kasus yang terjadi. Dengan kata lain penerapan pasal tersebut relatif sulit diukur parameter efektivitasnya.
Wakil Ketua MPR RI, Asrul Sani menyatakan pasal 28 ITE ini termasuk pasal karet. Karenanya FPPP akan menggodok dengan Tim Ahli Pemerintah dan Tim Ahli PPP untuk merevisi aturan ini. Dengan melibatkan FPPP dalam Pansus (Panitia Khusus) dan Panja (Panitia Kerja).
“Karena ini menyangkut keamanan kenyamanan kerja dan keselamatan jurnalis,” kata H Asrul Sani.
Penulis sendiri menyatakan pasal karet yakni pasal 28 UU ITE selaksa gunung es, fait a compli, bisa mempidana wartawan.
“Ini tentu membuat ruang gerak wartawan jadi terbatas. Saya kira UU Pers, UU No 40 Tahun 1999 sudah cukup untuk mengawal pilar-pilar demokrasi , termasuk kebebasan pers,” demkian pendapat penulis.
Menurut Dr Mahmuzar MHum sebaiknya untuk menghindari ujaran kebencian, wartawan menyampaikan laporan tertulis lewat berita.
“Makanya, kalau wartawan mau buat pendapat jangan di Medsos, tapi dimedia cetak, elektronik atau online,” lanjutkan Mahmuzar.
Pengajar ilmu Hukum dan Syariah di UIN Sultan Syarif Kasim, Riau ini menegaskan, Medsos tidak tunduk dengan undang-undang pers.
“Berdasarkan putusan MK, Media sosial tak tunduk pada UU Pers,” kata Mahmuzar.
Terkait rencana revisi UU ITE pada Senin depan antara DPR RI dan Menkopolhukam, kalangan akademisi dan pakar hukum mengusulkan revisi UU ITE pada proses penegakan hukumnya. Hal ini terutama ditekankan bagaimana menafsirkan pasal-pasal secara parsial agar tidak multitafsir dan bukan revisi UU tersebut secara keseluruhan.
“Yang perlu ditekankan, diperbaiki, dikoreksi, lebih pada proses penegakan hukumnya. Bagaimana menafsirkan pasal-pasal dalam menangani kasus-kasus hukum, tapi bukan pada regulasinya secara keseluruhan, atau urgensi penegakan hukum harus memilah mana delik aduan dan delik biasa. Khusus delik aduan, kemudian juga menekankan pentingnya pendekatan restorative justice,” tutur Mahmuzar.
Restorative justice merupakan suatu pendekatan penyelesaian hukum yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku serta korbannya sendiri. Mediasi lebih diutamakan antara pihak yang berperkara, sebelum dilakukan melalui proses pengadilan.
Sementara itu, Direktur Pemberitaan BeritaSatu Media Holdings sekaligus Pemimpin Redaksi Investor Daily Primus Dorimulu menyampaikan, rencana mengamendemen UU ITE lebih pada ranah media sosial dan bukan di media arus utama (mainstream).
“Di sosmed (social media) yang ujaran kebenciannya sudah luar biasa. Satu pihak yang merasa lebih baik dari yang lain melaporkan ke polisi. Dianggap, ini kok kalau laporan cepat diproses, sementara laporan lain yang juga sangat dahsyat argumentasinya kok enggak diproses. Begitu, larinya ke pasar karet,” tutur Primus.
Primus juga menyoroti penghinaan dan perdebatan yang berlebihan menyangkut suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial. Karena itu, UU ITE juga diharapkan bisa menekankan toleransi, selain tentu saja melawan konten negatif, korupsi, narkotika, serta terorisme dan radikalisme.
4 Pasal Karet
Bambang Harymurti juga berpendapat, ketika nanti diadakan revisi, pasal 27, 28, 29, dan 45 dalam UU ITE sebaiknya dihapus dan dikembalikan ke KUHP sebagai asal pasal-pasal tersebut. UU ITE sebaiknya dikembalikan ke asal mula niat pembuatannya khusus untuk mengatur informasi dan transaksi elektronik.
“Kenapa saya usulkan demikian, karena untuk masalah di pasal 27, 28, dan 29, itu sudah ada undang-undangnya, ada di KUHP,” usul Bambang.
Dia menjelaskan, sejak tahun 2013-2014, masyarakat sudah mulai saling membuat laporan dengan banyak memanfaatkan pasal 27 UU ITE tentang pencemaran nama baik sebagai delik aduan dan umum.
Pada 2016, pasal 27 UU ITE yang lahir tahun 2008 itu sudah pernah direvisi dan diturunkan ancaman hukuman pidana kurungannya dari enam tahun menjadi empat tahun dan denda juga diturunkan dari Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta.
Namun, walaupun telah direvisi, malah terjadi kemunduran. Karena, hingga Oktober 2020, perkara yang diputuskan oleh pengadilan berdasarkan UU tersebut telah mencapai sekitar 324 orang.
Paling banyak diadili dengan pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik sebanyak 209 orang, nomor dua sebanyak 76 orang diadili dengan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian dan permusuhan SARA. Sebagian besar dari mereka yang tersangkut khusus karena pernyataannya di Facebook sebanyak 172 orang.
Sementara itu, pada pasal 45 UU ITE disebutkan, (1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4), dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Senada, Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun juga sepakat pasal 27, 28, dan 29 sebaiknya dihapus dari UU ITE. Pengaturan pasal-pasal tersebut dikembalikan ke regulasi yang telah mengatur sebelumnya, yakni KUHP.
“Pasal 27, 28, dan 29, saya setuju sebaiknya dihapus dari UU ITE. Kembalikan UU ITE ke khitahnya ketika dibuat. Yakni khusus untuk mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan mengatakan, jika tetap dipertahankan, pasal-pasal karet di UU ITE perlu diperjelas. Sehingga dapat meminimalisasi tafsir, di antaranya tentang pencemaran nama baik.
“Selain itu, saya kira bagaimana memastikan polisi lebih bekerja secara profesional. Jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Temannya sendiri nggak segera diproses, tapi lawan politik secepat kilat diproses. Itu yang juga merusak implementasi dari UU ITE,” imbuhnya.
Kasus Wartawan
Sementara itu, Bambang juga kembali mendorong Dewan Pers agar melakukan audiensi dengan Kapolri, Listyo Sigit Prabowo untuk mengingatkan kembali telah ada nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Kepolisian RI (Polri). Tentang kasus pers untuk ditangani dengan UU Pers dan bukan dengan UU ITE.
Walaupun ada kesepakatan. Di daerah, kenyataannya masih banyak wartawan dikriminalisasi dengan UU ITE karena pemberitaannya. Salah satu contohnya, Muhamad Asrul, wartawan beritanews.com di Palopo, Sulawesi Selatan, pada 2020.
Dia dilaporkan ke polisi dan ditahan karena pemberitaan yang ditulisnya terkait dugaan kasus korupsi Farid Judas Karim, salah satu anak wali kota Palopo. Ia dijerat ujaran kebencian dengan UU ITE pasal 28 ayat (2) dan pasal 14-15 UU Nomor 1 Tahun 1946.
Masih pada 2020, kasus lain menimpa Mohammad Sadli. Seorang wartawan di Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara. Divonis pengadilan dengan penjara selama dua tahun. Karena tulisannya dianggap mengkritik Pemkab Buton Tengah.[]
Aji Setiawan, kolumnis dan Mantan Ketua PWI-Reformasi Korda Jogjakarta